Hari berlalu dengan lelah dan patah hati. Hingga akhirnya Anna tersadar lagi, Anna keliru! Di dunia ini ada fase seseorang akan mencintai sepenuh hati. Setidaknya sampai kali pertama ia patah hati. Saat di mana seseorang menumpangkan kebahagiaannya hanya kepada satu orang yang lain. Anna memilih Awanlah orang itu. Padahal kebahagiaan tidak pernah benar benar bisa ditumpangkan kepada seseorang. Sebab terlalu sayang seringkali mengaburkan batas mana hal yang sewajarnya, dan mana hal yang tidak seharusnya. Anna tidak menyadari, bahwa kebahagiaan bersamanya hanya berlaku saat ia bersamanya, jika Anna memilih pergi seharusnya kebahagiaan itu juga berpindah pada orang lain. Tanpa perlu ia sesali. Karena di dunia ini begitu banyak cinta yang indah, dan yang lebih indah. Sayangnya sekarang telah terulang lagi. Anna menerima semua Luka itu kembali. Dan berharap Akan lebih baik lagi. Tapi, entah belum tahu kisah ini akan berakhir baik atau tidak....
***
Selesai mengoreksi semua laporan adik tingkatnya Anna membereskan map, segera beranjak ke kamar dan membangunkan Lala yang tertidur kembali setelah Subuh.
"La... bangun, Ayo siap-siap ke kampus!" Anna mengguncang pelan tangan sahabatnya.
"Hmmm...," Lala masih mengantuk, seperti biasanya. Ia mengeratkan pelukan pada guling.
"La!" Anna kembali membangunkannya, tetapi tidak ada respons. Ia melangkah ke meja belajar untuk mengambil gelas berisi air.
Dituang sedikit ke tangan dan dipercik ke wajah Lala.
"Yaampun, Ann!" teriak Lala ketika air yang dingin menetes kulit wajah.
"Ayo bangun."
Lala mengucek mata. "Ann, kamu jahat Banget!" protesnya.
"Duduk dulu. Masih ingat, hari ini kita ada mata kuliah pagi jam 08.30 WIB. Laporanmu sudah selesai? tanya Anna.
"Ayo mandi dulu sana."
Dengan malas Lala beranjak. Membuat Anna tersenyum.
Ketika sedang membereskan tempat tidur, teleponnya berdering. Anna bergegas mengambil telepon yang tergeletak di meja belajar.
Deringnya kembali terdengar. Ia menarik napas pelan, mempersiapkan hati. Ia tahu betul siapa yang meneleponnya kala pagi itu.
"Halo. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Tebakannya tepat. Ia mengenal suara kak Nafis dengan sangat baik. Awalnya mereka hanya membahas program kerja di laboratorium, tetapi lama kelamaan mulai mengobrol hal di luar itu.
"Iya, kak, ada yang bisa Anna bantu?"
"Maaf mengganggu waktunya pagi-pagi."
Anna tersenyum kecil. "Nggak, kok."
"Aku mau menanyakan bagaimana pertemuan dengan adik tingkatnya pada saat di Laboratorium kemarin?"
"Ya ... biasa aja. Berjalan dengan lancar kak, adik-adiknya cukup disiplin jadi tidak ada yang di permasalahkan," jelas Anna.
"Terus bagaimana koreksian laporannya sudah selesai?" Sebenarnya kak Nafis bisa saja bertanya kepada Asisten laboratorium lainnya itu. Tetapi dengan begini ia punya alasan untuk menelepon Anna.
"Sudah selesai di koreksi kak. Dan nilainya bervariasi, jadi harus ada evaluasi untuk Minggu depan."
"Contohnya?"
"Sebaiknya dalam satu pertemuan praktikum diadakan tes sebelum dan sesudah praktikum kak, dengan tujuan untuk meningkatkan rasa ingin tahu praktikan terkait hal yanga kan di praktikum kan." Anna menjelaskan nya dengan pelan-pelan agar kak Nafis mudah menyerap saran yang dikeluarkan dari mulutnya.
Kak Nafis tersenyum kecil. "Iya, ide kamu sangat bagus, nanti saya akan membicarakan saran dari kamu, Ann dengan kak Randi, sungguh saya tidak salah pilih." ucap kak Nafis seraya dengan perasaan takjubnya denga Anna, hingga membuat Anna tersipu.
"Terimakasih, Ann. Untuk bantuannya," ujar Kak Nafis di ujung sana.
"Iya kak sama-sama. Anna senang bisa membantu kak Nafis," karena kak Nafis sangat baik padanya, tidak lebih dari itu.
"Baik, assalamu'alaikum." Kak Nafis menutup telepon ketika Anna membalas salamnya. Bukan tanpa alasan ia memercayakan Asisten Laboratorium kepada Anna. Ia merasa Anna memang orang yang tepat. Selama berhubungan dengan Anna , ia hampir tidak menemukan cela.
Kak Nafis berharap dirinya itu bisa menjadi dekat dan menjadikan Anna menjadi seorang yang istimewa dalam hidupnya. Karena menurutnya, Anna itu paripurna.
Anna mendecak pelan. Ia tahu. Tapi tidak mudah untuk menghindar. Anna harus ingat tujuannya menjadi Asisten Laboratorium, ikhlas karena Allah, mengasah kemampuannya dan membantu Asisten lainnya. gerutu anna dalam hatinya.
Tidak berkomunikasi untuk hal-hal yang tidak penting. Sebisa mungkin menghindar.
Terlintas kembali bayangan Awan dalam pikirannya yang sedari tadi hanya dipenuhi oleh sosok kakak tingkat yang baik hati itu.
Pikiran yang tengah diabaikan Anna Karena saat ini ia membicarakan hal yang semestinya tidak mereka bincangkan di telepon.
Anna menoleh ke arah Lala, dan ternyata sahabatnya itu kembali tidur di kasurnya. hal itu membuat Anna ingin merebahkan tubuhnya juga di atas kasur.
***
Perlahan matanya terbuka. Melihat jam mungil di atas meja belajar. Pukul delapan pagi. Setengah sadar, Anna bangkit dari tempat tidur. Ia kaget karena mengikuti kebiasaan Lala yang tertidur di pagi hari. Ketika Lala masih terlelap, ia sudah beranjak dari hangatnya kasur dan pergeli ke kamar mandi.
"La ... Lala ... bangun ...," Anna menggoyang tangan Lala pelan. Lala bergumam tidak jelas. Masih dalam pengaruh mimpi. Mata Lala mulai terbuka. Ia mengerjap beberapa kali sembari menajamkan pandangan. "Anna...."
"Iya, ayo bangun La," Anna tersenyum simpul. Sahabatnya itu masih belum sadar sepenuhnya.
Lala beranjak duduk dengan mata setengah terpejam. "Ini udah siang ?"
"Lima menit lagi."
Mata Lala terbuka lebar. "Apa! Aku kesiangan?" protesnya seraya meraih jam mungil yang ia letakkan di meja kecil. Benar saja, sebentar lagi salat.
Anna berjalan keluar kamar menuju teras rumah untuk menyiapkan beberapa laporan yang sudah ia koreksi tadi subuh, mengingat pagi itu ia harus pergi ke kampus untuk menjadi Asisten laboratorium.
Hembusan angin di pagi buta menyapu wajahnya, membuat Anna menggigil dengan gigi gemeletuk. Ia menggosokkan kedua tangan, berharap bisa memberi kehangatan.
Ketika menginjakkan kaki di dapur, Anna merasa lebih hangat, Alhamdulillah. Ia duduk di kursi busa, sengaja duduk di kursi itu ntuk menghangatkan tubuhnya. "Airnya dingin banget, Ann." Lala gemetar. "Kayaknya aku nggak kuat kalau harus mandi."
Anna tersenyum kecil. "Udah jangan mengeluh. Siap-siap, sebentar lagi kita pergi ke kampus."
Tidak lama Anna bangkit berdiri. Ia menarik napas dalam. Memusatkan pikiran untuk menghadirkan hati. Hati Anna bergetar ketika ia mengucapkan nama Awan yang beberapa hari ini menghilang lagi. Seketika hening, hanya helaan napas teratur yang terdengar. Memulai suasana sunyi yang menyatu dengan dinginnya cuaca pagi itu.
Anna tercengang ketika membuka telepon. Ada pesan dari seseorang yang ia tunggu namun ragu untuk membalasnya, sungguh rasa ini tak pernah dirasakan Anna sebelumnya.
Air mata Anna menggenang. Ia mengerjap. Bulir bening yang tertahan kini jatuh. Satu demi satu. Ia mengingat betapa tulusnya perasaan yang ia miliki untuk Awan. Begitu banyak keyakinan yang ia berikan kepadanya, namun begitu sedikit balasan darinya, justru beberapa keraguan yang ia dapat semakin membuatnya kecewa, lagi dan lagi.
Pernah suatu kali, Anna bertanya kepada Awan perihal apa tujuannya. Dan Lelaki itu menjawab dengan santai. Bahkan seolah tidak ada masalah sama sekali. "Kita jalani saja. Kalau kita bahagia, kenapa harus memikirkan hal yang lain?" Anna berusaha menerima teorinya. Anna pikir, benar juga, kalau kita bahagia kenapa harus memikirkan hal yang lain. Hanya saja ucapan orang yang ada disekitarnya yang kadang masih terngiang di telinga Anna. Namun ya sudahiah, kalau memang kita saling nyaman. Toh, buat apa mendengarkan orang lain yang hanya bisa komentar? Yang menjalani, kan, dirinya dan lelaki itu.
***
________________
To ... Be ... Continue ....
***