"Selamat sore semuanya? Apa kalian baik-baik saja?" tanya Sea.
Tak ada satu pun orang yang menanggapinya, ruangan itu begitu sepi.
Sea berbicara dengan ruang hampa.
Lalu dia meletakan sekeranjang buah di atas meja.
"Dia adalah penghuni baru, aku harap kalian bisa menerimanya. Dia dibuang oleh keluarganya, mungkin dengan tinggal bersama kita, maka dia akan merasa memiliki keluarga baru," tukas Sea berbicara kepada para mayat kering dalam ruangan itu.
Termasuk si Wanita Tuna Wicara yang ia temui tadi pagi juga sudah berada di tempat itu.
Tubuh si wanita penuh luka, dan darah berceceran di mana-mana.
Dia tak bergerak sama sekali, seperti sudah tidak ada daya. Tapi nafasnya masih terdengar, agak tersengal seperti tengah meregang nyawa.
"Kau ini kasihan sekali lukamu semakin parah saja. Maafkan aku ya, aku melakukannya tadi tidak sengaja, makanya jangan membuatku marah," gumam Sea, dia meraih satu baskom air dan membersihkan luka serta bercak darah pada wanita itu.
"Ah, sekarang sudah bersih, aku akan mengobati luka-lukamu," Dengan cekatan Sea meraih kapas dan alkohol, lalu dia menaruhnya di atas luka si wanita.
Wanita itu sedikit menggeliat, nampaknya dia merasa kesakitan, hanya saja dia tak bisa berbicara apa pun.
"Kau tunggu di sini ya, aku akan mengambilkan pakaian yang bagus," Sea meninggalkan ruang bawah tanah itu.
Dan si wanita tuna wicara mulai membuka matanya, dia mengedarkan seluruh pandangan, dan dia mendapati ada beberapa mayat-mayat yang sudah mengering.
Botol-botol bekas cairan kimia berserakan di mana-mana.
Para mayat kering itu duduk di atas sofa, masih lengkap dengan pakaiannya.
Dia semakin ketakutan, dia tidak mau jika dia akan bernasib sama seperti para mayat-mayat itu.
Wanita itu langsung berdiri, padahal tubuhnya tadi sudah melemah, dia seperti mendapatkan kekuatan tambahan, karena rasa takutnya.
Dia berjalan sempoyongan.
Ada satu pisau di atas keranjang buah, wanita itu meraihnya.
Lalu terdengar suara langkah kaki yang menuruni tangga, dan dia adalah Sea.
Si wanita bersembunyi di sudut tembok, tubuhnya kian gemetar. Wanita itu menggigit-gigit kuku jarinya sendiri.
Dia mengintip sedikit, dan tampak Sea membawakan gaun yang indah masih dengan gantungan yang melekat.
Tuk... tuk....
Langkah kaki Sea kian mendekat, tanpa membuang waktu si wanita itu menyerang Sea.
Dia menghunjamkan pisau yang ada si tangannya ke tubuh Sea.
Tapi Sea berhasil menghindar, meski begitu tangan Sea terluka akibat tergores pisau.
Kalau saja dia tidak berhasil menghindar, pasti pisau itu akan menancap di bagian dada atau mungkin juga lehernya.
Sea terdiam sesaat, dia memandangi luka yang ada di tangan, lalu bola matanya berpindah menatap ke arah si wanita
Wanita itu kian ketakutan, tubuhnya semakin lemas, tak ada daya lagi, pisau yang ada di tangannya pun terjatuh.
Klunting ....
Sea menatap pisau itu, serta si wanita tuna wicara itu juga terjatuh.
Sea menghampirinya, dia menempelkan satu jari tangannya di depan lubang hidung si wanita, dan sudah tidak ada hembusan nafas.
Lalu tangan Sea beralih kebagian pergelangan tangan, dia hendak mengecek bagian denyut nadi, dan ternyata sudah tidak ada lagi, rupanya si wanita itu sudah mati.
Sea melirik kearah pisau lalu menghunjamkan berkali-kali ke bagian tubuh wanita yang sudah mati itu dengan penuh amarah.
Jlub!
Jlub!
Jlub!
"JANGAN! MEMBUATKU KESAL! KAU TAU AKU BENCI DENGAN ORANG YANG SUDAH MELAWANKU! MENENTANGKU! ATAU BAHKAN SAMPAI MELUKAIKU!" ucapnya.
Sea mengoceh dengan suara yang lantang, di ruang bawah tanah yang sepi.
Dia sudah seperti orang yang sedang kerasukan.
Namun 1 jam kemudian, Sea sudah tampak tenang, dia kembali menghampiri mayat si wanita itu.
"Hai, kau sedang terluka ya? Kau tidak apa-apa?" bicaranya dengan seorang mayat.
Sea membersihkan tubuh si wanita, lalu melumuri tubuh wanita itu dengan cairan kimia.
Setelahnya dia memakaikan gaun yang tadi sengaja ia ambil langsung dari kamar, ke tubuh si wanita.
"Wah, gaunnya sangat cocok untukmu, siapa namamu? Bahkan aku sampai lupa berkenalan denganmu," Sea terdiam sesaat lalu dia teringat dengan kertas pemberian Alice tadi. Kertas yang bertuliskan 'Orang Hilang' dan orang dalam selebaran itu adalah wanita yang ada di hadapannya kini, wanita itu bernama Livy Jones.
"Ah, ya namamu, Livy. Aku baru mengingatnya. Tenang Livy, aku akan menampungmu di sini. Kau akan bersama keluargaku juga. Mereka adalah orang-orang yang baik, dan kau pasti akan betah tinggal bersama mereka," tutur Sea. Dia berbicara seolah-olah jika orang-orang yang ada di ruangan ini masih hidup.
Selanjutnya Sea memindahkan mayat wanita yang bernama Livy itu ke atas sofa bersama mayat yang lainnya, kemudian Sea keluar dari ruang bawah tanah.
Tok! Tok! Tok!
"Iya, sebentar!" sahut Sea.
Sea berjalan agak sedikit lebih cepat, untuk membuka pintu itu.
Ceklek!
Senyuman Alice mengembang menyambutnya, tapi tak berselang lama, ekspresi Alice berubah kaget bercampur panik.
"Apa yang terjadi?" Alice bertanya dengan heboh.
"Tidak ada apa-apa! Memangnya kenapa?" Sea lupa akan luka yang ada di tangannya.
"Itu, Sea! Kau terluka!" Alice segera mendekat.
"Ah, baunya amis! Pasti kau baru saja mengeluarkan banyak darah," Alice tampak kawatir dan dia menarik tangan Sea masuk ke dalam rumah, seolah-olah dialah si pemilik rumahnya.
"Kau punya kotak obat?" tanya Alice.
Sea terdiam sesaat, sebenarnya dia memiliknya tapi dia masih menaruhnya di ruang bawah tanah, sehingga tidak mungkin kalau Sea akan mengambilnya sekarang.
"Aku, tidak punya," jawab Sea.
"Oh, astaga! Yasudah! Kau tunggu di sini ya! Biar aku ambil kotak obat di rumahku!" Alice berlari begitu saja meninggalkan Sea.
Sea hanya menatapnya nanar, Alice tampak menghawatirkan dirinya. Perlahan terukir senyuman di bibir Sea.
Terlihat jelas senyuman itu begitu tulus dari dasar hatinya.
Tak berselang lama Alice kembali dengan membawa kotak obat dari rumahnya, tanpa bicara apa pun, dia dengan sigap membersihkan luka Sea dan mengobatinya.
"Maaf, Sea. Pasti akan terasa agak pedih," tukasnya.
Sea masih terdiam dan memandangi Alice.
"Alice,"
"Iya!" Alice menatap Sea, "ada apa?"
"Kenapa kau baik sekali kepadaku?" tanya Sea.
"Kau itu bicara apa! tentu saja aku baik kepadamu! kau itu, 'kan tetanggaku! Jadi sudah sewajarnya aku mengkhawatirkanmu!" jawab Alice, dan dia masih sibuk membungkus tangan Sea dengan perban.
"Oh, iya. Ngomong-ngomong apa yang baru saja terjadi kepadamu? Kenapa kau sampai terluka begini?" tanya Alice, tapi matanya masih fokus merapikan perban. "Ah, sudah selesai!" Kemudian Alice menatap Sea dan menunggu jawaban dari pertanyaan.
"Ah ... aku ...." Sea terdiam sesaat.
To be continued