Nayla terbengong mendapati dirinya berada di dalam kamarnya sendiri. Ia hanya mengingat seorang pria yang menolongnya memakai hoodie.
"Siapa yang menolongku? Aneh, tapi ... Tuan Parker sudah berubah menjadi monster? Ya Tuhan. Apa yang sebenarnya terjadi?" batin Nayla.
Ia beranjak dari tempat tidur langsung menyalakan TV di ruangannya, "Semua itu beneran nyata. Monster yang haus darah?" batin Nayla masih bingung.
Benar saja ia melihat rumah Tuan Parker terbakar, dering ponselnya membuatnya tercekat
~ Lyli
"Nay, apakah kau baik-baik saja? Apakah kau telah sampai ke rumah Tuan Parker?"
~ Nayla
"A-aku tidak jadi ke sana, di tengah jalan kepalaku pusing. Jadi, aku pulang ke asramaku. Maaf, apa yang terjadi?" tanya Nayla berpura.
~Lyli
"Syukurlah, rumah Tuan Parker kebakaran. Baiklah besok saja kita bertemu di kampus."
Lyli mematikan ponselnya. Nayla hanya tercenung, ia masih membayangkan kengerian yang baru saja ia alami. Ia tidak menyangka jika ia mampu selamat dari semua itu.
Ia mencubit pipinya, "Aduh, sakit. Berarti semua itu, bukanlah mimpi!" cicitnya.
Tiba-tiba ia merasa bulu kuduknya meremang, ia menoleh ke belakangnya
"Mengapa kamar ini jadi, seram sih?" batinnya sedikit kecut.
Alan yang berada di kamarnya mendekatinya, karena Nayla mencubit pipinya sendiri. Alan ingin mengetahui dan melarang apa yang sedang Nayla lakukan.
Alan tidak ingin melihat Nayla menyakiti dirinya sendiri, ia ingin memberikan kebahagiaan kepada Nayla.
"Hadeh, anak ini ternyata lebih peka dari kebanyakan manusia. Ia seakan bisa melihatku," batin Alan.
Ia sedikit menjauh dari Nayla.
Sebaliknya Nayla melihat ke arah mana pun Alan bergerak. Bola mata Nayla mengikuti setiap gerakan yang dilakukan oleh Alan.
Membuat Alan salah tingkah, "Siapa pun kau, kumohon jangan sakiti aku. Pergilah!" ucap Nayla.
Alan tercekat, ia tidak menyangka insting Nayla sangat luar biasa. Ia seakan mengerti akan kehadiran makhluk astral di kamarnya.
Alan sedikit tergoda ingin menampakkan wajahnya. Namun, ia takut Nayla akan menjerit dan membuat kehebohan malam itu.
Akhirnya Nayla pergi ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Alan kabur sejenak dari kamar Nayla, ia merasa tidak sopan jika mengganggu privacy orang lain.
***
Apalagi, Alan sedikit kuno. Bagaimana pun ia bukan berasal dari era modern. ia masih berasal dari era peperangan. Di mana di saat ia tumbuh dewasa ia hanyalah anak dusun.
Ia yang berusaha untuk mengubah takdirnya dengan bekerja di salah satu rumah Kolonel van Der Ambroos sebagai pelayan.
Ia ditugaskan menjadi mata-mata oleh perkumpulannya, dan juga ia ingin mengetahui kelemahan Belanda pada zaman itu.
Mereka yang masih kuno, berusaha untuk membebaskan diri dari semua hal penindasan penjajah.
Ia menjadi pelayan di suatu pesta, yang diadakan di rumah kolonel. Di suatu pesta yang ternyata sangat mengerikan, para pelayan ditumbalkan sebagai makanan vampir yang haus darah.
Mereka dibawa ke dalam hutan di Gunung Bromo, di sebuah rumah. Di sana merka dimasukkan ke dalam ruangan gelap. Alan dan beberapa pelayan disekap.
Mereka mencoba melawan monster. Namun, mereka tidak memiliki kekuatan untuk itu. Pada akhirnya mereka menjadi santapan vampir Hector dan beberapa vampir lain.
Si ketua vampir yang sudah menua dengan taring dan kukunya mencengkram tubuh Alan dan menghisap darahnya.
Ia terkulai dan meregang nyawa.
Kala ia sadar ia terbangun dengan rasa panas di sekujur tubuhnya di antara tumpukan mayat, yang dibiarkan begitu saja.
Di antara semua mayat hanya Alanlah yang masih hidup. Ia bergerak di antara tumbukan mayat mencoba untuk bangun, menyingkirkan semua mayat yang menghimpitnya.
Ia bergulingan memegangi sentuhan kecil di lehernya bekas taring Hector. Rasa panas membakar sekujur rubuhnya.
Tubuhnya penuh dengan api membuat tumpukan mayat pelayan lain terbakar tak tersisa.
Alan berusaha berdiri dan berlari ke arah sungai dan menceburkan dirinya. Ia ingin mengurangi rasa panas yang mendera tubuhnya.
Namun, rasa panas itu semangkin menderanya. Ia tidak mampu menghilangkan rasa panas itu. Walaupun ia sudah berendam di dalam air.
Rasa panas berubah menjadi haus, Alan meminum air sungai tetapi dahaganya tidak terpuaskan. Ia ingin yang berbeda.
Ia melesat dari sungai secepat kilat berlari menjauhi hutan. Ia ingin pulang ke rumah. Ia masuk ke rumahnya yang berdindingkan tepas, melihat adik dan kedua orang tuanya tertidur.
Rasa dahaganya semangkin menjadi, ia ingin menerkam adiknya. Ia ingin menghisap darah keluarganya. Ia berlari keluar dari rumah, menjauhi keluarganya untuk selamanya.
Ia lari ke dalam hutan, ia melihat seekor harimau dan langsung melesat menerkamnya. Ia menghisap habis semua darah harimau, dahaganya belum terpuaskan.
Ia kembali mencari binatang lain. Semalaman ia berburu binatang menghisap darahnya. Fajar menyingsing, ia masih bersembunyi di hutan.
Ia tidak tahu ke mana, ia melihat orang dusun memasuki hutan untuk mencari kayu. Dahaganya kembali menyerang, ia berlari sejauh-jauhnya.
Setiap waktu ia menghindari orang-orang, ia berlari dengan rasa benci mengutuki dirinya. Menembus malam dan siang hari.
Ia menyeberangi lautan, pulau, negara, gunung. Bersembunyi di hutan belantara. Ia belum bisa menguasai tubuhnya dengan taring dan kuku yang selalu keluar jika ada mangsa dan nyawanya terancam.
Apalagi, api dari tubuhnya selalu saja datang tanpa diundang. Ia kesulitan di dalam semua itu, "Aaa!" jeritan Alan selalu bergema setiap ia kehausan dan kesedihannya.
Ia merasa sendirian di negara yang ia tidak ketahui di mana, ia berada. Musim salju, untuk pertama kalinya ia menyentuh salju. Ia yang masih kuno, berlahan-lahan menyentuh salju.
"Inikah salju seperti yamg dibilang orang Belanda?"lirihnya.
Alan bergulingan di salju, ia tidak merasakan apapun lagi. Ia tidak merasakan dingin dan panas lagi. Ia hanya menikmati kehidupan yang tidak jelas di depan matanya.
Segala hal tentang dirinya terhenti, ia tidak butuh minum, makan, duit. Ia hanya butuh pakaian. Ia selalu mencuri di jemuran yang ia lewati.
Ia hanya butuh darah untuk memuaskan dahaganya. Alan termenung mengingat semua itu. Perjalanan mengerikan yang telah ia lalui dan masih akan ia jalani.
Suatu waktu ia melihat pasangan suami istri yang masih muda berlarian secepat kilat di salju dan sedang berburu beruang.
Alan mengintip dari balik dahan pohon pinus melihat pasangan yang sedang menghisap darah beruang dan tertawa.
Seorang wanita cantik berambut pirang menoleh ke arah Alan.
"Turunlah, dari sana. Kami sama sepertimu," suara seorang wanita yang menatapnya bergema di kepala Alan.
Alan melompat turun dan mendekati pasangan di depannya, meneliti dan menatap keduanya.
"Apakah kalian monster, juga?" selidik Alan.
"Aku Gwendolyn, dan ini suamiku Andre!" balas Gwendolyn yang memahami kegelisahan Alan.
"Apakah kau bisa membaca, pikiranku?" tanya Alan. Ia tidak menyangka semua monster memiliki kelebihan.