Tuan Yudha kembali memperhatikan kertas usang itu. Benar yang ia kira tadi, Tuan Yudha memang pernah melihat tulisan rumit itu di suatu tempat.
"Papa seperti pernah melihat garis rumit dengan simbol-simbol aneh seperti ini di suatu tempat deh, Bang," gumam Tuan Yudha.
Mendengar itu, Siji langsung tersentak. Ia berjalan menggunakan lutut, semakin mendekat ke arah papanya. Siji meraih kaki meja untuk membantunya berdiri. Kini Siji duduk di kursi, tepat di depan meja belajar yang masih diduduki oleh Tuan Yudha.
"Papa berucap serius?!" tanya Siji, antusias. Bahkan, ia kini sambil menarik ujung kemeja yang dipakai papanya.
Tuan Yudha mengangguk, singkat.
"Benar, gambar ini terlihat sangat familiar. Tapi ... Papa lupa pernah melihatnya di mana, Bang."
Setelah berucap seperti itu, Tuan Yudha termenung. Ia mencoba mengingat-ingat di mana ia melihat garis berkelok-kelok itu.
"Ayolah, Papa! Abang mohon ingat-ingatlah lagi! Asal papa bisa memberitahu abang di mana papa melihat peta yang sama, Abang akan melakukan apa pun yang diminta papa deh," sanggup Siji. Ia kini bahkan sambil menangkupkan kedua tangannya di depan wajah, memohon.
Tuan Yudha langsung menyeringai mendengar janji putranya itu.
"Baiklah, setuju!" Tuan Yudha melompat dari meja. Ia melipat kertas itu dan malah memasukkannya ke saku celana, tidak langsung diberikan kepada Siji.
"Papa, untuk apa kertas itu malah papa bawa?"
"Sebagai jaminan agar kau tidak mengingkari janjimu tadi, Bang."
"Jadi, papa masih meragukan kepatuhan Abang pada perintah orang tua, eum? Abang tidak mungkin mengingkarinya, Papa. Jadi, berikanlah kertas itu pada abang, ya?!"
Siji bersikeras untuk merebut kertas itu. Meskipun usahanya selalu saja gagal. Tentu saja. Tuan Yudha yang lincah dan lebih tinggi dari Triplet itu terus berhasil menghindar saat Siji terus mendekat.