Gadis kecil dengan wajah pucat itu menarik tangan Alice dan menuntunnya masuk ke suatu tempat.
"Clara, kau akan membawaku kemana, Sayang?" tanya Alice
Gadis itu tak menjawab dengan sepatah kata pun, Alice mulai merinding, tangan mungil yang menuntunnya benar-benar terasa sangat dingin.
Tetapi dia harus mengobati rasa penasarannya.
Lalu kaki gadis itu berhenti tepat di sebuah pintu, menuju ruang bawah tanah.
"Ruangan apa ini?" Alice terlihat sangat bingung.
Gadis itu menatap Alice penuh arti seakan mempersilakan Alice untuk membuka pintunya.
Perlahan Alice membuka pintu ruangan, dan hawa berbeda kembali menyapanya.
Tampak ragu-ragu Alice kembali melangkah.
Sesaat dia berhenti sambil memandang Clara yang sudah berjalan duluan.
Clara kembali memandang kearah Alice, seakan mengisyaratkan bahwa dia ingin agar Alice segera menghampiri.
Anehnya tak satu kalimat pun yang keluar dari mulut Clara.
Dia menjulurkan tangan seakan menyergah Alice agar segera menyusulnya.
"Alice, ayo, jangan takut, kamu pasti bisa melewatinya. Hapus ketakutan ... dan ayo obati semua rasa penasaranmu," Alice bermonolog untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Alice melanjutkan langkahnya.
Dan dia menuruni tangga, suasana begitu gelap, Sea telah berbohong kepadanya.
Tidak ada pesta di ruang bawah tanah ini, bahkan lampu saja tidak dinyalahkan.
Sejujurnya Alice juga merasakan hal yang aneh terhadap Clara. Dia bukanlah gadis ceria seperti yang diucapkan oleh Sea, bahkan Clara tak berbicara sepatah katapun kepadaya.
Dia tidak seperti gadis normal, Alice pun semakin penasaran saat menuruni tangga dia meraih tangan Clara. Dan dia ingin bertanya sesuatu kepadanya.
"Clara! Katakan jujur padaku, sebenarnya ada apa denganmu?" tanya Alice.
Clara masih tak menjawabnya, sorot matanya tampak sayu, raut kesedihan terpancar di wajah gadis itu.
Alice sudah tak sabar menunggu sebuah kalimat yang terlontar dari bibir Clara, tetapi gadis itu mendorong tubuh Alice hingga terjatuh. Clara berlari dan menghilang di sela-sela kegelapan malam.
"Clara! Clara! Di mana kau?!" teriak Alice.
"Jangan takut, Sayang! Bibi, bukan orang jahat! Kalau kau dalam kesulitan katakan saja! Bibi, akan membantumu!" ucap Alice.
"Clara! Clara!" Alice terus memanggilnya.
Tetapi Clara tak menyahutinya, entah dia pergi kemana.
Alice merasa terjebak dalam ruang yang gelap itu.
Dia berjalan miring bagaikan seekor laba-laba.
Meraba sepanjang sisi tembok, untuk menemukan sebuah saklar lampu.
Alice yakin jika di sini pasti ada sumber pencahayaan, karena beberapa kali dia mendapati Sea keluar masuk dari ruang ini, yang artinya pasti ada sumber cahaya untuk mempermudah wanita itu ketika berada di ruangan ini.
Hingga dia sampai di sudut tembok, dan dia menemukan sebuah saklar lampu.
"Yes! Akhirnya berhasil juga!" Alice terlihat gembira, dia menekan tombolnya, dan seketika ruangan berubah terang-benderang tampak segala isi di dalamnya.
Mayat-mayat kering berjajar di atas sofa. Dan dalam ruangan itu memang di hias dengan meriah tak kalah menarik dengan hiasan yang ada di ruang tamu. Memang seperti sedang ada pesta di ruang ini, bahkan di sini juga terdapat meja makan dengan hidangan yang sama dengan ruangan atas.
Alice benar-benar syok, dia mendekati mayat-mayat itu melihat dengan lebih detail.
Dia masih penasaran denganya apa yang ada di depannya ini, dia masih ragu untuk mengatakan ini adalah mayat. Bahkan dia masih mengira jika benda-benda ini adalah patung.
Alice mendekati mayat gadis kecil, yang secara perawakan, pakaian, dan gaya rambutnya, sangat mirip dengan Clara.
"Tidak mungkin kalau ini adalah, Cla—" Kalimatnya terputus saat dia melihat jasad Livy Jones.
"Apa itu, Livy?" Alice menatapnya dengan seksama, "apa benar jika patung-patung ini adalah mayat?"
Lalu Alice mendengar deru nafas tersengal-sengal, seperti suara orang yang sedang di ambang kematian.
Alice mencari letak suara itu.
Dan kedua bola matannya seakan keluar dari kepala, ketika dia melihat Archer tengah duduk di bawah sofa.
Tangannya diborgol, kedua kakinya dipasung. Dan pria itu menyandarkan tubuhnya di tembok, Archer setengah sadar, setengah tidak, Alice hampir tak menyadari jika itu adalah Archer, karena luka-luka yang menghiasi tubuhnya begitu banyak.
Darah-darah berceceran, bahkan sebagian sudah mengering.
"Astaga! Apa kau, Archer!" Alice mendekatinya, dan dia mencoba menyadarkan Archer.
"Archer! Archer! Sadar, Archer!" Alice menepuk-nepuk wajah si pria.
"Apa kau baik-baik saja? Archer! Ayo sadar! Ini aku, Alice!"
Archer membuka matanya dengan penuh kesulitan, dia melihat Alice dengan seksama, lalu sedikit tersenyum.
"Alice ... kau ... benar-benar, Alice?" tanya pria itu dengan suara lemah, dan sesekali perkataannya terhenti karena dia masih berusaha memperbaiki pernafasannya.
"Iya, benar! Aku adalah, Alice! Ayo bertahan, Archer! Aku akan menyelamatkanmu!" kata Alice dengan penuh semangat.
Alice segera meraih ponselnya, untuk menghubungi Felix.
"Ah, sebentar! Aku harus menghubungi temanku, agar bisa membantu kita!" kata Alice.
Tapi Archer berusaha untuk menghentikannya. Karena Archer merasa percuma saja Alice menghubungi temannya sekalipun, dia merasa sudah tidak kuat lagi. Mungkin hidupnya tidak akan bertahan lama.
"Alice ...." Archer memanggil, dengan tangan yang bergetar dan masih dilingkari oleh borgol, Archer meraih ponsel Alice, dia ingin Alice mendengar ucapannya yang terakhir kali.
"Archer, aku harus menelepon—"
"Alice, dengarkan aku ...."
"Yah, kau ingin berkata apa, Archer?"
"Maafkan aku ...." Ucapnya.
"Iya, aku sudah memaafkanmu, kau ingin berkata apa lagi, Archer?"
"Alice ... aku ingin kau menjaga Bella, Diana, dan Daniel, aku 'uhuk!' aku ... mohon ...."
"Iya! Iya! Aku akan menjaga mereka! Tapi tolong bertahanlah! Aku akan menyelamatkanmu, Archer!" pinta Alice.
"Satu ... lagi, Alice ...."
"Iya, apa? Katakan saja, Archer!"
"Sampaikan maafku kepada, Bel ... Bella ...."
Setelah itu kedua mata Archer terpejam. Dan dia tak bergerak lagi.
"Archer ...?" Alice menggerak-gerakkan tubuh Archer dengan kasar.
"Archer! Archer! Bangun, Archer!" Alice berteriak-teriak dengan histeris.
"Kalau kau mati, bagaimana aku berbicara kepada Bella! Dia pasti akan bersedih, Archer!" Alice begitu frustasi.
"Archer! Jangan mati, Archer! Apa kau tak memikirkan nasip Diana, dan, Daniel?! Mereka akan menjadi anak yatim, Archer!"
"Oh, tidak!"
"Archer ...!" Alice akhirnya pasrah menerima keadaan jika Archer sudah meninggal.
Teriakan sekencang apapun akan percuma, dia tak mungkin bisa membuat Archer bangun.
Alice tak menyangka jika Archer akan mati dengan cara setragis ini. Meski dia sangat membenci Archer, tetapi dia tidak rela Archer mati. Dia kasihan kepada Bella dan anak-anaknya.
"Ah, Felix! Yah, Felix! Aku harus menghubungi Felix saat ini juga!" Alice meraih ponselnya.
Drtt....
"Ayo angkat, Felix! Kumohon ...!" Alice menangis dengan wajah panik.
Tak berselang lama panggilan telepon tersambung.
"Halo, Felix! Ayo jemput aku di rumah, Sea! Secepatnya!" pinta Alice.
[Alice, apa kau baik-baik saja!] tanya Felix.
"Sudah, jangan banyak tanya! Ayo cepat kesini, Felix!"
To be continued