"Pap, terimakasih!" ucap Alan.
Ia tidak tahu, jika Andre dan Gwendolyn tidak di sana. Kemungkinan ia pun sudah kembali menjadi iblis.
Ia pasti sudah menyerang Georgia dengan ganasnya. Alan ngeri membayangkan bila hal itu terjadi. Semenjak ia menjadi vampir belum sekalipun ia meminum darah manusia.
Ajaran agama yang dianutnya dululah yang masih membuatnya masih bertahan hidup hingga kini. Walaupun, ia tidak tahu.
"Apakah taubat dan ibadah seorang iblis yang haus darah sepertiku akan diampuni oleh, Tuhanku?" batinnya selalu bertanya.
Andre memandangnya lekat, "Ceritakanlah yang sebenarnya, Nak? Semua peluru perak habis. Apa yang yang terjadi?" tanya Andre dengan tatapan kasih tetapi sekaligus memerintah.
Alan menatap ayahnya dan menceritakan segalanya. Andre sedikit tercenung, "Mungkin, sudah tiba waktunya! Mereka sudah menunggu bertahun-tahun. Bahkan ratusan tahun untuk muncul ke permukan."
Andre menatap langit kelam penuh bintang. Keduanya duduk di rerumputan di tengah hutan.
"Maksudmu, Pap?" tanya Andre.
"Sebenarnya dari seribu tahun lalu, mereka sudah membentuk aliansi itu, berusaha untuk membuat kekacauan dan mengembangkan vampir.
"Mereka ingin membuat manusia hanyalah binatang ternak untuk mereka. Membunuh vampir yang tidak kompeten,
"Untuk saat ini, mungkin mereka ingin membuat aliansi kawanan vampir untuk merebut wilayah atau suatu negara.
"Setelah itu, mungkin mereka akan memburu vampir seperti kita." Andre menepuk bahu Alan.
"Ayo, kita pulang! Kita lihat apa yang akan dilakukan Ibumu untuk menolong gadis itu," ucap Andre.
"Mom wanita yang hebat, dia pasti bisa melakukan semuanya dengan baik!" balas Alan.
"Kau benar. Aku sangat beruntung bisa menikahi wanita hebat sepertinya. Bahkan, selama ribuan tahun."
Andre begitu bahagia dan bangga, sekaligus sedih bergelayut di sana. Sesuatu bayangan dari masa lalu mereka mengusik kembali.
Namun, ia berusaha untuk menepisnya. Alan tersenyum, "Aku bangga menjadi anak kalian. Begitu juga Agatha!" balas Alan memeluk Andre.
Andre tersenyum ceria kembali,
keduanya berangkulan dan melesat secepatnya kembali ke dalam rumah.
Keduanya duduk di meja makan melihat semua hidangan yang sudah memenuhi meja makan.
Andra dan Alan tertawa, mereka sedikit geli. Gwendolyn akan memaksa mereka memakannya, "Mom, apakah kita kedatangan tamu?" tanya Alan.
Ia berpura-pura terkejut, "Tutup, mulutmu! Wanita yang kau bawa itu, siapa? Apakah kekasihmu?" tanya Gwendolyn penasaran.
"Hah! Yang benar saja?" balas Alan kesal.
"Diamlah! Berpura-puralah jika kita manusia," bisik Gwendolyn.
Georgia memiliki bakat membaca pikiran seakurat mungkin dan menembus sesuatu hal dari yang paling kecil sekalipun.
Mata batinnya seperti laser dan mikroskop. Andre selalu menggodanya dengan mengatakan, "Nyonya, mikroskop!"
Gwendolyn selalu saja tersenyum, menanggapi lelucon konyol tersebut.
Andre menyimpan senjatanya ke balik bajunya, ia berpura meraih kemoceng dan membersihkan debu yang tiada.
Alan menggeleng-gelengkan kepala. Ia menyibukkan diri dengan menunton TV dan meringkuk di sofa. Mengganti bajunya dengan baju rumahan.
Georgia menuruni anak tangga melihat semuanya, ia berusaha mengingat banyak hal. Ia hanya ingat berada di hutan dan ditolong oleh seseorang pria tampan.
Darah dan taring menjadi sebuah bayangan mengerikan di benaknya. Ia melihat meja yang penuh dengan makanan lezat.
"Akh, sayang! Kau sudah sadar?" tanya Gwendolyn. Georgia terbengong, ia melihat seorang wanita cantik.
Sedang memasak di dapur minimalisnya mengenakan celemek kuning menyala. Georgia bingung harus memanggilnya dengan sebutan apa.
Ia melihat wanita di depannya seusia dengannya. Akan tetapi, untuk menjaga kesopansantunan ia memanggilnya dengan sapaan nyonya.
"Su-sudah Nyonya!" balas Georgia.
Ia masih memperhatikan wanita di depannya. Ia sedikit takut, ia mengingat wanita inilah yang menolongnya tadi malam.
Dari monster yang menyelamatkannya yang bernama Alan. Ia takut sehingga hanya berdiri di ujung tangga terakhir. Ia takut untuk menurunkan kakinya ke lantai.
Ia melihat seorang pria sibuk membersihkan rumah dan seseorang yang meringkuk di sofa dengan malas.
"A-alan?! Ka-kau!" ucap Georgia.
Ia mundur ke belakang, ia sangat takut. Ia mencari pintu untuk kabur, "Jangan, kabur! Percayalah, kami tidak akan melukaimu!" ucap Gwendolyn. Sudah berada di sisinya.
Georgia, semangkin ketakutan ia merasakan jika luka di kakinya yang hampir sembuh kembali berdenyut.
Georgia semangkin ngeri membayangkan apa yang akan ia hadapi, mengingat hal-hal mistis yang jauh dari nalarnya.
"Ya, Tuhan! Aku selamat dari mulut buaya masuk ke kandang singa!" batinnya.
Georgia tertawa nyaring, "Perumpamaanmu menyentuh sekali Georgia, sayang! Percayalah, walaupun kami vampir. Kami tidak akan memakanmu hidup-hidup," ucap Gwendolyn.
Georgia semangkin tercekat, "Gwen, jangan menakutinya!" balas Andre dari balik lemari hias penuh piring-piring antik.
"A-aku!" lirih Georgia pasrah. Ia membayangkan kengerian yang ia lewati tadi malam, "aku tidak akan memiliki kekuatan untuk melawan mereka. Apalagi. Aku sedang lapar," batinnya.
"Ayo, makanlah! Setelah itu, kau melawan kami. Jika itu maumu?" balas Gwendolyn tersenyum.
Ia mengulurkan tangannya untuk meraih bahu Georgia. Namun, Georgia sedikit berjengit takut.
"Percayalah, kepada kami Georgia!" bujuk Gwendolyn. Berusaha untuk menghilangkan rasa takut Georgia.
Akhirnya ia menurut juga, ia dibimbing oleh Gwendolyn ke meja makan. Memberikannya sebuah piring, "Pilihlah apa yang kau, mau!" ujar Georgia
Ia melihat ada nasi, roti dan berbagai hidangan dari Asia dan Amerika di meja makan.
"Andre! Alan! Kemarilah," ujar Gwendolyn.
Keduanya sudah tidak ingin berpura-pura lagi langsung melesat duduk di meja makan.
Georgia tercekat wajahnya sepucat kapas, ia tidak menyangka jika ia harus semeja dengan vampir.
"Saat ini mereka ingin menggemukkanku, mungkin setelahnya. Mereka akan, memakanku!" batin Georgia sedikit kacau dan takut.
Ketiga vampir di depan tersenyum simpul, "Tidak akan ada seorang pun yang akan, memakanmu!" ucap Alan dingin.
"Makanlah, setelah itu aku akan mengantarkanmu pulang!" ucap Gwendolyn.
Georgia langsung makan, ia sudah sangat ingin pulang ke rumahnya.
Ia mengedarkan pandangan ke sekitar tumah, ia melihat rumah bergaya minimalis dan elegan berbeda dengan bayangan yang ada di film-film.
Ia mencoba memandang ketiganya yang hanya mengaduk-aduk hidangan yang ada di piring masing-masing.
"Apakah kalian sudah lama di sini?" tanya Georgia.
"Tidak terlalu lama. Kami kemari jika musim panas saja," balas Gwendolyn senang.
Ia melihat masakannya sudah berpindah ke dalam perut Georgia, "Apakah masakanku enak?" tanya Gwendolyn.
"Sangat enak, Nyonya!" balas Georgia.
"Panggil saja, aku Gwen. Dan ini suamiku Andre dan putraku, Alan!" ucap Gwendolyn.
"Mengapa kau bisa sampai ke rumah itu?" tanya Andre penasaran.
"Serry mengundangku untuk datang ke pestanya, Serry adalah putri dari Tuan Fransisco." Georgia menyuapkan sisa makanan terakhir dari piringnya.
"Fransisco? Salah satu pria terkaya di dunia?" tanya Andre tidak percaya. Ia melesat ke lantai atas dan kembali mengambil sebuah foto.
"Apakah Fransisco ini?" tanya Andre.
"Aku belum pernah bertemu, hanya saja. Di kampus, Serry selalu membawa foto Papanya, dan semua orang mengenalnya sebagai putri Fransisco!" terang Georgia.
"Sial!" balas Andre mengepalkan tangannya.