Malam yang dinanti telah tiba, Alice bersiap untuk datang rumah Sea.
Tetapi Alice masih tampak ragu-ragu untuk melangkahkan kakinya.
Berkali-kali dia merapikan pakaian, serta melihat wajahnya di depan cermin.
"Bagaimana kalau Sea, benar-benar seorang Pembunuh Berantai?" Alice bermonolog. Dia masih dirundung kecurigaan, serta takut jika Sea akan melukainya, namun Alice berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa dia akan tetap datang untuk mencari jawaban atas kecurigaannya selama ini.
"Ah, apapun yang terjadi aku harus tetap datang! Dia Pembunuh, atau bukan! Aku tetap harus menyelidikinya!"
"Kalau aku tidak datang, maka selamanya aku tidak akan tahu cerita yang sesunguhnya!" Alice meyakinkan dirinya sendiri, dan kini dia mulai berjalan keluar rumah.
*****
Sebelum mengetuk pintu rumah Sea, Alice menyempatkan diri untuk mengabari Felix, lewat pesan whatsapp.
[Felix, aku sudah di depan pintu rumah, Sea,] tulisanya dalam pesan itu.
Setelah membaca pesan dari Alice, Felix langsung bergegas menuju rumah Alice.
***
Tok! tok!
Alice mengetuk pintu rumah Sea.
Ceklek!
Sea membuka pintu dengan senyuman hangatnya.
"Hai, Alice! Kau datang juga!" ucapnya dengan raut bahagia.
"Halo, Sea, selamat Halloween," ucap Alice.
"Selamat Halloween juga, Alice!" ucap Sea. Perempuan itu menarik tangan Alice.
"Ayo ikut denganku! Kami semua sudah menunggu kedatanganmu!" ucap Sea.
Ketika memasuki rumah Sea, Alice begitu takjub dengan suasana ruangan yang tampak sangat berbeda.
Suasana Halloween begitu kental, tetpi anehnya di dalam rumah Sea tampak sepi.
Sea berkata, jika Sea dan yang lain sudah menunggu kedatangan Alice, yang artinya mertua dan anak Sea yang bernama Clara sudah datang, tetapi ternyata tak ada siapapun di ruangan ini.
Dan malah ada patung-patung yang duduk di atas kursi.
Alice mendekat dan melihat dengan seksama patung-patung itu. Dia merasa aneh, dan dia belum menyadari jika patung-patung itu adalah para mayat kering koleksi Sea.
Terdapat dua mayat kering yang tengah duduk di ruang makan, mereka adalah: Ny. Amelia Baker, dan Tn. Bobby Baker, orang tua dari Edward Baker suaminya Sea.
"Sea, ini patung?" tanya Alice agak bingung.
"... kita langsung makan saja ya?" sahut Sea, tanpa menjawab pertanyaan Alice terlebih dahulu.
Alice pun duduk di meja makan, dan disuguhi hidangan makan malam yang sungguh menggoda. Namun Alice tidak mau buru-buru menyantap makanan itu. Tentu saja dia harus waspada dan takut jika Sea menaruh sesuatu dalam makanannya.
"Sea, di mana mertua dan putrimu?" tanya Alice.
"Mereka, ada di ruang bawah tanah," jawab Sea berbohong. Padahal mertuanya ada di meja makan ini, dan tengah duduk bersamanya. Sedangkan Clara memang ada di ruang bawah tanah.
"Benarkah? Tapi kenapa tidak ikut makan bersama kita? Kau sudah mempersiapkan ini sejak pagi, kenapa hanya aku yang kau suruh makan?" tanya Alice.
"Ah, itu ... karena kau sangat sepesial, Alice," jawab Sea sedikit terbata-bata, terlihat jelas jika dia sedang berbohong.
Alice meraba jasad, Ny. Amelia.
"Sea, di mana kau membeli benda seperti ini?"
"Aku membelinya di ... eh, kenapa tanya begitu? Kau menyukainya, ya?" tanya Sea, dan lagi-lagi perempuan itu mengalihkan pembicaraan dengan topik lain.
Alice semakin curiga, pertama dia tak melihat kehadiran mertua dan putri Sea, dan kedua dia juga tak mendengar suara apapun dari ruang bawah tanah, harusnya kalau benar mereka mengadakan pesta dalam ruangan itu, paling tidak akan ada suara musik atau gelak tawa dari sana, walau hanya terdengar samar. Tetapi ini tidak sama sekali, bahkan suasana begitu hening.
Dan yang lebih aneh lagi, mengapa merayakan pesta harus di ruang bawa tanah?
Kenapa tidak di ruang tamu atau ruang tengah saja? Padahal keadaan rumah sudah di hias dengan sedemikian rupa.
Kecurigaan Alice benar-benar terasa kian nyata, dia benar-benar tidak boleh menyantap sedikit pun makanan ini. Apalagi saat dia melirik lagi ke bagian benda yang ada di sampingnya, dia merasa jika benda itu bukan sekedar patung, untuk di jadikan hiasan Halloween. Tapi seperti manusia sungguhan yang sudah diawetkan.
Alice segera mencari cara untuk tidak menyantap sedikitpun makanan yang sudah disipakan oleh Sea.
"Sea, kau suka kopi?" tanya Alice.
Sea menganggukkan kepalnya, "Tentu saja, aku suka kopi hitam pekat yang diberi sentuhan susu atau krim di atasnya," jawab Sea.
"Sea, bolehkah aku membuatkannya untukmu?" tanya Alice.
"Oh, tentu saja!" jawab Sea.
"Baiklah, aku akan membuatkan khusus untukmu! Yang ini spesial lo!" ucap Alice.
Sea sedikit bingung dengan Alice yang tiba-tiba menawarinya kopi. Ini tak seperti biasanya, lalu Sea berusaha untuk mengajak Alice, untuk segera makan bersamanya.
"Alice, sebaiknya jangan membuat kopi sekarang! Kita makan dulu saja!" ucap Sea.
"Sebenarnya aku masih kenyang, Sea. Lagi pula aku terbiasa minum kopi dulu sebelum makan," ucap Alice. Padahal dia hanya asal bicara saja.
"Benarkah? Memangnya ada orang seperti itu? Tidak bisa makan sebelum minum kopi? Bukankah kopi bisa menyebabkakan masalah lambung, ya?" Sea bertanya.
"Ah, itu bagi orang lain, lain halnya denganku. Yasudah, kamu tunggu sebentar, ya!" Alice bergegas ke dapur, dan membuatkan kopi untuk Sea.
Diam-diam Alice membubuhkan obat tidur dosis tinggi pada cangkir kopi milik Sea. Setelah selesai dia mengajak Sea duduk di sofa sambil menikmati kopi.
'Maafkan aku, Sea,' bicara Alice di dalam hati.
***
"Ini kopinya," kata Alice.
"Wah, kelihatan enak sekali!" puji Sea.
"Tentu saja, membuat kopi salah satu keahlianku yang tak bisa di ganggu-gugat!" Alice berbicara agak sombong, untuk meyakinkan Sea agar mau meminum kopi buatannya.
Dan benar saja, tanpa merasa curiga, Sea segera meminum kopi itu.
Alice juga meminum kopinya dengan santai, supaya Sea tidak curiga.
Mereka juga mengobrol seperti biasa, hingga beberapa saat kemudian Sea mulai merasa pusing dan kepalanya terasa berat.
"Aduh kenapa aku mendadak pusing, ya?" ucap Sea seraya memegangi kening.
"Sea, kau baik-baik saja?" tanya Alice, yang pura-pura khawatir.
"Alice, kau makan duluan saja, ya? Aku ingin tidur sebentar," ucap Sea.
"Ah, baiklah," Alice menganggukan kepalanya.
Dan setelah itu dia bergegas meninggalkan Sea yang sudah tertidur di sofa sendirian.
Dia kembali ke ruang makan, dan memeriksa patung yang ada di ruang itu.
Alice mengelus rambutnya, sebagian ada yang rontok.
Mulut gadis itu terbuka dengan kedua melotot tajam.
"Astaga! Apa jangan-jangan ini—"
Alice begitu syok, dan semakin terkejut lagi saat melihat kedatangan seorang gadis kecil dengan wajah yang pucat. Dan gadis kecil itu menghampirinya.
Alice akhirnya bisa melihat dengan dekat, sosok anak kecil yang sempat ia lihat tadi pagi.
"Apa kau, Clara?" tanya Alice.
Dan gadis itu menganggukan kepalanya.
To be continued