Banten, 20 Februari 2019
Anna mengabaikan apa saja pendapat orang lain. Sudahlah. Memang tak ada gunanya terlalu memusingkan padangan orang lain. Hidup akan terlalu rumit jika hanya mendengarkan pilihan orang lain untuk hidupnya. Dan, memang benar kata orang-orang. Terkadang kita perlu bodo amat untuk beberapa hal. Agar kita tidak merasa tersakiti. Dan Anna memilih menikmati apa saja yang ia rasakan. Menjalani hari hari dengannya. Semakin hari keduanya semakin dekat. Semakin terasa lebih dari sekadar teman. Hubungan mereka makin dalam. Namun, Anna dan Awan tidak punya status yang jelas untuk menyimpulkannya.
Namun, semakin hari, Anna merasa semakin terombang ambing. Perasaannya kian tumbuh. mereka melakukan hal hal yang dilakukan orang layaknya berpacaran pada umumnya. Namun, Anna tidak berhak menyebut lelaki itu kekasihnya. Anna tidak pantas melanggar batasan yang ia punya. Semakin Anna mengabaikan pikiran itu. Anna semakin dihantui oleh pertanyaan. sebenarnya hatinya itu apa, kenapa seolah dirinya yang sengaja sedang mempermainkannya?
Perasaan itu terus tumbuh. Pada akhirnya Anna semakin terjebak pada hubungan yang tak jelas. Pada hubungan yang hanya teman, tetapi melebihi teman. Pada hubungan yu yang bukan kekasih, tetapi seperti sepasang kekasih. Hingga akhirnya aku harus mengakui.
***
Selesai salat Lala bergegas menghampiri Anna ke teras rumah, matanya menatap wajah sembab sahabatnya, Lala penasaran.
"Lagi mikirin apa, Ann?" tanya Lala melihat sahabatnya termenung di kursi.
"Eh, nggak." Anna sedikit kaget. Padahal ia sedang memikirkan pesan yang Awan kirim.
"Yakin?" elak Lala.
"Yakin." Anna memasang wajah serius.
"Masih tentang Awan?" tebak Lala.
Anna mendengus. Ia memang biasa curhat kepada Lala tentang perasaannya pada Awan, jadi sudah tidak bisa berbohong lagi pada Lala.
"Udah, ah, sarapan yuk! Nanti telat ke kampus, lagi." Anna merapihkan tumpukan laporan yang hampir di selesaikan tinggal beberapa lagi yang masih perlu di koreksi.
Lala merengut. Ia mengikuti gerakan Anna dan menuju dapur untuk sarapan.
Mereka sarapan bersama di dapur. Ketika selesai, mereka bergegas mandi dan bersiap-siap berangkat ke kampus.
Anna memandang keluar jendela seraya bertopang dagu. Angkot melaju dengan kecepatan sedang di tengah gerimis, membawa beberapa penumpang yang mayoritasnya mahasiswa dan ibu-ibu yang akan pergi ke pasar, jadi cukup menyesakkan di dalam angkot pagi itu.
"Ngelamun lagi?" tuduh Lala seraya menyenggol bahu sahabatnya.
"Eh, nggak," jawab Anna cepat.
"Kenapa? Awan atau kak Nafis? tebak Lala semakin penasaran
Anna melirik Lala sekilas. "Nggak." Anna hanya merenung saja.
"Udah, Ann." celetuk Lala. "Nggak usah dipikirin. Nanti kamu stres loh"
Anna menarik napas. "Aku nggak mikirin, kok. Cuma lagi bingung aja."
Lala tersenyum lebar seraya mencubit kecil pipi putih Anna yang kemerahan. "Sama aja, kali."
Hening beberapa saat. Anna mengembalikan pandangan ke jendela yang berembun. Angkot melaju menerobos gerimis.
"Tapi ... kalo aku sih tim kak Nafis dari pada awan" Lala berkomentar. Anna menoleh dengan penasaran apa yang membuat sahabatnya sangat yakin pada kak Nafis.
"Sok tahu!"
Anna memalingkan wajahnya dari sahabat nya .
"Lihat saja nanti, siapa di antara kita yang benar."
"Emangnya kamu mau terus-menerus kecewa?" Mata Lala menyipit.
Anna nyaris mengangguk, tetapi ragu. "Nggg ... nggak tahu, deh."
"Gimana kalau kita ketemu sama Awan dan kak Nafis, pasti kamu bisa memilih yang terbaik?" usul Lala seraya melongok ke jendela angkot, mencari angin karena ia mulai kepanasan.
"La, apaan, sih!" Anna menarik lengan baju Lala, mencegah dari melakukan sesuatu yang bisa membuatnya malu. "Nggak usah," elak Anna.
Lala mendengus. "Yakin nggak mau ketemu?" Anna tersenyum simpul. Ia kembali menatap gerimis yang berubah menjadi deras melalui jendela. Dingin ... ia merapatkan jaket. Benaknya sangat ingin bertemu dengan Awan. Tapi ia tahu Awan sedang sibuk dengan kuliahnya di Bandung, jadi ia rasa tidak perlu untuk mengajaknya bertemu terlebih dahulu, kecuali Awan yang minta.
Walaupun keraguan ini melahirkan misteri. Sekarang ia belum tahu perasaan Awan padanya, tetapi justru ada beberapa petunjuk yang Allah kirim padanya bahwa Awan juga memiliki perasaan yang sama. Suatu hari pasti akan bertemu. Entah kenapa hatinya seyakin itu. Dan hal baik akan terjadi padanya denga Awan.
Lala menarik napas pelan. "Bukan karena ada apa-apa antara Awan dan Fira, kan?"
Anna tidak menjawab. Ia sendiri tidak tahu dengan pasti.
"Fira masih menyukai Awan?"
Anna memang tidak bisa menyimpan rahasia. Ia sering mencurahkan isi hati kepada sahabatnya itu. Termasuk perihal Awan.
"Ku kira seperti itu La, ia masih menyukai Awan, isi pesannya kemarin sangat menunjukkan ia senang sekali bisa berbalas pesan dengan awan,"ucap Anna lirih.
"Benar, kan. Kamu sedang memikirkan Awan, pangeran kodokmu yang kesiangan itu"protes Lala. Ia sayang dengan sahabatnya itu. Ia tidak mau Anna salah memilih. Membiarkan rasa kecewanya yang terus-menerus.
Anna mendecak pelan. Ia tahu. Tapi tidak mudah untuk melupakan dan menyelesaikan masalah ini.
"Ann, kamu harus ingat masih banyak orang yang mau mendekatimu, ikhlas karena Allah, jangan nunggu yang nggakpasti macam Awan, lelaki yang engga punya keyakinan. Rugi ... Saran aku, jangan lanjut berkomunikasi untuk hal-hal yang tidak penting. Sebisa mungkin menghindar dari Awan, demi kebaikan mu, Ann." tutur Lala serius, entah untuk kedua kalinya ia sangat berani sekali untuk berbicara seperti itu pada Anna, padahal ia tahu sahabatnya akan marah setelah ia berkata seperti itu.
Anna hanya menatap sahabatnya dengan tatapan sangat rapuh.
***
Anna masuk kedalam Laboratorium untuk memulai praktikum mikologi. Ia langsung terjaga dan mengarahkan jalannya praktikum dengan teman-teman Asisten lainnya.
Setelah praktikum selesai ia bergegas hendak menuju ruang sterilisasi untuk menyimpan beberapa spesimen yang telah di buat oleh praktikan, tetapi langkah kaki terhenti ketika salah seorang laki-laki yang muncul tepat sekali di belakangnya yang berjarak lima meter.
"Untuk spesimen itu disimpan di rak A bukan di rak B," ucap kak Nafis sembari menunjukkan senyum ramahnya pada Anna.
"Baik, kak. Aku kira di sini tempatnya, terimakasih kak sudah mengingatkan," ujar Anna lemas. Ia melangkah gontai ke ruang alat-alat lab untuk merapihkan nya, kebetulan ia piket hari ini .
"Loh, kirain udah ke kelas, memangnya tidak ada mata kuliah hari ini?" sahut kak Nafis ketika berpapasan.
"Belum kak, tapi masih ada mata kuliah lagi sekitar jam 1 an kak, lumayan masih lama, jadi aku manfaatin waktu untuk membereskan alat-alat lab yang usai di pakai tadi," jawab Anna sambil nunjuk ke sebuah ruang yang lebih kecil.
"Ooo ... Baiklah lanjutkan, Ann. Semangat" Sembari melemparkan senyum lagi dan lagi yang penuh arti.
Anna pun membalas senyuman itu dengan perasaan aneh.
***
Jam kuliah dimulai, Anna berusaha menghadirkan hati ketika sedang pelajaran dimulai. Setiap terngiang di pikirannya itu, tentang arti dari senyuman kak Nafis setiap kali bertemu dengannya, ia berusaha mengalihkan. Luruskan, Ann. Luruskan, ingatnya dalam hati. Bersyukur saja perasaannya masih terjaga kepada Awan. Sosok laki-laki yang ia tunggu bertahun-tahun.
Anna masih berharap hal baik menghampiri dirinya dan Awan.
Selain rasa rindunya dengan Awan, Anna merasakan getar yang aneh setiap kali di tatap dan di lemparkan senyum oleh kak Nafis. Entah apa.
Wajar Anna penasaran dengan kak Nafis yang selalu menyapanya dengan ramah dan senyuman khasnya, tetapi ini lebih dari sekedar itu. Ada rasa penasaran yang dalam Karena sejauh ini kak Nafis tidak pernah memberi kode yang lebih, hanya sekedar perhatian biasa saja. Sampai saat pulang ia masih berharap bisa mengetahui perasaan kak Nafis terhadapnya.
***
________________
To ... Be ... Continue ....