Setelahnya mereka mulai menyantap makan siang. Lou Och meminum air kelapa meski dengan wajah tertekuk sebal. Buah inilah yang membuat kepalanya benjol. Tapi, rasa segara berhasil membalut rasa kesalnya. Sehingga dengan semangat dia menghabiskan air kelapa sampai tandas.
"Buka kelapanya!" titah Austin dan membuat satu orang prajuritnya mengambil alih kelapa milik Austin dan Lou Och.
"Woah!" takjub Lou Och melihat isi kelapa yang berwarna putih bersih. Itu seperti jeli yang kenyal namun tampak asin.
"Apakah bisa dimakan?" tanya Lou Och saat kelapa miliknya dikembalikan dengan kondisi terbelah dua.
"Tentu saja. Makan itu, rasanya manis," jawab Austin.
Pada awalnya Lou Och tidak percaya rasanya manis tapi setelah menyuap sesendok kelapa matanya membelalak. Benar. Rasanya sungguh manis dan mirip jeli. Hanya saja ini terasa sangat alami. Austin tersenyum melihat wajah antusias Lou Och, lantas mengisyaratkan pada prajuritnya membuka satu buah kelapa untuk dimakan Lou Och.
Akan siang hari itu selesai dengan Lou Och yang menandaskan dua buah kelapa, serta beberapa buah lain seperti apel. Perjalanan kembali dilakukan demi mengejar waktu karena tidak mungkin mereka hadir terlambat di acara sepenting itu. Apalagi ini pertemuan pertama para pemimpin negeri membahas topik yang begitu penting.
Dua hari berjalan tanpa membangun gubuk, membuat perjalanan lancar tanpa hambatan. Mereka hanya akan berhenti untuk mengistirahatkan para kuda sekaligus membersihkan diri. Tidak membangun tempat tinggal sementara apalagi menginap. Hanya berhenti sejenak lantas melanjutkan kembali perjalanan. Sampai akhirnya rombongan Nebecter sampai di pinggiran desa.
Negeri Tanpa Nama.
Nama tersebut tersemat bukan semata-mata karena tidak ada yang tahu namanya. Melainkan karena negeri ini merupakan daerah yang disegel dan tidak seorangpun yang bisa memilikinya. Negeri ini dulunya pernah diperebutkan oleh negeri lain, termasuk Nebecter dan Dabarath. Sampai kemudian diputuskan bahwa negeri ini bebas kepemilikan. Semua boleh melewatinya dan singgah sejenak di negeri ini, akan tetapi tidak diperbolehkan tinggal.
Peraturan itu dibuat untuk menjaga keindahan Negeri Tanpa Nama. Dedaunan hijau yang begitu segara tersuguh setiap saat. Suara burung di udara tak henti bersahutan. Bahkan saat malam tiba, serangga malam akan mengambil bagian untuk mengisi kekosongan malam. Menyanyikan lagu untuk para pengelana yang singgah sehingga mereka dengan nyaman mengistirahatkan diri.
Tebing-tebing curam serta luasnya pantai di bagian barat menjadikan Negeri Tanpa Nama memiliki keindahan yang tiada tara. Belum lagi hewan langka yang hanya ada di daerah ini. Buah-buahan yang tumbuh dari tanah Negeri Tanpa Nama juga berukuran lebih besar dan lebih segar. Manisnya bisa dua kali lipat dan masamnya bisa lebih dari yang biasanya.
Entah bagaimana Dewa menciptakan tempat seistimewa Negeri Tanpa Nama. Yang pasti siapapun akan terpesona dengan keelokan tempat ini. Ingin berlama-lama di tempat ini, menikmati segala bentuk keindahannya.
"Woah!"
Seruan dari Lou Och tak henti-hentinya terapalkan begitu memasuki area Negeri Tanpa Nama. Melihat buah apel seukuran semangka, bahkan anggur yang lebih mirip buah apel. Matanya terbuka lebar dengan mulut menganga takjub. Ini kali pertamanya melihat tempat seindah ini. Dia pikir pantai yang dulu ia kunjungi adalah tempat paling indah, nyatanya matanya baru terbuka sebagian saja.
Austin tersenyum melihat putranya yang terkagum-kagum akan keelokan alam di Neger Tanpa Nama. Ini kali pertama Lou Kch melewati negeri ini. Pasti akan menjadi pengalaman paling unik bagi putranya tersebut.
Mereka berhenti di perkotaan. Mencari pondok untuk mereka tinggali. Ada banyak bangunan pondok berbentuk rumah panggung yang tanpa penghuni. Itu dibangun untuk para pengelana yang ingin singgah. Dengan itu, para pengelana negeri tidak perlu khawatir tidur tanpa alas di negeri indah ini.
Para pengawal sigap membersihkan pondok yang nantinya ditinggali sang kepala negeri. Beberapa orang yang juga tengah beristirahat kala itu menatap kagum pada rombongan Nebecter. Ini sebuah anugrah bisa bertemu pemimpin di sebuah negeri bahkan melihat sang putra mahkota yang tentu sebentar lagi mengemban amanah dari ayahnya.
"Bolehkan aku pergi ke sana?" tanya Lou Och pada Austin yang berdiri menatap bangunan pondok tempat pesinggahannya sementara. Austin mengangguk dan tersenyum tipis lantas beralih pada Ziu. Memerintahkan jendralnya agar mengikuti Lou Och segera. Yang ditatap segera mengerti dan bergegas mengikuti remaja 15 tahun tersebut.
"Apakah aku boleh memetik buah semangka?" tanya Lou Och pada Ziu yang berhenti di belakangnya.
"Tentu boleh tuan, tetapi izinkan saya yang memetik untuk tuan," ujar Ziu dengan sopan. Dia hanya khawatir tuan mudanya itu akan terluka saat memetik buah semangka raksasa itu. Mendengar itu Lou Och mendengus dan merengut lucu.
"Aku ingin memetik buah, Paman Ziu ..." rengek Lou Och membuat jendral muda itu akhirnya mengangguk dan membiarkan putra raja memetik buah sendiri.
Lou Och tersenyum senang saat diizinkan memetik buah. Semangka yang berukuran besar itu segera ia sentuh. Mengelus buah berkulit hijau dan memiliki daging buah berwarna kemerahan. Ziu memberikan pisau bermata satu kepada Lou Och. Dengan wajah harap-harap cemas memerhatikan Lou Och yang tersenyum bocah membawa pisau di tangan kirinya.
Oh astaga!
"Tuan, gunakan tangan kanan," ujar Zou dengan wajah panik. Dia tahu Lou Och bukan penyandang kidal. Bisa bahaya kalau menggunakan tangan kiri.
"Oh, benar!" kekeh Lou Och membuat Ziu ikut tertawa canggung. Lebih baik melihat orang dibantai daripada melihat tuan mudanya bermain dengan pisau.
"Jangan menyentuh tangkainya, biarkan pisau yang menyentuh tangkainya, Tuan!"
"Tuan izinkan ..."
"Oh Paman Ziu! Betapa berisiknya kamu, aku bisa melakukan ini sendiri. Usiaku 15 tahun, bukan hal sulit untuk memotong tangkai semangka. Jadi, diamlah. Biarkan aku melakukannya dengan tenang atau akan aku koyak mulutmu!" ancam Lou Och membuat Ziu sesegera mungkin mengatupkan mulutnya. Dia membungkuk pada beberapa orang yang sempat memandang padanya dengan wajah terganggu. Tentu saja suara Lou Och begitu keras mengundang wajah kaget dan kesal dari orang lain. Tapi, Lou Och tidak peduli dan kembali fokus pada buah semangka di depannya.
Senyum kekanakannya mengembang saat akhirnya berhasil memetik buah semangka dan menyerahkan pisau kepada sang empu. Selanjutnya berusaha menggotong buah yang bisa saja bobotnya melebihi bobot tubuhnya. Dia kesulitan mengangkat itu, sampai tidak sadar bahwa Austi memerhatikannya di kejauhan. Tersenyum layaknya seorang ayah yang melihat tingkah putra kecilnya.
"Kenapa saat aku kesulitan kamu diam saja?" tuding Lou Och menghadap Ziu yang tengah menahan tawa karena posisi aneh tuannya.
"Huh?" gumam Ziu kehilangan fokusnya.
"Oh maaf tuan, biar saya yang mengangkatnya!" pungkasnya cepat dan mengambil alih semangka besar tersebut. Beratnya bukan main-main. Pantas saja tuannya tidak mampu mengangkatnya.
"Papa, lihat! Lou Och memetik buah semangka raksasa!" pekik Lou Och sesampainya di hadapan papanya. Austin mengangguk dan tersenyum melihat semangka yang digotong Ziu. Sedikit bangga karena putranya sungguh sudah beranjak dewasa. Ya tentu karena Lou Och bisa membedakan mana yang semangka mana yang melon.
Dia yakin sebentar lagi putranya benar-benar bisa dipercaya menjadi penerusnya. Hanya perlu kesabaran untuk mendapatkan itu. Pertemuan pertama ini semoga bisa membuat Lou Och lebih dewasa dengan melihat petinggi di negeri lain. Dia harap memiliki keberuntungan untuk itu.