Chereads / Asih Tanpa Kasih / Chapter 16 - Pura-pura Sakit

Chapter 16 - Pura-pura Sakit

"Ada apa kamu di sini?" tanya Jajaka Purwa pada Kirani yang masih menunduk dan membenarkan rambutnya ke belakang telinga. Rambut pendek seperti polisi wanita tidak melebihi pundak.

"Ta –tadi Asih gak enak badan katanya Sayang, benarkan Asih?" Kirani memberi isyarat kedipan mata.

Asih pun mengerti, dia mengangguk dan memegang perutnya sendiri.

Jajaka Purwa langsung mendekati Asih. Dia duduk di tepi kasur berhadap-hadapan dengan Asih dan mengelus perutnya.

Kirani yang melihat sikap suaminya yang begitu perhatian pada madunya, sangat muak dengan itu. Dia pun pamit untuk pergi.

"Aku pamit keluar, Sayang," ucap Kirani. Tapi Jajaka Purwa tidak peduli, dia malah balik bertanya pada Asih.

"Perutmu kenapa, Sayang? Kamu sakit?" tanyanya penuh khawatir.

Kirani kesal, dia juga tidak ingin melihat kemesraan suaminya dengan madunya dan dia langsung secepat mungkin menghindar, pergi.

"Mungkin lambung, Tuan," balas Asih berbohong.

Jajaka Purwa kini menatap Asih keseluruhan. Asih gugup, dia tidak tahu apa yang tengah dipikirkan oleh suaminya terhadapnya setelah Asih bilang begitu.

"Dari tadi mengapa kamu belum berganti baju, Sayang? Mmm?" tanya Jajaka Purwa dengan kerut di dahinya.

Asih semakin gugup, dia seperti orang yang dijatuhi hukuman mati.

"Aku tadi –"

"Aku gak mau denger alesan. Kamu cepat mandi sekarang!" titahnya pada Asih.

"Baik Tuan," balas Asih masih gugup.

Dia kemudian menaruh tas ransel gendongnya, dan beranjak ke kamar mandi. Saat melangkah masuk, Asih melirik suaminya yang kini justru malah tidur di kasur.

'Kenapa dia tidak pergi?' Batin Asih bertanya. 'Apakah dia akan memaksaku untuk berhubungan lagi?" Perasaan Asih tidak karuan.

Dia tidak ingin melayani suaminya. Rasanya Asih seperti jadi pelacur baru yang mau tidak mau harus meladeni lelaki hidung belang yang sudah membayarnya mahal. Seperti itulah kira-kira menurut khayalan Asih.

"Kenapa kamu berdiri di situ?" Jajaka Purwa kembali bertanya. Asih berdiri di lawang pintu dengan lamunannya.

"Ah?" Asih kaget. "Tidak Tuan." Dia menggelengkan kepalanya.

Jajaka Purwa merubah posisinya yang tadi bersandar kini jadi duduk tegak.

"Apa kamu mau aku juga masuk?" tanyanya dengan wajah buaya.

Asih yang ditodong dengan tawaran yang tidak dia inginkan itu segera bergegas menutup pintu kamar mandi dan masuk ke dalam.

Jajaka Purwa yang melihat Asih seperti ketakutan, justru tidak membuatnya marah. Dia sangat senang melihat tingkah Asih yang polos.

Seperti mainan boneka Barbie yang bisa menurut apa saja sesuai perintahnya.

Lebih menggoda dibanding istri-istrinya yang kian terasa hambar. Dia juga berencana untuk terus tidur dengan Asih. Pikiran kotornya terus saja meraung-raung.

"Ternyata punya istri muda lebih membuatku bahagia," ucapnya, "apa aku perlu menambahnya lagi?" Jajaka Purwa berpikir sambil memegang dagunya dan menatap sekilas pintu kamar mandi.

Dia tertawa sendiri.

***

Bara terus menghubungi Rani sembari tiduran di kamarnya. Beragam cara dia lakukan hanya agar Rani membalas pesan darinya.

Tapi tetap saja perempuan itu tidak membalasnya, bahkan membacanya saja tidak.

"Ini semua gara-gara si Miftah. Rani jadi ngejauhin gue," kesal Bara sendirian.

Bara berpikir keras sekarang, beragam cara-cara picik terbesit di pikirannya. Tapi, prasangkanya pun selalu ikut campur.

Sekarang Miftah adalah musuh Bara, tapi Bara tahu kalau temannya itu adalah orang baik.

Miftah adalah orang baik. Dia juga tidak mungkin berbohong perihal fotonya bersama Rani yang hanya di cut oleh orang lain agar siapa pun yang melihatnya menduga kalau mereka sedang berduaan.

"Berarti di antara mereka, besar kemungkinan Bella yang bohongi gue." Bara menduga. "Awas lo, Bell!" Tangan Bara mengepal di kedua sisi.

Ingin sekali Bara meninju tembok. Tapi dia mikir dua kali. Soalnya sakit kalau tidak refleks, hihi.

Saat Bara mengingat-ingat peristiwa yang pernah dia alami, tentang masa lalunya bersama Miftah, tentang PDKT-Nya dengan Rani dan juga tentang urusan panjangnya dengan Bella.

Bara hampir lupa kalau tadi Rival bulenya yang jadi selingkuhan Bella dulu tidak masuk sekolah karena sakit.

"Kenapa dia?" Bara masih bertanya pada dirinya sendiri.

Bara curiga Alfred tidak benar-benar sakit.

***

Di rumah Alfred, lelaki itu sekarang sedang asik dengan permainan game-nya di kamarnya.

Semua cemilan kesukaannya berserakan dan juga tak lupa minuman alkohol pun selalu menjadi peneman kesehariannya.

"Mampus lo! Mampus!" ucap Alfred pelan sembari giginya menggertak kesal.

Dia juga tidak mau orang tuanya tahu kalau Alfred hanya pura-pura sakit padahal dia hanya malas saja untuk sekolah, makanya permainan game-nya pun sengaja tidak diberikan suara.

Menurut Alfred membunuh lawan di permainan game seakan membunuh musuhnya, yaitu Bara. Alfred membayangkannya seperti itu.

Bara adalah satu-satunya orang penghalang dalam kisah asmaranya dengan Bella. Maka dari itu, Alfred sangat membenci Bara.

Tapi, tiba-tiba suara seorang perempuan terdengar. Dia memaksa masuk ke kamar Alfred.

Alfred terkejut, dia mengira dirinya sedang berhalusinasi karena dia sedang dalam pengaruh obat dan minuman alkohol.

Menurut Alfred, Bella tidak akan datang ke rumahnya sekarang. Alfred tahu kalau Bella tidak akan lagi peduli dengannya, karena di pikiran dan hati berikut juga visualisasinya, masa depan Bella hanya tentang Bara seorang.

Walaupun Alfred sadar selama ini dia hanya dipakai sebagai pelarian bagi Bella, tapi Alfred tetap mencintainya.

Alfred tidak pernah berlaku kasar pada Bella seperti yang sering dilakukan Bara pada perempuan itu.

Bara memang tidak pernah memukul Bella. Tapi dia selalu mempermalukan Bella di depan teman-temannya yang lain dan tak segan membentak-bentak Bella tanpa melihat situasi dan kondisi setelah Bara tahu kalau Bella berselingkuh dengannya.

Alfred kemudian mematikan permainan game-nya dan menghantamkan dirinya ke kasur.

Kemudian diambilnya bantalnya dan ditindihkan ke kepalanya. Menutup kedua telinga agar suara Bella tidak dia dengar.

"Apa gue terlalu over? Atau gue sudah gila karena Bella?" Alfred bertanya-tanya sampai suara itu terdengar lagi.

"Woy, Alfred buka! Lo tuli, ya? Gue tahu siapa lo. Gue juga tahu kalau lo itu gak sakit." Bella memaksa masuk sambil berteriak cukup keras.

Dia tidak segan menuduh si anak pemilik rumah. Karena mengganggu ketenangannya, Alfred memberanikan diri membuka pintu walaupun keyakinannya begitu kuat kalau suara yang dia dengar itu hanya ilusi saja.

Alfred turun dari kasurnya dan memakai sandal rumah, dia berjalan mendekat ke pintu.

Alfred kemudian membuka kuncinya, dan setelah itu –

Seorang perempuan cantik seperti boneka Barbie menerobos masuk kamarnya.

"Bella?" Alfred tidak menyangka dengan apa yang tengah dia lihat.

Alfred mengucek-ngucek matanya. Dia masih tidak bisa membedakan antara dunia asli dan dunia buatan dari alkohol yang sudah dia reguk berlebih.

"Tuhkan, gue tahu kalau lo hanya pura-pura sakit. Dasar dramatisir," sindir Bella dengan kedua tangannya yang terlipat ke depan.

"Kamu Bella aslikan?" Alfred masih tidak bisa memastikan kepercayaannya sendiri.

Bella mengernyit. Dia sangat heran mendapat pertanyaan yang dilontarkan oleh Alfred.

"Lo ngedadak amnesia, hah? Habis korupsi berapa banyak sampai lo harus pura-pura amnesia segala?" Bella berkata dengan laganya yang menantang.

Kata-katanya barusan terilhami dari berita di televisi yang mengabarkan kalau ada pejabat yang korupsi dan pura-pura amnesia. Bella memang sangat mudah terdominasi oleh berita.

Bella juga suka menantang amarah seorang lelaki. Tapi itu tidak berlaku pada Alfred yang sangat mencintai Bella.

Sekeras dan sebanyak apa pun ucapan Bella menyeranganya, tetap saja Alfred selalu jatuh cinta padanya tanpa pernah sedikit pun pudar atau bahkan berpikir untuk menyudahi perasaannya.