"Papa tadi hanya memastikan sesuatu. Ternyata, peta yang berada di kertas ini, benar-benar mirip dengan peta di salah satu hiasan milik keluarga Pradhika, Bang."
Mendengar ucapan papanya baru saja, membuat Eric tersentak. Ia bangkit dan kini duduk bersimpuh di depan kaki papanya.
"Benarkah seperti itu, Pa?" Binaran di mata Siji, terlihat begitu kentara. "Lalu, di mana letak hiasan itu sekarang, Pa?" tanya Siji kembali. Begitu antusias.
Tuan Yudha menampilkan senyum misterius. Ia seperti sengaja mengulur waktu, membuat anak sulungnya itu semakin penasaran.
Tuan Yudha saat ini malah bersandar di sandaran sofa, sambil meletakkan kedua kakinya di pundak Siji. Benar-benar niat sekali dia mengerjai anaknya itu.
"Apa ini maksudnya, Pa? Papa masih tega menyuruhku untuk memijit lagi, eum? Kalau pingsan lagi, bagaimana? Lalu, mati kedinginan karena pingsan di lantai seperti racauan papa tadi. Apa papa mau bertanggungjawab, eum?"
Siji mencoba beralasan agar tidak disuruh-suruh oleh papanya itu lagi. Siji masih belum mendapatkan seluruh tenaganya kembali.
"Bukan memijit, Abang! Papa hanya ingin tahu, malam itu kalian pergi ke mana saja sampai luka parah seperti waktu itu?"
"Ah, hanya itu. Lalu, apa maksudnya kaki papa yang berada di pundak Abang ini, coba?" Siji dengan susah payah menurunkan kaki kekar Tuan Yudha dari pundaknya.
"Memangnya pantas seorang orang tua panutan yang melakukan hal itu pada anaknya, eum?"
"Tidak perlu mengalihkan topik pembicaraan, Bang! Jawab saja apa susahnya sih?" Tuan Yudha menyela.
Siji selalu saja banyak alasan jika ditanya tentang kejadian hari itu. Apa memang semenyeramkan itu? Yang bahkan Siji sendiri pun ingin melupakannya? batin Tuan Yudha.
Namun, Tuan Yudha tidak akan bisa tidur tenang jika belum mendapatkan jawaban atas keingintahuannya. Sekecil apa pun itu.
Jika Tuan Yudha sudah memutuskan ingin mengetahui, maka ia akan berusaha keras mengungkap kenyataan itu. Meski harus membuat anaknya merasa tertekan sekali pun. Dengan mengetahui cerita sebenarnya, mungkin Tuan Yudha bisa mencegah agar kejadian itu tidak terulang suatu hari nanti, batinnya.
Ditanya seperti tadi, Siji langsung menekuk wajah. Ia berbalik dan duduk di lantai, bersandar di pinggir sofa.
"Kenapa papa masih bersikeras, eum? Jika papa mengetahuinya pun, papa pasti tidak akan bisa mengurangi rasa sakit kami ini, 'kan?" Siji berucap melankolis. Namun, tanpa ia sadari, ia malah membuat papanya semakin penasaran.
"Abang memilih untuk cerita, lalu papa akan memberitahumu tempatnya? Atau abang tetap bersikeras merahasiakan itu semua? Dengan konsekuensi papa tidak akan menunjukkan tempat 'itu' juga. Bagaimana? Pilihan ada di tangan Bang Siji saat ini."
Mendengar ancaman dari papanya itu, Siji tercenung beberapa saat. Ia berada dalam dilema. Kejadian menyeramkan malam itu, Siji ingin melupakan sebenarnya. Tapi, kenapa papanya itu malah ingin menggalinya, coba? batin Siji.
Tidak tahukah papanya itu jika menanyakan tentang kejadian hari itu pada Siji, sama artinya membuka kenangan menyeramkan yang dialami Siji kembali.
Namun, Siji kini dihadapi pada pilihan sulit. Papanya itu mungkin tidak akan pernah menyerah sebelum Siji menceritakan segalanya. Tentang bagaimana dia dan Yuji terluka parah hari itu, dan penyebab kenapa mereka sampai jauh-jauh ke tempat menyeramkan itu.
Di saat seperti ini, Siji berharap jika adiknya yang pandai berakting itu pulang. Soal bohong-membohongi, tidak ada yang dapat mengalahkan keahlian Yuji yang seperti itu.
Tapi, jika Siji menceritakan semuanya, bisa saja papanya itu akan marah-marah pada mereka. Dan pada akhirnya, Siji juga akan mengajak papanya juga terlibat dalam bahaya. Siji bahkan tidak tahu bahaya semacam apa yang akan mereka temui untuk menemukan Kuil yang menghapus semua kutukan itu.
Di sisi lain, ada Reiji yang membutuhkan bantuannya saat ini. Ini adalah kesempatan yang bagus bagi Siji untuk mendapatkan pengakuan dari adiknya, bahwa dirinya memanglah seorang kakak yang dapat diandalkan.
"Lama sekali mikirnya sih, Bang?!"