Semua orang sudah tidak ada di kelas, hanya tinggal mereka berdua saja dan seorang lelaki yang tertidur dengan earphone di telinganya.
Pikir Asih kedua teman barunya itu sangat tertutup dengan yang lain, jadi memang sulit untuk mendekati mereka, terkhusus teman sebangkunya yang sekarang tengah menatap Asih.
"Iya, gue Fira. Mau lo apasih tanya-tanya mulu ke gue?" Suara Fira meninggi, Asih tampak takut dengan itu tapi dia tetap menjawab pertanyaannya.
"Aku hanya ingin kenal, tapi kalau gak boleh juga gak apa. Maaf." Asih merasa bersalah.
Fira kini juga terdiam, sesungguhnya dia lebih merasa bersalah telah memperlakukan Asih seperti itu.
"Kalau lo mau punya banyak temen, dekati yang lain. Jangan gue. Nanti lo bisa-bisa dimusuhi sama teman sekelas," ucap Fira pada Asih yang masih menyimak, "lo mau jadi kayak gue dan Hasan? Noh!" Tunjuk Fira pada lelaki yang sedang tidur menikmati suara di earphone-nya itu yang dia sambung ke handphone-nya.
Asih diam. Dia tidak mau jika dikucilkan di ruang lingkup pertemanan barunya. Tapi Asih juga tidak ingin mengucilkan mereka, menurut Asih lebih baik punya teman sedikit tapi berkualitas daripada punya teman banyak hanya sekedar kuantitas agar terlihat berkelas.
"Aku berteman tidak pandang siapa pun kok," Asih terus terang.
Fira terdiam. Tapi ucapan Asih masih belum bisa membuatnya percaya, pikir dia seseorang tetap saja akan memilih kubu terbesar agar dispesialkan dan meninggalkan teman yang tidak mempunyai nama yang tenar di lingkungan.
Fira kemudian membuka kembali bekal nasinya. Berbekal seadanya membuat Asih ikut merasakan, Asih menduga-duga kalau Fira dikucilkan itu karena kehidupannya yang kurang daripada yang lain.
Asih kebetulan tidak membawa bekal, dia diberi uang jajan oleh suaminya, si Tuan tanah. Bukan merasa sebagai seorang istri yang diberi uang bulanan tapi merasa jadi seorang anak yang dibekali uang jajan oleh ayahnya.
Namun, miris. Asih masih mengingat malam pengantinnya yang penuh keterpaksaan.
Jika terus berlarut mungkin Asih akan stress berat dan bisa saja bunuh diri seperti kakaknya.
Tapi Asih harus berjuang, dia harus sukses agar keluarganya tidak diinjak-injak lagi oleh orang lain.
Asih kemudian pergi keluar, dia mencari keberadaan kantin. Tanpa pamit pada temannya yang sedang makan sendirian dan tidak menawari dirinya. Sekadar basa-basi pun tak didapat oleh Asih.
Asih tidak sakit hati karena Asih juga tahu kalau Fira hanya belum bisa terbuka dengannya. Asih maklum.
Asih pun keluar dari bangkunya, Fira nampak acuh tanpa bertanya teman barunya itu mau ke mana.
Saat Asih keluar, beberapa murid tertuju padanya. Wajah asing Asih mudah mereka kenali, bahwa Asih adalah murid baru yang tadi pagi berjalan bersama ayahnya Bara yang belum mereka ketahui siapa Asih sebenarnya.
Bara akan malu jika semua orang tahu kalau Asih adalah ibu tirinya.
Asih juga masih malu untuk bertanya, dia mencoba menemukan kantin dengan melihat ciri-ciri yang ada.
Kantin adalah pusat perhatian perut para murid yang lapar, jadi tujuan anak sekolah pas istirahat pasti mengarah ke sana.
Seperti gula yang dikerumuni semut, Asih mengikuti anak-anak yang banyak hilir mudik ke sebelah kanan kooridor dan ternyata benar.
Kantin yang sangat besar dan terdapat banyak pedagang higienis. Tempat khusus, karena di sekolah ini tidak diperbolehkan jajan di luar kecuali sebelum dan sesudah pulang sekolah.
Saat Asih berjalan untuk memesan jajanan, tiba-tiba rombongan lelaki tak sengaja menubruk Asih dan tangan si lelaki itu menyenggol mangkuk bakso teman perempuannya dan tumpah ke baju Asih.
"Aduh, maaf-maaf," ucap seorang lelaki. Dia adalah Miftah.
"Ahhh, Miftah bakso gue tumpah. Ganti gak lo?" tuding si perempuan satu kelasnya bernama Silvi. Silvi pun memandang pada Asih yang terkena imbasnya.
"Aduh maaf-maaf ya, bajumu jadi kotor. Gengs pegangin dulu dong!" pinta Silvi pada temannya Nita.
Silvi mengusap baju Asih dengan tisu yang selalu dibawanya. Dia selalu punya bekal per-tisuan.
Asih kini malu karena dia jadi pusat perhatian para murid yang sedang jajan di sana.
"Gak apa kok, gak apa," elak Asih saat bajunya dibersihkan oleh Silvi.
Miftah memohon-mohon dengan kedua tangannya untuk diampuni oleh Asih maupun temannya Silvi.
"Beli lagi sana, nanti aku bayar," ucap Miftah yang langsung membuat Silvi nyengir.
"Asik, Nit pesenin lagi sana!" titah Silvi pada teman baiknya yang langsung menurut karena dia tahu jika temannya—Silvi sedang bertanggung jawab membersihkan noda di baju Asih. Walaupun pelakunya bukan dia.
"Baju kamu kotor, basah, pasti gak enak … itu juga ada bekas saos. Mau tukeran baju? Sebagai gantinya. Tenang kok gak bau, aku gak main futsal." Miftah memberi saran.
Temannya … Slivi dan dua temannya yang lain Rangga dan Adji tertawa mendengarnya.
"Modus lo," sindir Silvi.
"Gak apa, pepet terus Mif!" seru Rangga yang diikuti cekikikan Adji di belakang.
Semuanya jadi tertawa melihat wajah Miftah yang memerah.
Dan tiba-tiba seseorang datang dan mengagetkan mereka.
"Gak perlu repot-repot!" ucap Bara menolak.
Dia tiba-tiba datang dan memegang tangan Asih. "Lo kebanyakan caper ke cewek, sepupu gue juga masih mau lo embat?"
Semua yang ada di kantin yang sedari tadi menyimak, mereka semua terkejut. Bisik-bisik para murid yang jadi penonton juga terdengar.
"Oh … ternyata itu sepupunya."
"Mirip gak, sih?"
"Kok namanya Asih ya, kampungan."
"Bener gak, sih?"
"Iya, soalnya tadi dia diantar ayah Bara."
"Cantiknya alami ya."
Di sudut lain, Bella and The Gengs-nya pun mendengar huru-hara perbincangan para murid.
"Tuh jangan khawatir Bell, ternyata si Asih sepupu Bara, gak lebih," celetuk Ica memberi semangat.
Tapi, baru saja senyuman mengembang di pipi Bella, Ica melanjutkan ucapannya, "jadi biarpun Asih lebih cantik dari lo, juga gak akan ngaruh."
Ica seolah tak sadar dengan apa yang sudah dia ucapkan. Temannya yang lain tahu jika Bella si Princesss itu akan meledak penuh emosi jika ada orang yang membanding-bandingkan kecantikannya karena Bella merasa dirinyalah yang paling cantik di sekolah.
Wajah Bella sudah seperti diberi gincu seluruhnnya, dan kini melotot pada temannya Ica yang watados (wajah tanpa dosa).
"Lo bener-bener ya, Ca. Lo teman gue bukan, sih?" Bella marah.
Teman-temannya yang lain mencoba menyimak dulu sebelum turun tangan untuk memisahkan keduanya.
"Lah, apa salah gue, emang?" Ica bertanya, tapi seketika mulutnya dibekam oleh Tata yang duduk di sampingnya.
"Icaaaa!" Bella menjerit sebal dan masih ditahan oleh Keyla.
Kembali ke pusat perhatian.
Miftah tidak suka mendengar ucapan Bara yang berlebihan padanya. Seakan-aakan Miftah itu adalah seorang Playboy.
Tapi, dia juga tidak ingin meladeni Bara dan menjatuhkan harga dirinya sendiri.
Miftah hanya diam, dia harus sabar dengan perlakuan Bara jika berada di tempat umum seperti ini.
Pikir Miftah jika dia terpancing emosi itu justru membuatnya sama saja dengan Bara yang tidak punya tata krama.
"Ayo, pergi!" ajak Bara.
Asih tidak ingin mengelak walaupun niatan membeli makanan untuk Fira diurungkannya.
Bara membawa Asih pergi dan langkah mereka berdua dibuntuti oleh kedua temannya Hilman dan Tobi.
Karena Bara ingin mengobrol serius dengan Asih, lelaki itu mengusir kedua temannya agar pergi ke mana pun yang mereka mau.
"Kenapa kalian buntuti gue? Hah?" tanya Bara terlebih dahulu sebelum pengusiran. "Pergi sana!" titahnya.
"Kita harus ke mana, King Bara?" tanya Tobi.
Bara memang sering disebut King Bara karena dia adalah ketua gens Motor The King yang dipelopori Bara dan dibiayai hampir segala keperluan geng itu olehnya terutama yang menyumbang paling besar dan bahkan mereka sampai membuat markas khusus dan dananya hasil patungan bersama.
"Ke mana pun, ke ujung dunia sekalipun gue gak peduli,. Yang penting kalian enyah dulu, jangan ganggu gue!" Bara emosi.
Keduanya paham dan langsung pergi setelah aba-aba bubar jalan yang dikomandoi Hilman berkumandang.
Melihat itu, Asih justru tertawa karena menurutnya itu lucu, dari Bara disebut King dan tingkah kedua temannya yang kocak.
"Ngapain lo ketawa?" tanya Bara ketus.
Asih langsung diam, dia ciut padahal sebenarnya status Asih lebih tinggi dari Bara. Dia seharusnya bisa marah juga pada Bara karena sudah memperlakukan Asih tidak sopan.
Perilaku seperti itu pada ibu tiri tidak pantas, bukan?
Sesungguhnya Bara tahu. Tapi jika ibu tirinya seumuran, ya … Bara juga bingung.
Tapi Asih seolah tidak berkuasa dan dia hanya menurut saja.