"Ah aku ... sedang ...." Alice tampak salah tingkah karna dipergoki oleh Sea.
"Alice, sebenarnya kau itu mau apa?" tanya Sea.
Alice menunduk dan dia berkata, "Aku tak sengaja melihatmu yang sedang membuang sesuatu di situ," ujar Alice seraya mengarah sebuah tong sampah.
Sea mendengus kesal dan seperti ingin marah, namun wanita itu bisa menetralisir amarahnya dengan cepat.
"Alice, kau tahu, 'kan, kalau itu sebuah tempat sampah, wajar jika aku membuang sesuatu di sana?" ujar Sea.
"Ah... haha ... ha!" Alice tertawa dengan sedikit canggung.
"Kau benar, Sea, aku saja yang kurang kerjaan," ujarnya agak malu-malu.
"Sebenarnya, apa yang kau curigai dengan benda yang kubuang?" tanya Sea.
"Aku ...," Alice menggaruk pelipisnya, dia kembali ragu untuk menjawabnya.
"Katakan saja, Alice! Apa kau curiga akan suatu hal kepadaku?" Sea seakan terus menghunjam Alice dengan pertanyaan yang memancingnya untuk mengatakan sesuatu.
Sea memegang pundak Alice yang kian gugup.
"Katakan apa pun yang ingin kau tahu, dan jangan pernah berbohong kepadaku, kita ini bertetangga, jadi jangan sampai membuat hubungan kita kian merenggang hanya karna masalah kecil," tukas Sea.
Akhirnya Alice pun hendak mengatakan kecurigaannya kepada Sea.
Benar apa yang dikatakan oleh Sea, lagi pula Sea adalah orang yang baik di matanya, dan tidak seharusnya pula dia curiga jika Sea telah menyembunyikan si Gadis Tuna Wicara itu.
"Begini, Sea. Aku ingin jujur kepadamu, jadi aku tadi seperti melihat kau membuang pakaian di tong sampah itu. Dan pakaian itu sangat mirip dengan wanita bisu yang kemarin, oleh karena itu aku ingin memastikan kebenarannya," jelas Alice.
"Oh, jadi begitu rupanya?"
"Iya, dan karrna aku sudah jujur kepadamu, apa boleh aku mendengar kejujuran darimu juga?"
"Tentu saja, memangnya kau ingin bertanya apa?"
"Begini Sea, apa benar jika pakaian itu milik wanita yang kemarin?" tanya Alice.
"... benar," jawab Sea.
"Lalu, di mana dia sekarang, Sea?"
"Bukankah, kemarin aku sudah berkata kepadamu, jika gadis itu sudah pergi!" jelas Sea, dan nada bicaranya agak tinggi, sepertinya dia mulai kesal.
"Maaf, Sea, aku membuatmu kesal, karena bertanya-tanya ulang, tapi aku memang orang yang selalu penasaran, jadi karena hal itu aku selalu ingin memastikan apa yang aku lihat dan mendapatkan jawaban dari rasa penasaranku. Jujur aku mengira jika kau menyembunyikan Wanita Bisu itu di rumah ini. Dan aku juga mengira jika kau adalah pembunuh dan ka—"
"Pembunuh katamu?"
"Maaf, Sea," Alice menunduk. "Memang pikiranku terkadang tak masuk akal, tapi aku yakin kau bukanlah seorang pembunuh, karena kau sangat baik kepadaku, tapi lagi-lagi perasaan penasaran serta pikiran burukku terus mendorong untuk mengetahui semuanya. Jadi apa kau bisa jelaskan kepadaku apa tujuanmu membuang pakaian wanita itu?" tanya Alice.
Alice mengatakan dengan detail isi hatinya, dan dia tampak gugub, Alice begitu takut jika Sea akan marah. Karena dia sudah berpikiran buruk kepada Sea. Mungkin setelah ini Sea juga akan menganggab Alice orang gila, karena sudah berpikir yang tidak-tidak dan di luar akal sehat manusia sehingga terkesan mengada-ngada.
Tapi hal yang tak terduga pun terjadi, ternyata Sea malah menertawakan Alice.
"Haha! Alice! Alice! Kau ini lucu sekali, jadi kau mengira jika aku ini adalah pembunuh ya?"
Alice tersenyum malu, tapi dia merasa senang karena Sea tidak jadi marah dengannya.
"Baikalah, Alice! Kalau kau sangat penasaran denganku, aku akan menceritakan dengan detail apa yang sudah terjadi kemarin,"
Sea membuka tong sampahnya, lalu melihat sesaat pakaian yang ia buang tadi.
"Aku membuang pakaian ini, karena memang sudah tidak berguna. Jadi si Wanita Bisu tidak memakai pakaian yang layak pakai, oleh karna hal itu, selain memberinya makan, aku juga memberikannya pakaian," jelas Sea.
Alice manggut-manggut mengerti, "Oh jadi begitu ya?"
"Bagaimana, apa kau masih juga mencurigaiku sebagai pembunuh?" ledek Sea.
"Haha! Tentu saja tidak!" jawab Alice seraya menepuk pundak Sea.
"Eh, Sea, hari ini kau masak apa?" tanya Alice.
"Kau mau mampir ke rumahku sebentar?" tanya balik Sea.
"Eh, aku hanya bercanda, Sea. Lagi pula aku sudah akan berangkat bekerja, jadi aku akan sarapan nanti saja di sana,"
"Kau masuk jam tujuh, 'kan?" tanya Sea.
"Iya, aku masuk jam tujuh, memangnya kenapa?"
"Ini baru jam enam pagi, jadi kau masih punya banyak waktu, lagi pula jarak dari rumah ke tempat kerjamu hanya memakan waktu sekitar 15 menit saja, kau tidak akan telat, oleh karna itu mari masuk ke dalam rumahku dan aku akan membuatkan roti panggang untukmu," ajak Sea.
"...."
Alice pun akhirnya menyetujuinya.
Sea benar-benar orang baik di matanya, lalu bagaimana mungkin dia tadi bisa berpikiran buruk terhadap Sea.
Rasanya Alice seperti orang yang bodoh saja.
"Kau tunggu di sini, aku akan membuatkan roti panggang untukmu," ucapnya.
"Sea, kira-kira lama tidak?"
"Yah, sekitar 5 jam!" jawab Sea berkelakar.
"Apa?!" Alice sampai berdiri mendengarnya.
"Haha! Lagi-lagi kau tertipu. Sebenarnya aku sudah membuatnya sejak tadi hanya saja aku belum sempat memakannya," jelas Sea seraya menaruh piring berisi roti di depan Alice.
"Ini hanya satu porsi?" tanya Alice.
"Iya, benar!"
"Untukmu mana?"
"Oh, aku bisa membuatnya lagi nanti, masih banyak kok persediaan rotiku," jelas Sea tersenyum ramah.
"Ah, aku jadi tidak enak, Sea."
"Sudah, makan saja, lagi pula aku senang melihatmu makan dengan lahap, dan dengan begitu kau akan menjadi gemuk," ujar Sea dengan nada bercanda.
"Oh Tuhan! Jadi kau pikir aku ini terlalu kurus ya?"
"Eh, tidak begitu, Alice,"
"Ah, baiklah! Tolong buatkan aku 5 roti lagi!" perintah Alice berkelakar.
Setelah menghabiskan roti itu, Alice berpamitan dengan Sea.
"Sea, terima kasih banyak, aku berangkat dulu ya?"
"Baiklah, hati-hati ya!" ujar Sea seraya melambaikan tangannya.
Sekeluarnya dari rumah Sea, Alice menyempatkan diri untuk kembali melihat tong sampah itu.
Karena kebetulan, Sea lupa menutupnya.
Baju dalam tong sampah itu terlihat memiliki banyak lubang, seperti tusukan sebuah pisau, dan ada banyak noda darah.
"Perasaan, Wanita Bisu, yang kemarin hanya memiliki luka lebam di beberapa tubuhnya, dan tidak ada yang mengeluarkan darah, lalu ini darah apa?" Alice kembali bertanya-tanya dalam hatinya.
Tapi Alice segera menyangkal firasat buruknya itu.
"Ah, tidak! Ayolah, Alice, jangan berpikiran yang tidak-tidak!" tukasnya kepada dirinya sendiri, sembari memukul-mukul pelan kepalanya.
Dia kembali berpikir secara positif, lagi pula kemarin tangan Sea sedang terluka, bisa saja kalau darah itu berasal dari luka dari tangan Sea.
To be continued