Banten, 13 Mei 2019
Anna memperhatikan angkot yang menepi di dekat gerbang rumahnya. Pagi ini mereka hendak menuju kampus. Kali ini khusus untuk hanya praktikum saja tidak ada mata kuliah tambahan, jadi kemungkinan tidak akan lama.
Anna dan Lala mempercepat langkah kakinya menuju kendaraan roda enam tersebut. Mereka memilih tempat duduk di ujung dekat dengan Jendela yang terbuka. Lala duduk di sampingnya. Manik mata Lala menangkap Anna yang sedang terlihat dari pojokan matanya sedang tidak baik-baik saja. Hanya sekilas.
"Ann!"
"Eh, iya."Anna gelagapan ketika Lala memanggil. Mengira sahabatnya itu tahu kalau ia sedang memikirkan seseorang.
"Bawa lateks dan masker lebih nggak?"
Anna bernapas lega.
"Bawa, kenapa?"
"Pinjam, ya. Aku lupa."
Anna mengangguk seraya membuka tas untuk mengecek lateks dan maskernya. Selama menunggu penumpang lain naik, Anna melayangkan pandangan ke luar.
Lagi-lagi matanya terlihat sangat sedih dan bingung di tengah pengapnya angkot yang mulai dipenuhi orang-orang hendak sedang menuju pekerjaannya masing-masing.
"Ngeliatin apa, sih?"Lala ikut melongok.
Lala menjengit. "Bu-bukan apa-apa." Ia menoleh ke sahabatnya itu seraya tersenyum canggung.
Lala menatap penuh selidik. Dahinya sedikit berkerut.
"Apaan, sih?" Anna menyenggol bahu sahabatnya pelan.
Anna mulai merasakan kekecewaan yang kedua kalinya dalam hidupnya. Telapak tangan basah oleh keringat. Ia bergerak tidak nyaman di dalam angkot. Pikiran Anna teralih.
***
Sesampainya di Laboratorium Biologi yang letaknya tepat di belakang Masjid. Suasana hening, hanya bunyi AC yang terdengar.
"Ehem."
Anna bertambah gugup mendengar suara
di depannya, seorang laki-laki yang berdiri tegap, tegas dan memakai kacamata yaitu kak Nafis, salah satu Asisten laboratorium yang banyak penggemarnya.
"Bisa dimulai praktikumnya, adik-adik?" ucap kak Nafis sambil tak melepaskan pandangannya pada Anna.
Anna menarik napas panjang. "Insya Allah." Ia menata suara agar tidak gemetar.
"Baik. Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh."
"Wa'alaikumussalam warrahmatullahi wabarakatuh," jawab Anna lirih.
***
Anna mengembuskan napas lega. Akhirnya selesai juga praktikum. Ia sempat deg-degan awal tadi karena tidak mempersiapkan preetes yang biasa dilakukan sebelum praktikum. Dengan tujuan untuk menguji kesiapan mahasiswa untuk melakukan praktikum. Tapi, untunglah semua berjalan lancar.
Anna tidak menyangka takdir selalu mempertemukan ia dengan kak Nafis kembali. Apalagi setelah mengetahui rumor kalau Asisten laboratorium itu menyukai dirinya. Anna semakin merasa tidak nyaman jika dekat dengannya. Beberapa waktu lalu dan sesuatu yang tidak ia harapkan terjadi.
Anna masih menyimpan rasa ingin tahu tentang kak Nafis yang ia anggap hanya sosok kakak tingkat yang amat baik. Namun, penasarannya terbayarkan. Ia mulai mengetahui memang benar kak Nafis sedang mendekatinya.
Ketika itu mereka tengah bersiap keluar dari Laboratorium tempat praktikum berlangsung.
"Pulang, Ann?" sapa kak Nafis sembari menundukkan pandangannya, seolah Sangat terlihat sungkan melongok ke arah Anna.
Anna mencebik. "ii ... iya kak ... langsung pulang." Tidak dipungkiri Anna melihat ada yang berbeda dengan kak Nafis, ia terlihat sangat canggung ketika dengannya, namun dengan yang lain, tidak.
***
Seketika sunyi merambati hati Anna kembali. Ia membaca kembali pesan yang didapat dari Awan. Pesan yang dirindukan, membuatnya terhanyut dalam lantunan kalimat kebaikan. Tanpa terasa bulir bening mengalir. Ia hampir tidak bisa menahan isak yang keluar dari bibir. Membuatnya tergugu dan bingung atas ketidakberdayaaan.
Kali ini pesan yang dikirim dari awan adalah menanyakan kabar lalu bertanya kembali Kapan ulangan akhir, lalu lanjut mendoakan. Baru beberapa kata yang diketik Anna, tangisan sudah menggema. Bagaimana tidak, pesan itu bercerita tentang perhatian yang tidak wajar, juga tak layak dikirim kepada teman biasa. Anna tahu betul Awan mengirimkan pesan itu bukan hanya kepada dirinya, melainkan kepada orang lain pula.
Dari sini Anna tahu bahwa Awan berbuat baik kepada semua orang. Saat itu perasaan Anna bak ayunan. Ia mudah sekali dinaik-turunkan oleh sebuah ekspektasi. Ia mudah melambungkan ekspektasinya atas seseorang.
Hati yang tidak bersandar pada tempat-Nya tentu akan terlalu tinggi melambungkan ekspektasi. Bahaya, jika ekspektasi itu jatuh, dia pun ikut jatuh, sejatuh-jatuhnya. Kecewa sedalam-dalamnya. Sungguh, manusia benar-benar mencintai ekspektasi.
Tangisan semakin menderu.
Udara dingin, pesan yang menggetarkan telepon Anna, berasal dari nama Fira, menambah suasana meruam. Sambil mengingat pesan kemarin dari Fira untuk Anna.
"Ann, aku sering berbalas pesan dengan teman SMA kita lho, namanya Awan, kamu masih mengingatnya?" Isi pesan dari Fira.
"Oyah... tentu saja aku mengingatnya, dulu pernah satu kelas dengannya." Balas Anna.
"Awab baik ya, sangat responsif, aku senang bisa dekat dengannya, selalu membalas pesanku, lalu menasihatiku juga hehe..." balas Fira.
"Iya sungguh? hehe ... " balas Anna sambil mengakhiri pesan.
Namun Fira membalas kembali dan menceritakan perihal pesan singkatnya dengan Awan. Tapi Anna berpura-pura seolah belum membaca pesannya.
***
Selesai makan siang, Anna dan Lala kembali ke kamar untuk menyelesaikan laporan yang akan dikumpulkan besok lusa. Ketika Anna sedang menulis, tanpa sengaja Lala melihat notif pesan dari Awan yang terus mengirimi pesan yang berisikan pertanyaan mengapa sudah dua hari pesannya tidak dibalas oleh Anna "Ann, apa yang terjadi, kenapa kamu tidak membalas pesanku?"
"Kenapa?" ujar Anna yang mempergoki Lala sedang membaca notif pesan.
"Nggak, mau tahu aja. Isi pesannya berbeda. Ga nyangka kamu sampai tidak membalas pesannya begitu. Apa yang sudah Awan lakukan?"
"Iya, Awan ternyata tetap menjadi orang yang baik ke semua temannya. Fira juga sering berbalas pesan dengannya" ucap Anna lirih.
"Ooo ... siapa tahu mereka ada kepentingan tertentu saja, Ann."
Anna menajamkan pendengaran. Nampaknya Lala akan menenangkan hatinya.
Lala tak sempat menanggapi ucapan Anna panjang lebar karena bunyi teleponnya yang cukup mengganggu. "Pesan dari kak Nafis, bertanya kabar tentangmu, Ann!" ucap Lala kaget.
Jantung Anna berdebar pelan.
"kak Nafis?"
Deg!
Kak Nafis? Debar di dadanya bertambah kuat. Kakak tingkat yang selalu memberikan tatapan berbeda padanya ketika di Laboratorium?
Ia masih memproses informasi yang baru diterima. Belum percaya kak Nafis menyampaikan salam untuk Anna.
Anna tersentak ketika Lala menyenggol bahunya pelan."Gimana salam dari sepupuku dijawab tidak?"Lala penasaran.
Anna mengangkat bahu, ia sendiri masih belum yakin. "Iya, kali."
Lala tersenyum simpul. "Wah, jodoh banget sama kamu, Ann. Sama-sama
Pendiam."
"Shhh .... " Anna meletakkan telunjuk di bibir. Jangan aneh-aneh la.
Sahabatnya itu tertawa kecil sembari menutup mulut.
Sebenarnya bukan tanpa alasan Lala mengatakan hal itu. Kak Nafis memang terkenal baik, tegas dan banyak penggemarnya. Laki-laki dengan rambut klimis itu sangat menjaga pandangan bila sedang berbicara dengan lawan jenis. Awalnya Anna sempat khawatir biIa suatu saat ia mengagumi sikap kak Nafis, lalu bagaimana perasaannya terhadap Awan. Seharusnya Anna memang seperti itu. Mempertimbangkannya.
___________________
To ... Be ... Continue ....