"Jadi, temennya sepupu adik ipar pamannya teman klub breakdance gue itu dulunya pernah terjebak di rawa, dan saat mereka menariknya keluar rawa, kakinya berlubang karena digigit serangga tahu, Sithok." Yuji bercerita untuk membuat Siji semakin ketakutan.
"Kalau elu bercerita kayak gitu untuk membuat gua akut, selamat elu telah berhasil, Yuyu Kangkang! Tapi ... sekarang cepet bantu gua menariknya, Yuyu!!"
"Mapuluh ribu dulu!" ucap Yuji sambil mengacungkan kelima jarinya.
"Ya Gusti, pamrih-an amat sih elu, Yu! 'Kan elu juga tahu kalau gua lagi melarat. Gua nggak dijatah jajan bulan ini sama papa. Gua aja masih punya utang sama elu. Kok tega sih meres orang yang udah jelas-jelas kere kek gua ini?" Siji berucap sambil meratapi nasibnya yang malang sejak dia debut.
"Yaudah, kalau gitu keluarin sendiri!" ucap Yuji sambil melipat kedua lengan. Bibir bawahnya ia majukan, terlihat sangat menggemaskan.
"Yaudah, mapuluh ribu! Tapi, ngutang dulu, ya?" putus Siji pada akhirnya.
Yuji berjingkrak kegirangan.
"Okedeh, berarti hutangmu jadi 250.000 rupiah lho, Sithok! Inget, bunganya 20%," ucap si tukang julid yang mata duitan ini.
Siji hanya bisa mengembuskan napas kasar.
"Iya, iya, rentenir!" kelakarnya.
"Cepetan sekarang bantuin narik tangan gua. Gua udah merinding nih, Yu. Gua merasa ada sesuatu yang merayap-rayap di tangan gua, Yuyu! Cepetan!" teriak Siji, panik.
Yuji berjongkok di dekat Siji dan terdiam sejenak. Dia memperhatikan pinggiran celah ubin itu.
Lubang di ubin itu tercipta karena gempuran, jadi sekeliling lubang itu masih meninggalkan sudut yang tajam.
Jika Yuji menarik tangan Siji secara paksa, sudah pasti kulit tangan kakaknya akan hancur karena goresan sisa pecahan ubin itu. Tidak ada cara lain, Yuji harus membuat lubang itu semakin besar.
Siji melihat Yuji yang mengambil linggis kecil yang memiliki panjang 35 sentimeter yang berada di sampingnya.
Besi yang biasa digunakan menggali, mencongkel dan mencabut paku itu juga yang digunakan Siji sebelumnya untuk menggali. Besi linggis itu juga yang sebelumnya digunakan Siji mencongkel jendela.
"A-apa yang mau elu lakukan, Yu?" teriak Siji panik saat melihat Yuji mengangkat besi linggis kecil itu ke udara, tinggi-tinggi.
"Gua mau motong tangan elo. Hadoh, banyak nanya! Gua kepret juga elo, Sithok!" bentak Yuji.
"Yu! Gua ini Abang elu lho, bukan adik tiri elu! Kok elu tega berbuat sekeji itu sih?" ucap Siji, yang mengira jika perkataan Yuji tadi sungguhan.
Yuji mengembuskan napas, kesal. Ia tadi sudah konsentrasi agar pukulannya ke ubin tak mengenai lengan Siji, tapi saat Siji terus berteriak malah membuat Yuji gugup karena takut melukai lengan kakak kembarnya. Yuji memang pada dasarnya sangat baik, tapi lebih sering laknat memang.
"Yu! Kalau elu masih dendam pada gue soal kucing dan soal kondangan waktu itu, mending kita selesaikan setelah kita keluar dari sini. Jangan macam-macam dengan benda tajam itu, Sialan!" teriak Siji. Raut ketakutan tergambar jelas dari wajahnya.
"Diam dulu, Sithok! Gue ini cuma mau membuat lubang ini menjadi lebih besar, agar elo bisa mengeluarkan tangan elo tanpa terluka, Ogeb!" bentak Yuji.
"Tunggu, Yu! Tapi, eluu harus hati-hati! Bisa-bisa lengan gua yang elu buat berlubang bukannya ubinnya," cecar Siji.
"Diamlah, Sithok! Gue butuh ketenangan!" Setelah berucap seperti itu, Yiji mulai menggali ubin di sekitar lengan Siji dengan bagian lancip linggis kecil itu.