"Tidak, Jifan akan ikut dalam pertemuan. Jadi, temani dia selama pertemuan. Kendalikan juga Filo agar tidak mengacaukan pertemuan itu."
"Ayah ..."
***
"Ayah, apa maksudnya?" tanya Jifan terkejut. Dia sama sekali tidak kepikiran untuk turut serta dalam pertemuan penting malam ini. Baginya semua urusan kerajaan tidak ada yang bisa ia campuri. Dia layaknya seorang rakyat jelata yang tinggal dalam sangkar selama hidupnya. Sedikitpun tak tersentuh oleh dunia luar.
"Kamu ikut dalam pertemuan ini, Jifan. Ini akan jadi kali pertamamu mengikuti pertemuan antar negeri. Seterusnya kamu akan ikut!" tegas Juan membuat baik Yuan maupun Jifan terdiam seribu bahasa tidak mampu menanggapinya. Ini sungguh kejutan besar bagi Jifan dan Yuan tahu adiknya merasa senang atas hal ini. Sejak lama Jifan ingin menunjukkan dirinya kepada dunia luar, hanya saja rasa takut dan tekanan dari ayahnya membuat remaja itu diam saja dan merasa nyaman dengan batasan yang dibuat ayahnya.
Semburat bahagia Jifan lekas redup tergantikan wajah gugup. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana saat bertemu orang asing. Bahkan bertemu saudaranya sendiri saja dia terlalu malas dan memilih putar badan menghindari mereka. Dia senang akan melihat orang dari dunia yang tidak pernah ia lihat tapi, dia takut. Takut kalau ternyata tatapan diskriminasi merekalah yang akan ditujukan kepadanya. Dia takut kalau mendadak semua mengejeknya seperti yang Yuan dan Filo lakukan kepadanya.
"Kamu bisa kan, Yuan?" tanya Juan dengan suara yang melunak. Orang yang ditanya masih syok sekaligus sibuk mengamati wajah Jifan.
"Ah, ya tentu bisa," jawabnya kemudian setelah sadar dirinya tengah diajukan pertanyaan. Juan tersenyum senang dan kembali merangkul putra kecil yang kini sudah tumbuh begitu tinggi.
"Kalau butuh sesuatu katakan pada Yuan, mengerti?" tanya Juan menatap Jifan yang segera mengangguk dengan lesu, "sekarang bantulah kakakmu mempersiapkan acara malam ini!" titahnya dan kembali diangguki Jifan. Dia tentu ingin membantu hanya saja kalau bersama dengan orang lain terlebih dengan Yuan dia merasa canggung dan khawatir. Khawatir dengan kesehatan mentalnya.
"Ayah akan kembali ke istana, lakukan yang diperintahkan Yuan, jangan membantah."
Jifan ditinggal begitu saja oleh sang ayah membuatnya tampak seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Yuan tersenyum lantas terkekeh bersiap untuk mulai mengusili adik kecilnya. Oh, bagaimana mungkin ayahnya tahu saat ini dia butuh hiburan sampai mengirim Jifan kepadanya. Sungguh seperti mendapat jackpot.
"Baik, kita mulai darimana?" gumam Yuan dengan senyuman lebarnya. Hal itu tentu membuat Jifan memutar bola matanya sudah menebak kalau sang kakak akan mengerjainya.
Yuan melangkah mendekati Jifan masih mempertahankan senyuman lebarnya yang tampak sangat menyebalkan di mata Jifan. Kalau saja Jifan punya keberanian lebih untuk melakukan tindakan tidak sopan, maka sekarang dia sudah akan menendang wajah kakaknya. Melihat Jifan tampak cemberut memandanginya, Yuan menghentikan aksi jahilnya. Bisa-bisa remaja itu berteriak mengadukannya kepada ayah. Remaja berbadan besar itu masih setia berlindung di balik ketiak ayah sampai sekarang. Sungguh memalukan.
"Baiklah, kamu bisa duduk di sana. Mengawasi para pengawal," ujar Yuan akhirnya. Jifan membungkuk sebentar lantas melangkah dengan wajah stoic yang memancarkan aura mencekam. Oh, sifat ramahnya yang memang sedikit sudah dibabat habis oleh kejahilan si sulung. Maka, jangan heran sekarang aura pekatlah yang terpancar dari si bungsu.
"Duduk diam di sini, jangan ke mana-mana!" perintah Yuan dan dituruti Jifan. Jifan duduk di gazebo yang letaknya tepat di atas sungai. Menatap kakaknya yang melangkah pergi mengurus beberapa persiapan seperti dokumen dari beberapa menteri atau hal lainnya. Jifan mengamati kakaknya yang sibuk membuka gulungan di gazebo lain tidak jauh dari tempatnya duduk.
Apakah menjadi putra sulung seorang pemimpin sesulit itu? Sampai bekerja keras dan tampak mengedepankan orang lain dibanding diri sendiri. Apalagi setelah tahu bahwa bukan Yuan yang nantinya menjadi pemimpin selanjutnya membuat Jifan merasa bersalah. Apa sampai sekarang Yuan tidak tahu bahwa dia tidak akan menjadi Raja? Kalau sudah tahu, seharusnya Yuan tidak bekerja sekeras itu. Sia-sia.
"Tuan, minumannya ..."
Seorang pelayan datang membawa minuman untuk Jifan. Membuat Jifan mengalihkan pandangannya dari Yuan dan melirik sekilas apa yang baru saja disajikan oleh sang pelayan. Tidak berkeinginan menyentuh makanan dan minuman di hari ini karena rasa bersalahnya.
Dia membenci Yuan. Selamanya dia benci kakak sulungnya. Tapi, kembali menatap pada si sulung membuat hatinya menanyakan perasaannya sendiri. Jifan tidak yakin bisa membenci Yuan kalau ternyata sampai akhir kakaknya itu bekerja keras untuknya. Betapa bersalahnya dia membuat si tertua menjadi alat kesuksesannya.
Sementara di gazebo, Yuan meregangkan ototnya sejenak. Menolehkan wajahnya saat merasa ada sepasang mata tengah memandanginya. Benar. Jifan tengah menatapnya. Bahkan bocah itu buru-buru memalingkan wajahnya dan berpura-pura menatap pohon kesemek. Kekanakan.
"Pindahkan semua ini!" titahnya dan turun dari gazebo. Dia akan duduk bersama adiknya. Mungkin bocah itu merasa bosan duduk sendirian dan butuh teman mengobrol. Ya ... Meski pada kenyataannya Jifan sama sekali tidak ingin mengobrol dan hanya ingin duduk tenang seorang diri.
Melihat kakaknya mendatanginya membuat Jifan mengembuskan napas. Salahnya yang terus melototi Yuan sampai ketahuan oleh si empu. Sialnya para pengawal dan pelayan Yuan membawa serta gulungan-gulungan milik Yuan pertanda laki-laki itu akan duduk bersamanya dalam waktu yang lama. Bisa saja sampai malam Yuan duduk diam membaca seluruh gulungan dan menuliskan pemecahan masalah itu semua. Membosankan.
"Kamu sepertinya merindukanku. Satu menit baru berlalu sudah rindu saja," gumam Yuan dan duduk memposisikan diri untuk kembali bergelut dengan pekerjaannya. Yang diajak bicara tetap tutup mulut memandang ke arah lain tidak ingin menghadap pada si empu.
"Debit air di Sidosari sangat tinggi membuat padi terpaksa dipanen karena layu. Menurutmu, bagaimana cara mengatasinya?" tanya Yuan mendadak memberikan kuis kepada Jifan. Jifan yang semula memandangi air sungai di bawahnya sembari mengayunkan kedua kakinya terdiam. Cukup lama tidak ada jawaban akhirnya Jifan mengangkat kepala. Memandang Yuan yang setia menunggu jawaban.
"Tutup aliran sungai. Seperti yang dilakukan pada sungai istana. Air tidak akan datang saat itu ditutup," jawab Jifan dengan pikirannya. Hanya pemikiran sederhana dan membuat Yuan manggut-manggut. Dia lantas membuka gulungan lain.
"Di Klairan tanah sangat kering. Sungai tampak dasarnya dan sumur tidak terisi air. Hanya satu sumur yang terisi air dan untuk mendapatkan satu ember air harus membayarkan sejumlah uang kepada si pemilik," ujar Yuan membaca gulungan berwarna kemerahan. Lantas menutupnya asal dan memandang Jifan, "kamu tahu Klairan?" tanya Yuan yang diangguki Jifan.
"Mengikuti aliran sungai, Klairan terletak setelah Kesesi," jawab Jifan.
"Kesesi terletak diantara Klairan dan Sidosari. Artinya aliran sungai yang kuat di Sidosari tidak sampai pada Klairan. Kenapa?" tanya Yuan membuat Jifan melirik arah lain, berpikir.
"Daerah yang lebih tinggi, mungkin," dengan ragu Jifan menjawab. Dia hanya memahami area di negerinya melalui buku. Tidak pernah melihat keadaannya secara langsung, sehingga membuatnya buntu akan permasalahan tersebut.
"Baik, jawabanmu semula sungai di Sidosari dibendung agar aliran air menjadi kecil, lantas bagaimana keadaan Klairan tanpa pasokan air dari Sidosari? Apakah penyelesaianmu di Sidosari itu menyelesaikan masalah?" tanggap Yuan dengan suara lembut layaknya seorang guru. Jifan terdiam tidak bisa menjawab.
"Tentu tidak, lalu bagaimana menyelesaikan ini?" tanya Yuan makin membuat mulut Jifan terkatup rapat.
"Apa gunanya menteri?" gumam Jifan mendadak. Hal itu mampu menghentikan Yuan. Laki-laki itu diam mendengar gumaman dari sang adik yang begitu mendadak dan keluar dari topik.