Nayla?! Ngapain nih anak malam-malam kelayapan?" batin Alan.
Ia melompat dari dahan ke dahan pohon mengikuti Nayla, ke mana pun Nayla bergerak.
Alan begitu penasarannya dengan kepergian Nayla.
Ia ingin tahu ke mana Nayla pergi, "Apakah dia ingin menemui seseorang? Apakah pacarnya?" batin Alan bertanya.
Sebersit rasa cemburu mulai merayap di jiwanya. Rasanya ia ingin marah, jika Nayla menemui seorang pria muda, kaya, dan tampan.
"Huh! Pasti Nayla ingin menemui kekasihnya ... Pria yang tampan anak manusia," batinnya kesal.
Ia melihat Nayla melintasi gang sempit. Alan terus mengikutinya, Nayla berhenti di sebuah rumah bercat putih. Memencet bel rumah.
"Masuk!" seseorang mempersilakannya masuk.
Berlahan Nayla membuka pintu, dan memasuki ruangan temaram cahaya tanpa penerangan yang jelas.
Alan mencium aroma vampir di dari dalam rumah. Ia langsung melesat mengintai dari jendela rumah.
Alan melihat seorang pria tua sedang tidak berdaya terbaring di tempat tidur. Dengan selimut menutupi hingga ke dadanya.
"Permisi! Tuan Parker, apakah Anda yang memesan makanan cepat saji dari The Day' Cake?" tanya Nayla.
"Iya, benar! Saya memesannya Nona manis. Kemarilah," pinta si pria tua yang terbatuk-batuk lemah.
Alan melihat semua sandiwara si vampir untuk menjerat mangsanya dengan berbagai trik dan tipu daya.
Memanfaatkan belas kasih naluri seorang manusia untuk semua itu. Nayla mendekat, mencoba untuk meletakkan makanan yang dibawanya ke atas nakas.
"Apakah Tuan sudah, makan? Apakah perlu saya bantu?" tanya Nayla.
"Pergilah dari, sana! Dasar, memangnya dirimu. Gadis bertudung merah?" batin Alan kesal.
Ia mengingat kisah gadis bertudung merah di film animasi sebagai dongeng pengantar tidur. Seorang gadis yang terjebak oleh nenek sihir.
Bedanya Nayla terjebak oleh seorang vampir yang haus darah. Kepolosan si gadis bertudung merah mirip dengan yang dilakukan oleh Nayla sekarang.
Ingin rasanya ia memukul bokong Nayla yang sok baik dan perhatian. Namun, ia mengurangkan niatnya.
Alan memahami dengan baik, sejatinya manusia adalah memiliki rasa penasaran dan ingin memberikan yang terbaik kepada sesamanya.
Apalagi, Alan melihat Nayla berasal dari negeri yang sama dengannya. Di mana sebuah negri yang terkenal di seluruh penjuru dunia dengan orangnya yang sangat ramah.
Alan hanya memperhatikan, Nayla yang mulai beringsut dengan pelan menuju ke tempat tidur si Pak Tua. Ia membuka kotak makanan berkeinginan untuk menyuapinya.
"Aaagh" teriak Nayla. Ia melompat ke belakang berusaha menendang si Pak Tua dengan ilmu beladiri miliknya.
Sayangnya musuh yang dihadapi bukanlah manusia biasa, melainkan seorang monster yang luar biasa kelaparan.
"Siapakah kau? Mana Tuan Parker?" teriak Nayla khawatir. Ia mengenal si Pak Tua Parker yang baik.
"Hahaha. Aku telah, membunuhnya! Sekarang aku ingin menghisap darahmu. Ayolah, manis. Mendekatlah kepadaku!" ujar si pria bergerak dari tempat tidurnya.
Alan melihat pria di depannya bukanlah seorang pak tua. Melainkan seorang pemuda yang menyamar menggunakan wig seakan ia seorang pria tua.
Nayla melemparkan barang-barang yang berada di dekatnya. Prang! Prang! Semua berjatuhan dan pecah ke tubuh si pria.
"Hahaha. Kau tidak akan bisa, melukaiku! Aku adalah makhluk abadi, ayolah! Berikanlah darahmu," ujarnya merayu.
Mengulurkan tangan ke arah Nayla yang beberapa depa di depannya. Nayla berusaha berlari membuka pintu, ia menarik pintu yang tiba-tiba terkunci.
Tubuh Nayla seakan tersedot terangkat ke arah si pria. Seakan ada kekuatan yang kasatmata menariknya untuk bergerak mengikuti kemauan si pemilik kekuatan.
Brak!
Alan menebus kaca jendela hingga pecah menendang si pria dan terjadilah kekacauan.
Si vampir muda mencoba dengan segala kekuatannya untuk melumpuhkan Alan.
"Siapakah, kau? Dia mangsaku! Jangan menggangguku, malam ini!" hardik si vampir muda.
Ia berusaha untuk menggunakan kekuatannya membawa Alan dengan tenaga gaib yang dimilikinya untuk mengikuti semua kemauan si vampir muda.
Si vampir muda memiliki kekuatan menggerakkan semua benda di bawah alam sadarnya.
Alan menggunakan api miliknya. Seluruh tubuhnya membara bak lautan api.
Membuat si vampir muda berteriak kesakitan, secepat kilat Alan mendekat dan memeluk musuhnya hingga terbakar.
Si vampir muda berteriak ke sana kemari di ruangan hingga api merayap di seluruh ruangan. Nayla hampir saja terjatuh dari ketinggian.
Alan meyambar tubuhnya dan membawanya meninggalkan ruangan yang mulai terbakar.
Nayla di dalam dekapan Alan hanya mampu memandang sekilas ke wajah Alan.
"Siapakah, kau?" ujarnya sebelum jatuh pingsan.
Alan membawa Nayla ke asrama Nayla. Membaringkan di tempat tidurnya, mencari obat di kotak obat.
Memberikan minyak gosok ke kening dan tangan Nayla. Ia memandang wajah wanita yang begitu cantik di dalam benak Alan.
Mengingatkan akan kampung halamannya di Indonesia. Ia rindu Indonesia, sayangnya ia tidak memiliki siapa pun lagi.
Bukan, ia memiliki cucu keturunan dari kedua orang tuanya. adiknya telah menikah dan beranak pinak di Indonesia.
Namun, ia tidak berani mendekat. Ia hanya mampu memandangnya dari jauh. Sayangnya adik dan istrinya pun sudah ratusan tahun meninggal.
Sehingga yang tertinggal hanya cucu keturunan yang tidak akan pernah mengingatnya lagi.
Ia bagaikan serpihan angin malam yang sekedar lewat berhembus di kala malam dengan tabir kelukaan dan kerinduan.
Alan masih menatap Nayla. Berharap ada keajaiban, "Mengapa vampir semangkin banyak di sini? Aku tidak menyangka jika Texas dan sekitarnya sudah menjadi area vampir."
Alan masih memandang wajah Nayla yang manis, ciri khas orang-orang Indonesia. Ia mulai berpikir dari mana semua asal vampir.
"Jika benar apa yang dikatakan oleh Papa, maka memang benar para vampir mulai bergerak untuk menciptajan kerajaan mereka sendiri.
"Aku harus menghentikannya. Bagaimanapun caranya," batin Alan.
"Oooh, kepalaku!" lirih Nayla. Alan tercekat.
Ia langsung melesat ke luar dari jendela kamar Nayla dan bruk!
Alan terjatuh ke tanah.
Untuk pertama kali di dalam hidup Alan ia merasa menjadi seorang vampir yang bodoh.
Secepat kilat ia melesat ke atap rumah, "Hehehe. Bodohnya aku!" umpatnya kesal.
Ia tidak menyangka hanya dengan dua kata saja terucap dari bibir Nayla, sudah membuatnya kacau-balau.
Alan kembali melesat dan sedikit menghilang, berdiri di sudut kamar Nayla melihat segala hal yang dilakukan Nayla.
Ia selalu saja senang untuk berdekatan dengan Nayla. Jiwanya seakan damai dan tenang.
Untuk pertama kalinya di 500 tahun di kehidupan abadinya. Baru kali inilah, ia merasakan suatu kedamaian dan kebahagiaan menjadi vampir.
Ia tidak perlu bersusah payah memanjat ke lantai 2 hanya untuk menemui Nayla, atau berpura-pura mengintip untuk bertemu dengan Nayla.
Ia cukup melesat dan menghilang sedikit, ia sudah berada di sekitar Nayla tanpa ia sadari.
Alan begitu senangnya menemukan kesenangan barunya menjadi seorang vampir. Biasanya ia selalu mengutuki takdir hidupnya yang mengerikan.