"Ya Tuhan! Aku harus bilang apa pada, Bella! Suaminya meninggal! Daniel dan Diana, tidak punya ayah lagi!" Alice berkali-kali menggigit kukunya sambil berjalan mondar-mandir tak karuan.
Dia melirik lagi pada jasad Livy.
"Ah, ya ... aku harus menghubungi Nyonya Rose, dia harus tahu kalau Livy ada di sini!"
Alice kembali meraih ponselnya untuk segera menelepon Rose Jones, dan mengabarinya jika dia sudah menemukan Livy.
Tetapi sayangnya ketika ponsel tersambung, tiba-tiba mati karena kehabisan batrai.
"Ah, sial! Kenapa batrainya habis?!"
"Alice! Kenapa kau bodoh sekali? Harusnya kau mempersiapkan ini lebih matang lagi! Aduh kenapa aku sampai lupa mengecas ponselku!" Alice mulai stres.
"Ah bodoh! Bodoh! Bodoh! Alice memukuli kepalanya sendiri dengan gemas.
"Ah, mungkin aku harus naik ke lantai atas lagi untuk mencari alat pengecas HP milik, Sea!"
Alice berlari menaiki atas tangga dengan derap langkah yang begitu cepat.
Dan saat melewati ruang tamu, dia melihat Sea yang masih terlelap di atas sofa.
"Aduh, aku berharap dia tidak keracunan, kerena meminum kopi yang bercampur obat tidur," gumam Alice.
"Ah, tapi aku rasa tidak masalah, kalau pun dia mati! Ini akan lebih baik dari pada dia hidup dan akan lebih banyak lagi orang yang menjadi korban!" gumamnya.
Alice hendak memasuki kamar Sea, tetapi Felix datang, sayangnya dia tidak bisa masuk, karena Sea menguncinya dari dalam.
Tok! Tok!
"Alice!" panggil Felix seraya mengetuk pintu.
"Sabar! Tunggu sebentar, Felix!" sahut Alice.
Kemudian dia membuka pintunya.
Ceklek!
"Alice kau baik-baik saja?!" tanya Felix panik.
"Iya, aku baik-baik saja, Felix! Di dalam ada Archer dan Livy!" kata Alice.
"Benarkah? Lantas ada apa dengan wanita itu?" Felix menunjukkan kearah Sea.
"Jangan pikirkan dia! Aku sudah memberinya obat tidur dosis tinggi!" kata Alice.
"Lalu apa yang akan kita lakukan?!" tanya Felix.
"Telepon polisi, Felix!" sergah Alice.
"Apa?! Telepon polisi?"
"Iya, cepat!"
"Tapi, ponselku ketinggalan di rumahmu, Alice!" ucap Felix.
"Astaga! Kenapa bisa ketinggalan sih!?" Alice memukul keningnya sendiri dengan keras.
"Yasudah aku pulang dulu, Alice! Aku akan mengambilnya sekarang!"
"Jangan, Felix!" kata Alice, "itu hanya buang-buang waktu, kita gunakan ponsel milik Sea!" usulnya.
"Baiklah! Ayo kita cari sekarang!" ajak Felix.
Mereka menggeledah kamar Sea, dan tepat di saat itu pula, Sea terbangun.
Bibirnya tersenyum, seperti tidak terjadi apapun kepadanya.
"Mereka pikir akan mudah melumpuhkanku, hanya dengan obat tidur murahan ini?" ucapnya dengan nada pelan.
Lalu Sea berdiri, dan meraih sebuah pisau yang tergeletak di sampingnya.
"Dasar, Orang-orang Bodoh," umpatnya sambil tersenyum, gerakannya begitu pelan dan teratur.
Dia mengikuti Alice dan Felix yang memasukki kamarnya.
Alice mencoba membuka laci meja yang ada di dalam kamar.
Felix mencari di bagian kasur. Di saat Felix sedang lengah di saat itu pula, Sea menusuk punggung Felix dari belakangan.
Jlub!
"Akh!" Felix berteriak kesakitan, dan Sea akan melakukan serangan selanjutnya, tetapi Alice menghentikannya.
"Berhenti! Tolong hentikan, Sea!" teriak Alice.
Sea berhenti, dan masih memagang pisau di tangannya, kemudian wanita itu menyeringai.
"Alice, aku pikir kau bukan hanya memberiku obat tidur? Tapi racun?" ucapnya.
Alice diam saja, dia masih memikirkan bagaimana bisa Sea tersadar dari pingsan? Padahal dia memberinya obat tidur dosis tinggi.
"Alice aku tidak sebodoh yang kau pikirkan, Sayang! Kau tahu aku sudah mengganti obat tidur yang ada di sakumu secara diam-diam?" kata Sea seraya tersenyum lagi.
Lalu Alice, teringat dengan kejadian pertama kali dia memasukkan rumah ini, dia sempat bersentuhan dengan Sea, saat wanita itu mempersilahkan Alice duduk, rupanya di saat itu pula Sea mengganti obat yang ada di saku Alice dengan botol yang sama, tetapi berisi bubuk gula halus.
Sea sudah menyadari sejak awal, jika kedatangan Alice memiliki tujuan tertentu.
Sudah berkali-kali Alice menunjukkan kecurigaannya terhadap Sea, bahwa Sea telah menyembunyikan Archer dan Livy.
Berbekal hal itulah membuat Sea benar-benar waspada kepada Alice.
"Sekarang sudah tahu, 'kan, sedang berhadapan dengan siapa? Yah ... aku tahu orang-orang yang masih hidup di dunia nyata akan menentangku, membenciku, dan bahkan mengucilkanku. Oleh karena itulah aku sangat ingin agar kau hidup di alam selanjutnya!" pungkas Sea.
"Apa maksudmu itu, Sea? Apa kau ingin membunuhku seperti, Livy? Dan kau akan membuatku menjadi mayat kering?" tanya Alice.
Sea melirik kearah Felix dan pria itu masih tergeletak tak berdaya.
"Yah, kurang lebih seperti itu, Alice, Sayang ...."
"Berhenti memanggilku dengan sebutan itu! Aku jijik, Sea!" bentak Alice.
"Kata 'Sayang' maksudnya?" tanya Sea dengan nada meledek.
"Dasar, Orang Gila!" umpat Alice pada Sea, netranya melirik barang-barang di sekitarnya, yang kemungkinan bisa ia gunakan sebagai senjata.
"Terserah kau mau bilang aku apa? Gila, Aneh, Pembunuh, atau apa? Terserah saja aku tidak peduli!" Sea terlihat santai, dan dia mendekat dengan pisau yang masih berlumur darah Felix di tangannya.
"Alice, aku sebenarnya tidak ingin melukaimu, kau ini orang yang baik. Harusnya kau mati dengan cara yang baik pula. Kalau kau mau memakan masakanku, maka kau akan mati dengan utuh, tanpa ada luka sedikitpun di tubuhmu!" ucap Sea.
"Kalau begitu biarkan aku hidup! Aku berjanji tidak akan mengucilkanmu, Sea! Ayo kita berdamai! Dan bertemanlah dengan manusia yang masih hidup! Bukan mayat! " ucap Alice.
"Tidak bisa, Sayang! Kau harus mati, karena aku tidak percaya begitu saja dengan orang yang masih hidup. Hati manusia bisa berubah kapan saja," tutur Sea, wanita itu kembali tersenyum.
Dia berjalan kian mendekat dengan Alice.
Alice melirik sebuah patung kristal.
Ketika Sea mendekat, Alice meraih patung itu lalu melemparkannya kearah Sea.
Pruang!
Patung mengenai kepala Sea, dan memantul ke lantai lalu pecah berhamburan.
"Akh! Sial!" Sea mengumpat sambil memegangi kepalanya yang terluka.
"Ah, sakit sekali!" teriaknya.
Meski terlihat kesaktian tetapi Sea berusaha untuk tetap berdiri.
"Dengar, Alice! Aku akan membunuhmu! Kau pasti mati, dan akan menjadi anggota keluarga baruku!" ucap Sea dengan penuh percaya diri.
Sorot matanya begitu tajam, tetesan darah itu menghiasi wajahnya.
Alice kembali waspada, "Dia benar-benar tidak waras, aku harus menghentikannya," gumam Alice.
Sea mengangkat pisaunya dan siap menghunjam tubuh Alice.
Ketika mata pisau itu akan menyentunya, Alice segera menghindar. Pisau itu menancap di atas kasur.
"Akh! Sial! Ternyata kau ini pandai menghindar ya?"
Tak ada pilihan lain Alice pun keluar dari kamar Sea.
Sayangnya kaki Alice terkilir, hingga akhirnya dia terjatuh.
Sea malah menertawakannya,
"Haha! Itu sebuah pertanda, Sayang! Kau akan menjadi anggota keluargaku, percayalah," Sea menyeringai.
To be continued