Tak tahan melihat Alice dan Felix yang tengah berpelukan, Carlos memilih untuk pergi.
Dia menunggu di ruangan Alice yang saat ini ditinggalkan oleh pemiliknya.
Perlahan Carlos membuka kunci layar ponsel.
Tampak Tiga riwayat panggilan dan juga beberpa pesan dari Caroline.
"Untuk apa dia menelponku?" Carlos mulai membaca pesan dari gadis itu.
[Carlos, bagaiamana kabarmu di sana? Apa kamu baik-baik saja?] tulisan dalam pesan itu.
"Bahkan sejak kemarin aku lupa memberi kabar kepada Caroline," gumam Carlos.
Jemarinya mulai menari dan menekan satu demi satu huruf dalam keyboard ponsel.
[Caroline, aku baik-baik saja—] Belum selesai mengetik kalimat balasan, tiba-tiba Caroline meneleponnya.
Carlos segera mengangkat panggilan itu.
"Halo, Carol," sapanya.
[Hai, Carlos. Bagaimana kabarmu?]
"Aku baik-baik saja, Carol,"
[Kenapa tidak memberiku kabar?]
"Maaf, aku sangat sibuk, hingga tidak sempat memberikan kabar kepadamu,"
[Ah, begitu ya ....] Suara Caroline terdengar kecewa.
[Apa kamu sudah bertemu dengan Alice?] tanya Caroline.
"Iya, aku sudah bertemu dengannya," jawab Carlos.
Mendengar jawaban itu Caroline terdiam sesaat.
Dan tak lama kemudian, wanita itu mematikan panggilannya.
Tut ....
Bunyi sambungan yang terputus membuat Carlos reflek memanggil nama gadis itu.
"Halo! Caroline?!"
"Carol! Hei! Kenapa dimatkkan?" Tentu saja tak ada jawaban yang ia dapat.
Carlos pun akhirnya menaruh kembali ponsel ke dalam saku.
"Kenapa dia mematikan panggilannya? Apa karena aku menyebut nama 'Alice?'" gumam Carlos yang merasa heran.
Di sisi lain Carlos juga merasa kasihan kepada Caroline.
Awalnya dia memilih Caroline dan menghianati Alice.
Namun sekarang dia sadar, bahwa Alice adalah cinta sejatinya.
Sejujurnya Carlos sendiri membenci sikapnya yang sangat tidak konsisten ini.
Namun dia tak bisa mengelak, bahwa hatinya masih untuk Alice.
Bahkan perasaannya terhadap Caroline sendiri sudah memudar.
Dia merasa, kesulitan untuk membuat hatinya kembali memihak pada Caroline.
Meski begitu Carlos masih merasa kasihan terhadap gadis itu, bagaimana pun dia pernah mencintai Caroline, dan cinta gadis itu kepadanya sangatlah besar.
Andai dia memiliki kemampuan untuk mengahpus ingatan gadis itu, pasti dia akan menghapus bayangannya dari benak Caroline. Namun semuanya tidaklah mudah.
Dia dalam posisi yang serba salah. Dia mengejar Alice karena perasaan cintanya, serta restu dari Caroline.
Entah disebut apakah perasan ini. Mungkin sebuah keegoisan? Entahlah ....
Yang jelas dia tak bisa mengembalikan perasaan cintanya terhadap gadis itu seperti dulu.
Tak lama Alice kembali ke kamarnya.
Dia melihat Carlos yang sedang melamun.
"Carlos, kamu baik-baik saja?" tanya Alice.
Pria itu terkesiap dan menggerakkan kelopak matanya dengan cepat.
"Eh, Alice! Rupanya kamu sudah kembali!" ujar Carlos tergesa-gesa.
Alice menganggukkan kepalanya.
Kemudian dia duduk di atas ranjang. Dan Carlos pun menghampirinya.
"Alice, tadi aku baru saja bertemu Dokter, dan dia bilang kamu sudah boleh pulang sore nanti," kata Carlos.
"Benarkah?"
"Iya! Apa kamu sudah siap untuk pulang ke Oxford?" tanya Carlos, namun belum sempat Alice menjawab, Carlos kembali melontarkan kalimatnya.
"Eh, tapi kita tidak bisa langsung pulang, kita harus mempersiapkan tiket perjalanan dan lain sebagainya, lagi pula aku lihat kamu juga butuh mengemasi barang-barangmu dulu, 'kan?" kata Carlos.
"Ya ... aku rasa begitu," jawab Alice agak sedikit kaku.
"Baik untuk sementara waktu aku akan mencarikan hotel untukmu," kata Carlos.
Tetapi Alice segera menolak usulan Carlos.
"Tidak perlu, Carlos! Aku akan menginap di rumah Felix,"
Seketika ekspresi Carlos berubah tak bersemangat.
'Dia ingin menginap di rumah pria itu?' batin Carlos.
"Kau sangat dekat dengan pria itu, ya?" tanya Carlos ragu-ragu. Netranya memancarkan kecemburuan.
"Iya. Dia pria yang paling berjasa ... selama aku tinggal di kota ini, dia yang selalau membantuku." Jawab Alice.
"Lalu bagi mana setelah pulang ke Oxford nanti? Kau akan tinggal di mana?" Dalam pertanyaan itu, Carlos mengharapkan sebuah jawaban terbaik dari Alice, tentunya dia ingin agar Alice mau tinggal bersamanya lagi.
Namun lagi-lagi Alice memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan ekspektasinya.
"Aku akan tinggal bersama Bella." Jawab Alice.
Raut kecewa kembali terpancar jelas di wajah Carlos.
"Kenapa tidak tinggal di rumahku saja?" tanya Carlos, "itu, 'kan juga rumahmu,"
"Maaf, itu bukan rumahku lagi, Carlos!" tegas Alice.
"Tapi—"
"Hargai keputusanku!" Seketika Carlos terdiam.
Dia sudah mempersiapkan diri sejak awal, dan dia juga sudah tahu bahwa tidak akan mudah untuk mendapatkan kembali hati Alice.
"Baiklah, aku tidak bisa memaksamu untuk kembali tinggal bersamaku, tapi aku berharap, suatu hari nanti kamu akan kembali hidup bersama lagi." Tukas Carlos sambil menundukkan kepalanya.
Namun Alice tampak keberatan mendengar kalimat itu.
"Apa maksud dari ucapanmu itu, Carlos?"
"Kenapa? Itu memang harapanku Alice ..., "
"Hapus harapanmu itu Carlos. Aku sudah merelakanmu untuk sahabatku,"
"Alice, aku tidak mencintai Caroline,"
"Tidak mencintainya, kamu bilang?" Alice tersenyum masam. Dia menggelengkan kepalanya seraya berdecak heran. Benar-benar pernyataan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Dan kalimat itu berhasil mamatik amarah Alice.
"Kamu itu pria yang kejam, Carlos! Dulu kamu menyakitiku, dan sekarang kamu juga menyakiti sahabatku, kamu pikir—"
Dengan segera Carlos memotong perkataan Alice.
"Dia sendiri yang merelakan aku untuk kembali mengejarmu, Alice!" tegas Carlos.
Alice tersenyum sinis. "Dan bodohnya kamu mempercayainya?"
"Apa maksud dari pertanyaanmu itu, Alice!"
'Huftt ....'
Alice menghela napas sesaat lalu melanjutkan kalimatnya.
"Aku sudah lama mengenal Caroline. Dia itu tipe orang yang selalu mengejar apa yang dia inginkan. Bahkan sampai harus merebut suami sahabatnya sekalipun dia tak peduli. Tapi aku sudah memaafkannya. Dan aku masih menyebutnya 'Sahabat' ah ... 'Mantan Sahabat' lebih tepatnya. Dan aku yakin jika aku kembali bersamamu, maka dia akan berusaha merebutmu lagi dariku. Dan itu sudah pasti!"
"Tapi dia sendiri yang bilang kalau dia merelakanku untuk bersamamu lagi. Dengan catatan kamu mau menerimaku kembali!" kata Carlos.
"Haha! Kau bodoh, Carlos!" cerca Alice. Carlos mengernyitkan dahinya.
"Dia memang mudah terpengaruh. Tapi percayalah, dia itu mudah berubah pikiran juga! Yah ... kurang lebih seperti dirimu ini ...!" Alice melirik Carlos dengan raut mencerca.
"Tapi—" Alice memotong ucapan Carlos.
"Kalian itu sama-sama orang yang tidak punya pendirian. Perasaan kalian bisa berubah dalam sekejap mata. Oleh karena itu aku yakin kalian memang cocok!"
"Alice, sebenci itukah dirimu kepadaku?"
"Iya! Tapi itu dulu. Dan sekarang aku sudah memaafkanmu. Hanya saja perasaanku tak bisa kembali seperti dulu. Aku sudah menghapus, dirimu dari hatiku."
"Apa itu karena teman priamu itu?" tanya Carlos sedikit emosi.
Alice pun menghela napas jengah, dia semakin kesal saja. Terlebih Carlos malah menyeret Felix dalam urusan mereka.
Akan tetapi dia tidak mau membuat keributan di sini. Perdebatan hanya akan membuatnya semakin depresi saja.
To be continued