Banten, 11Mei, 2019
Anna duduk di ruang tamu, menunggu Lala yang sedang bersiap-siap untuk pulang kerumahnya. Waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB. Anna bergegas meninggalkan rumah sahabatnya, sudah biasa Lala menginap di rumah Anna, karena Anna hanya tinggal seorang diri. Rumah Lala tak jauh dari rumah Anna, jadi sudah tidak aneh kalo Anna dan Lala sering menghabiskan waktu bersama. Anna mengeluarkan telepon, berniat menelepon Lala untuk memastikan keadaannya, sudah sampai rumahnya atau belum. Tetapi ia mengurungkannya, karena ada pesan masuk dari Awan yang selama tiga hari ini terus-menerus mengirimkan pesan.
Pesan dari laki-laki itu selalu berhasil membius mata Anna. Dengan spontan Anna tak henti menggigit bibirnya usai baca setiap kata-kata dari pesan singkat itu. Sungguh, ada yang berbeda dari cara dia membalas pesan. Anna mencoba menepis rasa yang bergemuruh, tapi sayangnya bayangan berhasil terbang ke masa lalunya.
Setiap kali tatapan mereka bertemu di kelas, Anna dan Awan akan langsung membuang muka persekian detik seolah mereka tidak ada yang merasa telah memandang lebih dulu, lebih lama, dan malu jika saling menangkapnya. Namun sedetik kemudian, Awan dan Anna akan berbalik menatap dengan sedikit binar dan salah tingkah di bola matanya dan sudut-sudut bibir yang sedikit melengkung, canggung.
Lalu sudah, mereka akan kembali dalam kesibukannya, dan salah satu dari mereka tertinggal menatap punggungnya yang menjauh. Tanpa sadar mereka
tersenyum sendirinya.
Kejadian empat tahun yang lalu, memang begitu membekas dalam memori Anna, sontak Anna yang gemetar dan menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan.
Anna coba menenangkan dirinya sendiri, "Ayolah, kau biasa saja, ia hanyalah teman lama di kelas."
Anna mulai bertanya-tanya di dalam hati, boleh kah ia merasa seperti ini, padahal yang dirinya lakukan hanya sebatas membalas pesan tidak lebih? Apakah ada makna dari pesannya itu ? Sungguh banyak, dan sungguh aneh, sebagian orang ketika ngobrol lewat pesan singkat, mereka akan berekspresi dan menyatakan apa yang mereka akan sampaikan. Awan justru tidak seperti itu, pesan singkatnya selalu ada maknanya, tidak pernah sama sekali melontarkan ucapan gombal dan lainnya. Melainkan yang dilakukannya hanya sekedar menanyakan kabar, kegiatan kuliah dan setelah itu obrolan terputus begitu saja, kadang berhenti di Anna ataupun Awan.
"Bagaimana kabarmu, Ann?"
"Gimana kuliahnya?"
"Sekarang lagi di Serang?"
"Oh, Ya ... sudah, semoga sehat-sehat terus ya, semangat terus kuliahnya semoga dimudahkan dalam segala gerak dan langkahmu, Aamiin." The end....
Tak berhenti di situ. Pun, ada yang berbeda dari cara Awan membalas pesannya. Awan tak pernah membuatnya
menunggu lama. Satu hal sederhana dari Awan, dia akan menghabiskan waktu online bersamanya.
Suatu waktu Awan dan Anna saling bercerita tentang kehidupannya masa di SMA dan teman-temannya, serta masa depan. Awan selalu menjadi seseorang yang selalu jadi pendengar dan penasihat yang baik. Karena setiap kali bercerita selalu direspons dengan jawaban yang lembut dan selalu di selipkan dengan doa yang manis. Namun, Anna menikmatinya.
Percakapan mereka seperti pusaran hebat di tengah laut yang tak terlihat. Ibarat mulanya, Anna dan Awan sangat begitu menikmati setiap percakapannya, seolah mereka sedang mengarungi lautan yang tenang, diayunkan ombak-ombak kecil, di atas perahu kecil. Tanpa sadar, mereka semakin jauh dari daratan. Dan di ujung sana, ada pusaran hebat, tetapi tak terlihat. Perlahan-lahan, perahunya menuju pusaran membahayakan itu. Namun, orang-orang menyebut ini jatuh cinta, dan hal ini membuat semua terdengar indah. Sayangnya tidak seindah itu, sebab perahunya semakin dekat dalam pusaran, dan mereka mulai sadar kalau sudah jauh dari daratan.
Karena begitulah kenyataan buruknya, kadang tak ada kabar sedang hati ingin tahu tentang kabarnya, Anna yang diam-diam terus mengamatinya dari kejauhan. Tak berani bertegur sapa dengan Awan lebih dulu dan hanya bisa diam sembari mempelajari keadaan. Ia tak bisa berbuat seperti kebanyakan yang dilakukan orang-orang ketika jatuh cinta. Anna terus berpikir hal-hal yang ia takutkan, salah satunya, mungkin ini bukan soal cinta. Awan hanya menaruh rasa penasaran mungkin, atau rasa nyaman, sebuah ketertarikan yang membuat pikiran Anna tak bisa lepas dari dirinya, hal-hal kecil yang telah dia lakukan sanggup membuat Anna terbawa perasaan, itulah perempuan. Tetap saja, apapun bentuknya, hati nggak bisa berbohong tentang apa yang dirasakannya. Berulang kali Anna menyangkal, bahkan sedikit menjauh darinya, semakin sulit untuk diabaikan, rasanya sangat melelahkan, katanya.
" Orang yang mahir menyembunyikan perasaan adalah orang yang sangat perhatian."
Entah, aku hanya ingin tetap berada di posisiku yang sekarang. Di balik sikapku yang tenang selama ini di depannya, tentu ada rasa yang bergejolak, ingin berada di sisinya sedekat-dekatnya, menjadi orang terpenting dalam hidupnya, menjadi perempuan yang setiap hari dia sapa. Tapi, aku tahu di sinilah seharusnya aku berdiri, dengan jarak yang berusaha aku jaga, karena ku tahu belum saatnya masih ada yang harus ku prioritaskan yaitu persoalan kehidupan kita yang sama-sama ambisi untuk terus belajar meraih kesuksesan, yang dimana sekarang kita berada di semester akhir bangku kuliah, doakan aku ya semoga dilancarkan hingga akhir nanti. Dan tak lupa dengan sang pemberi napas dan rasa cinta ini. Bersabarlah sebentar jikalau sudah waktunya Allah akan berikan waktu yang tepat untuk kita bersama atas kehendaknya."
***
Seiring berjalannya waktu, percakapan dalam ponsel antara Anna dan Awan hanya terjadi dalam ponsel. Apa yang ada dalam ponsel, ya tertinggal di dalam ponsel. Anna bergumam, "Jika dia memang menyukaiku, harusnya dia mengabari lebih dulu, kan? Atau, aku yang terlalu berlebihan dalam merasa?
Lalu, apa makna dan semua cerita di dalam di ponsel? Apa sebenarnya maksud dia? Apakah dia sedang memberiku harapan? Apakah ini semua sinyal dan kode? Ataukah
dia menganggapku sebagai teman saja?" gerutu Anna, sambil melepaskan kerudung yang ia kenakan, sambil merebahkan badannya di atas kasur empuk miliknya. Namun, Jika Awan hanya menanggapnya teman yang sama seperti yang lainnya, mengapa percakapan mereka begitu intens, mengapa mereka begitu terbuka satu sama lain?
Lalu Anna bertanya pada Lala, melalui pesan singkat, Jawaban Lala melambungkan hati Anna "Bukannya kamu yang selalu membatasi semua interaksi dengannya, perihal pesan singkat salah satunya, yang ku tahu Seringkali pesan berakhir di kamu, bukan? Itu artinya sinyal dari kamu kurang kencang, kali."
Nana bertanya kembali pada Lala, "Masalahnya, jika Awan memang memiliki rasa, mengapa nggak ada perkembangan dalam percakapan aku dan dia? Kayak cuma di situ-situ aja."
Dan Lala menjawab pesannya.
"Mungkin saja Awan merasa canggung untuk memulai chat denganmu, karena kamu sangat terlihat baik, jadi Awan juga akan belajar hal lebih baik dengan sabar menunggu waktu tiba. Sungguh balasan pesan dari Lala mampu menenangkan hati Anna dan lebih merasa ikhlas.
Terbersit kembali pada pikiran Anna.
"Lalu, bagaimana kalau ternyata Awan memang nggak ada rasa dan sejujurnya, Anna terlalu takut untuk mengetahui kenyataannya, "aku belum siap patah hati lagi."
Namun hari ini, Anna berbaring di tempat tidur. Ada lubang kecil dalam perahunya karena air mulai masuk. Dadanya sesak, hatinya gundah gulana, dan pertanyaan muncul berulang-ulang dalam hatinya. "Apakah sebaiknya aku menghentikan ini semua? Lalu, bagaimana jika dia memang ada rasa? Lirih Anna.
Ingin rasanya memahami perasaan Awan. Ia belum bisa melihat dan mengenalnya lebih jauh, tapi ingin sekali mengatakan sesuatu.
Dan tak luput dari segudang pertanyaan dari lubuk hatinya. "Apakah ia hanya sebatas rumah persinggahan? Apakah ia hanya kepingan kisah cinta yang hanya akan jadi kenangan masa lalu?
Apakah dia menghubungimu karena dia tak punya teman chat yang asyik?
Apakah dia memang seperti ini kepada semua orang? Ataukah, dia memang benar-benar menyukainya?
Ia tak pernah tahu. Perjalanan ini masih teramat panjang."
***
________________
To ... Be ... Continue ....