Meski kembali curiga karena melihat noda darah dan lubang dalam pakaian yang dibuang oleh Sea, tapi Alice terus berusaha untuk meyakinkan dirinya, agar selalu berpikiran positif.
"Hah dasar, Alice, kenapa kamu ini selalu berpikiran buruk terus sih? Padahal pikiran buruk akan membuatmu menjadi semakin buruk," bicara Alice kepada dirinya sendiri.
Dia kembali mengayuh sepedanya, dan sesampainya di restoran, tampak Felix juga baru saja sampai.
"Hai, Alice, selamat pagi," sapa Felix.
"Selamat pagi, Felix!" sahut Alice dengan ceria.
Alice juga tak lupa menyapa seluruh teman-temannya di restoran ini.
"Hai semuanya! Selamat pagi!" ucap Alice seraya melambaikan tangannya.
Dan seluruh teman-temannya juga menyapa Alice dengan begitu ramah.
"Selamat pagi juga, Alice!"
Mereka mulai mempersiapkan bahan-bahan dan merapikan piring-piring.
Sebentar lagi restoran akan segera buka.
5 menit setelah Restoran buka, tampak seorang wanita paruh bayah menjadi pelanggan pertama mereka.
Wanita itu duduk di salah satu bangku pengunjung.
Wajah wanita itu tampak begitu lesuh.
Perlahan Alice, menghampiri wanita itu.
"Permisi, Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" sapa Alice dengan begitu ramah.
"Selamat pagi," sahutnya.
"Apakah, Anda, ingin memesan sesuatu?" tanya Alice seraya memegang papan menu.
Lalu si wanita menggelengkan kepalanya.
"Maaf, aku tidak ingin makan, tolong buatkan aku minuman hangat saja," ujarnya.
"Ah, begitu ya, kami menyediakan beberapa Jenis minuman hangat, Anda ingin yang mana?" tanya Alice.
"Buatkan aku coklat hangat," ujarnya. Si wanita mulai memegang pelipisnya dan memijatnya sesaat.
Alice tidak langsung melayani pesanan si wanita tersebut, Alice adalah orang yang begitu peka dengan perasaan orang yang sedang dalam kesulitan.
Melihat penampilan si wanita itu, membuat Alice begitu yakin jika wanita itu sedang dalam kesulitan.
"Maaf, Nyonya, apa Anda sedang tidak enak badan? Atau mungkin Anda sedang mencemaskan akan suatu hal?" tanya Alice kepada si Wanita.
Wanita itu mulai mengangkat dagunya perlahan.
"Iya, aku sedang mencari putriku, Nak," ucap wanita itu.
"Loh memangnya di mana putri, Anda?" tanya Alice.
"Dia menghilang," ujarnya. Lalu perlahan wanita paruh baya itu mengeluarkan selebaran kertas dari saku mantelnya.
"Aku sedang mencari putriku ini," tukasnya, seraya menyodorkan sebuah kertas kepada Alice.
"Loh dia, 'kan—" Alice tampak syok melihat foto seorang gadis yang ada di dalam selebaran itu, dan ini adalah gadis yang sama dengan selebaran yang ia temukan kemarin.
Wanita paruh baya ini sedang mencari si Gadis Tuna Wicara yang tempo hari ia bertemu.
"Jadi, Anda keluarga dari gadis dalam selebaran ini?" tanya Alice memastikan.
Si wanita paruh baya mengangguk.
"Benar, aku adalah ibu kandung dari Livy Jones, gadis yang ada di selebran ini," jawabnya.
"Jadi wanita itu belum di ketemukan?" Alice terlihat ayok.
"Belum, hingga saat ini aku masih mencari-cari Livy, sebagai seorang Ibu, aku sangat merindukan putri semata wayangku itu," tukas wanita paruh bayah itu sambil menangis sesenggukan.
Alice turut bersedih melihatnya, lalu dia memberikan selembar sapu tangan kepada si wanita.
"Saya, sempat melihat putri, Anda, tapi hanya sesaat saja," ujar Alice.
Si wanita langsung mengangkat wajahnya.
"Benarkah?!" Dia begitu antusias, "lalu di mana putriku selanjutnya? Apa kau tahu di mana dia berada?!" tanya si Wanita seraya memegang pundak Alice dengan kencang.
Dia begitu ingin mendapatkan jawaban dari Alice saat ini juga, dan mendapatkan sebuah titik terang tentang keberadaan putrinya, tapi sayang semua tak sesuai ekspektasi.
Karena Alice sudah terlanjur membiarkan gadis itu di tolong oleh Sea.
Dan sekarang Alice juga sudah tak tahu lagi di mana keberadaan Livy Jones.
Si wanita yang mengaku ibu dari Livy tampak sangat kecewa.
Perlahan dia pun bercerita kepada Alice, tentang apa alasan Livy menghilang.
"Sebenarnya, Livy pergi juga karena salahku," ucapnya.
"Kenapa, Anda, malah menyalahkan diri sendiri?" tanya Alice.
"Iya, karena aku sudah membiarkan ayahnya mengusir, Livy. Suamiku memang sangat membenci Livy, dia bilang Livy hanya anak pembawa sial, dan hanya mempermalukan keluarga saja. Dia tak bisa menerima kekurangan, Livy, tapi lain halnya denganku, sebagai seorang ibu aku menerima apapun kekurangan putriku, terlebih dia anak yang baik dan penurut. Tapi sayangnya, aku terlalu lemah dan takut menghadapi suamiku sendiri, sehingga aku membiarkan dia mengusir Livy, dan sekarang aku baru menyadari kesalahanku, aku kehilangan Livy, aku tidak tahu di mana putriku berada ... aku adalah seorang ibu yang bodoh," ucap si wanita dengan penuh penyesalan dan derai air matanya kian deras.
Alice tak tega melihatnya, dia memeluk tubuh si wanita.
"Sabar, Nyonya, aku akan membantu, Nyonya, semampuku, begitu aku melihat Livy, aku akan segera menghubungi, Nyonya," tukas Alice seraya mengelus pelan pundak si wanita.
"Kalau boleh tahu siapa nama, Anda?" tanya Alice, lalu si Wanita mengulurkan tangannya.
"Perkenalkan namaku, Rose Jones, panggil aku, Rose," ucapnya.
"Baik, Nyonya Rose, senang bertemu dengan Anda, dan semoga saja Anda, bisa lebih tabah dalam menghadapi masalah ini, dan maaf, aku harus melanjutkan pekerjaanku dulu," tukas Alice.
Rose menundukkan kepalanya sesaat. "Silakan," ucapnya sambil tersenyum.
Alice pun beranjak ke dapur lalu dia membuatkan pesanan dari si wanita yang bernama Rose itu.
Meski dia ingin mengobrol banyak dengan Rose, tapi Alice tidak enak dengan teman yang lain, oleh karena itu dia segera melanjutkan tugas-tugasnya terlebih dahulu.
'Tadi, ingin coklat hangat ya?'
Kata-kata dari Rose terus mengganggu pikiran Alice, dia sangat kasihan kepada Rose.
Terlebih kepada Livy, dia adalah gadis yang sangat malang.
Tumbuh menjadi gadis dewasa dengan keterbelakangan mental dan tak bisa berbicara bukanlah hal yang mudah.
Terlebih sang Ayah sangat membencinya.
'Apa ayahnya juga sering memukulinya ya? Sehingga tubuh gadis itu terlihat banyak memar dan kebiruan?' tanya Alice di dalam hati.
***
Sampai jam istrahat tiba, si wanita paruh baya bernama Rose itu belum juga pergi, dan Alice pun kembali menghampirinya, untuk mengobrol banyak tentang Livy.
"Nyonya, tidak pulang?" tanya Alice seraya menarik kursi dan duduk di samping si wanita.
"Aku, belum siap untuk pulang. Karena aku belum menemukan Livy," jawabnya.
"Baiklah ... aku mengerti, kalau begitu biar saya temani," pungkas Alice.
Dan si wanita tersenyum. "Terima kasih," ucapnya.
"Nyonya, apakah suami Anda, juga sering memukul, Livy?" tanya Alice.
"Memukul?" Rose tampak sedikit bingung.
"Tidak!" jawab Rose.
"Apa, Anda, yakin?"
"Tentu saja, aku sangat yakin, karena meski suamiku sangat kasar dan membenci Livy, tapi suamiku tak sedikit pun pernah memukul Livy. Hanya kata-katanya saja yang sangat kasar," tutur Rose menjelaskan kepada Alice.
"Sungguh?!" Alice tak percaya mendengarkan penjelasan dari Rose ini, karena rasanya tak mungkin jika ayah dari Livy tidak memukulinya.
Jelas-jelas sekujur tubuh Livy terdapat banyak luka lebam dan juga memar-memar.
kalau bukan ayahnya yang melakukan lalu siapa?
To be continued