"Eh, gak usah repot-repot Neng," seru Ani menolak.
Tapi Neneng kekeh untuk memberikannya pada Ditto.
"Enggak apa-apa, Bi," balas Neneng.
Ani pun pasrah. Dia tidak akan menghalangi kebaikan Neneng pada Ditto.
"Hati-hati di jalannya Neng," ucap Asep menggoda Neneng dengan leluconnya.
"Hahahah, iya Mang kalem, akumah pemberani cuman beberapa meter doangmah," balas Neneng menanggapi lelucon ayahnya Asih.
Rumah Neneng hanya beberapa meter saja dari rumah Asih, tidak jauh. Jadi kata hati-hati tidak terlalu efisien diungkapkan.
Neneng pun berjalan gontai meninggalkan rumah Asih.
Setelah Neneng pergi dan Asih akan beranjak masuk ke dalam rumahnya, tiba-tiba mobil berwarna hitam datang dan berhenti di depan rumah Asih.
Semuanya terkejut, Asep dan Ani pun langsung berdiri dari posisi duduk mereka untuk menyambut si Tuan Tanah itu.
Asih ketakutan, dia bersembunyi di belakang tubuh ayahnya.
Anak buah Jajaka Purwa kemudian membukakan pintu mobil untuk Juragan mereka dan si Tuan Tanah itu pun keluar dari mobilnya.
Kesombongan dan ketamakan di wajahnya sangat terlihat jelas. Kini dia mendekati Asih dan keluarganya dan juga diikuti kedua anak buahnya di belakang.
Baju formalnya menjadi ciri khas dia yang sangat berbeda dengan masyarakat di sana. Kasta yang terlihat jelas.
"Sudah waktunya, ayo pergi!" ucap Jajaka Purwa dan kedua anak buahnya langsung menyeret Asih untuk membawanya masuk ke dalam mobil.
Asih memegang tangan ayahnya dengan erat, dia tidak ingin dibawa pergi oleh si Tuan Tanah itu. Asih belum sepenuhnya siap.
"Ayah, Ibu," lirih Asih menangis.
Kedua orang tuanya pun memegang erat tangan Asih, tapi mereka juga tidak bisa menahannya dan dengan pasrah melepaskan Asih untuk dibawa pergi si Tuan Tanah.
"Cepat bawa dia masuk ke mobil!" titah Jajaka Purwa pada kedua anak buahnya itu.
Ditto menatap Asih dingin, seolah tidak ada ketakutan, dan kekhawatiran terhadap kakaknya yang dibawa pergi.
Ditto seperti mayat hidup yang ekspresinya datar tapi hatinya menangis melihat keluarganya yang menderita.
"Tuan, apakah bisa sehari lagi saja … Asih boleh masih menginap di sini?" tawar Ani memelas sembari bersujud di kaki si Tuan tanah yang tidak memedulikannya sama sekali.
"Jangan mencoba menawar padaku," balas Jajaka Purwa tidak terbantahkan, "ini, untuk kehidupan kalian!" Dia memperlihatkan koper hitam.
"Dan kalian tidak perlu mengkhawatirkan Asih. Dia akan tetap sekolah, tapi tidak di sekolah lamanya. Dan tenang saja, semua akan diurusi oleh anak buah saya," tambahnya sembari memberikan koper hitam itu yang isinya adalah uang.
Dia pun juga langsung menarik kakinya dari genggaman Ani yang kini bersujud-sujud padanya, meminta anaknya—Asih untuk diizinkan tinggal sehari lagi bersamanya agar dia siap melepas Asih untuk diperistiri oleh lelaki yang umurnya tiga kali lipat lebih dari umur Asih.
Asih dibawa dengan paksa karena dia juga belum siap diperistri oleh Jajaka Purwa.
Dia langsung didandani walaupun air matanya berkali-bali merusak riasan wajah Asih yang terus didempul oleh si perias.
Untung saja Asih adalah calon istri si penguasa hingga sesulit apa pun perias kesusahan mendadani Asih, mereka tetap sabar dan juga berkali-kali menenangkan Asih dan membujuk Asih agar lebih tenang.
"Nona tidak usah nangis, malah Nona harusnya bahagia bisa jadi istri orang kaya," celetuk salah satu lelaki yang Mekong itu pada Asih.
Bukannya mampu menenangkan Asih, dia justru menambah batin Asih lebih tidak karuan walaupun tangisannya memang mereda.
***
Adrian dan Bara mematung di sudut tembok, melihat ruangan yang akan menjadi tempat perkawinan ayah mereka dengan calon istri barunya yang masih sekolah.
"Ayah sudah gila apa?" gerutu Adrian pada adiknya Bara yang kini juga berpikir hal yang sama.
"Kukira dia punya kelainan pedopil, Kak," celetuk Bara menambahkan.
Keduanya sama-sama tidak habis pikir dengan kesewenangan ayah mereka yang memanfaatkan kekayaannya untuk menindas orang lain dan memperalat orang yang terlilit hutang dengannya dan mengharuskan mereka membalasnya dengan taruhan pengabdian.
Tak lama setelah itu, Asih pun dibawa dari ruang riasnya tadi untuk melakukan ijab qabul.
Bara dan Adrian menoleh, melihat Asih yang diaping kedua selir ayahnya dan kini penampilan Asih membuat Bara pangling melihat gadis SMA yang dia lihat terakhir kali saat Asih memaksa masuk ke rumah besar besar ini waktu itu.
Bara masih ingat wajah polos Asih yang sekarang justru terlihat semakin cantik dengan balutan gaun pengantin putih sederhana dan siger sundanya yang menambah ayu wajah Asih.
'Bara, sadar!' tegur Bara pada dirinya sendiri.
Istri ayah mereka ada sebelas orang yang kini ditambah Asih jadi genap dua belas. Dua istri sahnya yaitu Monika dan Kirani sedang sisanya dinikahi ayahnya secara agama (siri) dan disebutnya selir.
Bukan tanpa sebab dan simbol khusus Jajaka Purwa menginginkan sebelas istri dalam kehidupannya.
Kesembilan selir itu dia mengambilnya dari jumlah walisongo yang terdiri dari Sembilan wali, ditambah tiga istri sahnya jadi dihitungnya dua belas yang berarti dua belas bulan dalam satu tahun dan menjadi tiga pilar utama karena banyak hal yang dikaitkan dengan angka tiga seperti silih asah, asilih asih dan silih asuh yang bahkan nama Asih pun serupa dengan singkatan Trisilas itu.
Pemikiran simbolik Jajaka Purwa sungguhlah tidak masuk akal, tapi dia kekeh berlandaskan dengan pemahamannya sendiri yang padahal akar dari beristri banyak hanyalah nafsu dirinya sendiri.
Asih kemudian didudukkan di samping calon suaminya yang sekarang juga sangat pangling melihat Asih.
Dan dia semakin ingin berselera untuk segera bermalam pengantin dengan satu-satunya istrinya yang paling muda ini.
Berlangsungnya akad nikah, Monika dan Kirani sangat geram karena awalnya mereka kira suami mereka tidak akan menikah lagi dengan seorang perempuan dalam waktu dekat.
Walaupun mereka tahu kalau suami mereka memang berencana mempunyai istri berjumlah dua belas.
Asih memang dianggap lemah oleh keduanya, dia masih bisa dipengaruhi dan diperbudak oleh mereka.
Tapi tetap saja, mereka khawatir kalau suami mereka akan menomor satukan Asih yang jauh lebih muda dan lebih cantik dari mereka yang sudah berbuntut.
Mengetahui bahwa suaminya juga mempercepat menikahi Asih setahun sebelum lulus dan tetap menyekolahkan Asih nantinya, tentu semuanya sangat iri.
Asih masih bisa dibebaskan berkeliaran di luar, tidak seperti mereka yang apa-apa harus laporan dan dibuntuti anak buah Jajaka Purwa.
Keistimewaan ketiga istri sah ialah nantinya anak-anak mereka akan mendapatkan harta waris sesuai aturan agama, berbeda dengan para istri siri yang lainnya –yang bahkan jika mereka punya anak pun, anak mereka tidak akan mendapatkan apa-apa.
Itulah sebabnya juga para selir memilih untuk tidak melahirkan anak dari Jajaka Purwa karena mereka juga diancam jika sampai mereka punya anak dari Jajaka Purwa maka si Tuan Tanah itu akan menceraikan mereka dan memberikan satu rumah untuk mereka tinggal dan membesarkan anak mereka tanpa bantuan suaminya. Tidak ada nafkah juga.
Tentunya para selir yang memang gila harta tidak mau meninggalkan kenyamanan mereka dan tidak ingin memilih hidup keras di luar walaupun Jajaka Purwa memberikan mereka rumah sebagai imbalannya.
"Dengan seperangkat mas kawin tiga ratus gram dan seperangkat alat salat dibayar kontan," ucap Jajaka purwa dengan lantangnya.