"Huuft ... kenapa tidak bisa tidur juga, coba?" gerutu Siji sambil berguling-guling di kasur empuknya.
Siji bangkit duduk. Semua rasa nyeri yang ia tadi, kini benar-benar menghilang karena Siji mengkonsumsi obat anti nyeri. Jadi, saat ini dia sudah baik-baik saja.
Siji menurunkan kaki dan mengayunkan langkah menuju ke jendela. Dari jendelanya, ia bisa melihat rumah kucing yang adalah adiknya sendiri, Reiji. "Apa sebaiknya aku bermain saja dengan Dede Rei aja, ya?"
Siji tersentak ketika mengingat sesuatu.
"Huwaakh, itu tidak mungkin! Mana mungkin aku malam-malam mengajak Dede Rei bermain, coba? Yang ada malah mukaku dicakar sama kuku-kuku tajam Dede Rei lagi. Dia kan kejamnya 11 12 sama Yuyu Kangkang. Nurun tempramental-nya papa semuanya. Cuma aku yang baik hati di rumah ini," gerutu Siji sambil menutupi jendelanya kembali. Dia merasa takut pada adik-adiknya sendiri.
Siji bersikap berlebihan sejak mengetahui kucing yang ia pelihara adalah adiknya sendiri. Padahal, biasanya tiap malam Siji akan menggunakan bulu dari gantungan kunci untuk dibuat kucingnya mainan.
Siji akan memainkan bulu gantungan kunci itu ke atas dan ke bawah, kucingnya akan berusaha meraih bulu itu dengan cara melimpat-lompat. Namun, saat ini Siji malu jika ingin bermain seperti itu lagi. Siji bahkan yakin jika sudah kembali ke wujud manusia, Reiji akaan menuntut balas, atas apa saja yang Siji lakukan pada Dede Rei, selama Reiji menjadi kucing.
"Huft ... baiklah! Aku harus menghapus kegiatan 'bermain dengan Reiji' dari daftar kegiatanku sehari-hari." Siji kembali bergumam.
Siji kembali mengayunkan langkah dan menuju keluar kamar. Ia jadi mengingat jika dia tadi tidur cukup lama meskipun di lantai. Pantas saja sekarang tidak mengantuk.
Siji duduk di sofa ruangan tengah dan mulai menyalakan televisi. Ia sungguh bosan saat ini, tak ada yang menarik baginya untuk dilakukan. Di saat seperti ini, biasanya ia akan menghabiskan waktu bersama kucing peliharaannya.
Sejak mengetahui jika kucing itu ternyata perwujudan Reiji, Siji seolah menghindar dari Reiji. Ia terlalu malu karena sering menunjukkan jika dia sering menonton anime mesum di depan adiknya itu.
"Kenapa belum tidur, Bang? Bukankah tadi sudah papa suruh untuk istirahat?!" Suara Tuan Yudha yang muncul tiba-tiba.
"Papa! Berhenti muncul tiba-tiba di belakang abang!" Siji memekik sambil meremas dada, saking kagetnya. Ini adalah kali kedua papanya tiba-tiba muncul di belakang Siji seperti ini.
"Memang apa masalahmu sih, Bang? Ini 'kan rumah papa juga. Mau di mana pun papa berada, memangnya kenapa, eum?" Tuan Yudha berucap, masih dengan nada datar.
Tuan Yudha baru masuk lagi ke rumah utama ini. Entah apa yang ia lakukan di luar rumah. Saat mendengar suara televisi yang menyala, Tuan Yudha tertarik dan mendapati bahwa anaknya yang menyalakan televisi di ruang tengah. Tuan Yudha tertarik dan mendekat ke arah Siji.
"Hassh! Lama-lama Abang bisa mati berdiri jika terus-terusan dikejutkan seperti ini, Pa," gerutu Siji. Masih menekan dadanya yang berdegup kencang.
"Jangan berlebihan deh, Bang! Papa 'kan tadi manggilnya cuma pelan, kenapa reaksi Abang begitu, coba?" protes Tuan Yudha.
Melihat reaksi anaknya yang berlebihan itu, membuat Tuan Yudha kesal. Ia memukul kepala bagian belakang Siji dengan pelan, seperti biasa.
"Papa!"