Bella berlari sambil menangis menuju kamar, dan setelah tiba di kamarnya dia membanting pintu dengan keras.
Begitulah setiap hari jika dia sudah bertengkar dengan ibunya. Bella juga anak semata wayang dan dia seringkali kesepian kalau sedang sedih karena dia tidak punya saudara.
Apalagi sekarang setelah dia jomlo, dulu Bara seakan menjadi obat penawar yang selalu siap membawa Bella jalan-jalan dan tertawa bersama tetapi sekarang lenyap tanpa kata dan hanya menyisakan perdebatan yang ada.
Biasanya juga ketiga geng-nya selalu Bella ajak ke rumah untuk sekedar menemani rasa kesepiannya dengan karaokean bersama dan hal lainnya yang bisa membuat Bella Happy.
Tapi setelah Bella tahu ibunya hampir bangkrut, dia tidak ingin teman-temannya tahu soal itu dan lebih menutup diri.
Jika teman-temannya ingin ke rumahnya pun selalu Bella tolak dengan beragam alasan.
Bella membanting dirinya ke kasur. Tubuhnya terngkurap sembari memegang bantal dengan erat.
Tangisnya tumpah. Semua orang yang tahu Bella di sekolah adalah orang yang selalu sumbringah dan menindas kaum lemah, mereka mungkin meledek Bella jika tahu Bella yang sebenarnya adalah perempuan lemah dengan latar belakang keluarga yang Broken Home.
Sikapnya di sekolah seperti pembalasan dendam pada hidupnya sendiri yang tidak damai seperti orang lain.
Dari kecil, Bella selalu melihat perdebatan orang tuanya karena ibunya menuding ayahnya berselingkuh.
Perang dunia ketiga sudah sering Bella saksikan, dan Bella hanya bisa lari ke kamarnya dan mengunci dirinya sendiri. Setelah itu ayahnya akan mengetuk pintu dan bertanya.
"Bella, kamu nangis Sayang? Bell, Bella?"
Selalu seperti itu dan Bella tidak pernah ingin membuka pintunya. Ibunya yang kekeh dan egois juga sangat bertekad sukses tanpa suaminya hingga mereka bercerai dan hak asuh anak dimenangkan oleh ibunya.
Ayah Bella kemudian pergi ke negaranya tanpa bertemu untuk terakhir kali dengan Bella karena ibunya melarang.
Setelah itu, hidup Bella tidak sempurna. Tapi Bella sempat nyaman karena di rumah tidak ada lagi kegaduhan.
Namun dia merindukan sosok ayahnya sampai saat ini. Tidak ada kabar dari dia karena ibunya mem-Block komunikasinya dengan ayahnya sendiri.
Bella tidak tahu prahara rumah tangga apa yang sedang terjadi dengan kedua orang tuanya.
Bella tidak percaya siapa pun di antara mereka, walaupun Bella selalu membela ayahnya dan percaya kalau ayahnya tidak selingkuh.
Tapi hati kecil Bella juga tidak sepenuhnya percaya akan hal yang diyakininya itu. Bella tidak punya bukti apa pun.
"Kenapa sih hidup gue semenderita ini? Tuhan F*CK!" Bella mengumpat. "Lama-lama gue bisa masuk rumah sakit jiwa kalau terus-terusan hidup terasa kayak di neraka seperti ini. Gak bisa gituh orang tua gue rujuk demi putrinya? EGOIS!"
Bella terus saja menangis hingga dia mendengar bunyi handphone-nya. Bukan penelpon, tapi sederetan bunyi tanda pesan yang datang.
Tertulis My Boy di layar ponselnya, itu adalah Bara.
"Lo ngebohongi gue, Bell? Miftah bilang foto-foto itu sengaja di cut karena saat itu posisinya sedang banyak orang dan kebanyakan foto itu di komunitas pengajian. Gue tunggu lo besok untuk klarfikasi, awas lo!" ancam Bara di pesan whatsaap.
"Apalagi sih ini? Gue emang nge-Cut foto-foto itu biar lo percaya, Bar. Kenapasih lo jadi gini ke gue? Gue masih cinta sama lo! Maafin gue apa susahnya sih?" Bella bertanya pada foto Bara yang kini masih dia gunakan sebagai wallpaper.
Bella berpikir dengan keras.
"Salah satu cara paling ampuh adalah Rani. Dia harus gue beri pelajaran nih, gak ada cara lain lagi. Awas lo, Ran! Jadi cewek kegatelan banget, udah tahu Bara hanya milik gue seorang. Tapi lo udah berani kibarin bendera perang. Awas lo!"
***
Bara meninju tembok, di saat Adrian sedang ada di kamarnya dan melihat adiknya heran dengan sikap seperti sekarang.
Adrian yang satu semester lagi masa skripsi kini sudah santai karena skripsinya selesai lebih cepat dan dia hanya tinggal menunggu wisuda saja.
Anak-anak Jajaka Purwa memang pintar-pintar, begitupun Hani yang juga mempercepat waktu kuliahnya dan dia akan pulang segera ke Indonesia menikmati liburan dan menunggu hari wisuda untuk memboyong keluarganya ke luar negeri.
"Lo kenapa?" tanya kakaknya Adrian yang sedang seru bermain game tanpa sedikit pun melirik adiknya.
Bara menengok kakaknya, dia kemudian tiduran di karpet dan mengambil remot untuk menyalakan televisi. Tidak dijawab pertanyaan kakaknya itu, sampai kemudian Adrian bertanya lagi.
"Oh ya, si ibu tiri muda kita gimana di sekolah? Ngerepotin lo, gak?" tanya Adrian yang langsung mendapat respon melongo dari Bara.
"Kenapa lo kepo sama dia, Kak? Jangan-jangan?" Bara menggoda kakaknya yang selama ini masih menjomlo, berbeda dengan dirinya yang sudah berkelana dari beberapa cinta.
Adrian suka berdalih jika dirinya belum mendapatkan perempuan yang baik karena hampir semua perempuan di mata Adrian sama, yaitu mereka bermata uang, alias matre.
Adrian berkaca dari ibunya, dan kesepuluh ibu tirinya yang lain –yang mencintai ayahnya hanya karena harta, tidak ada kehangatan yang Adrian rasakan sejak kecil.
Dia melihat di keluarganya hanya ada seorang Raja dan pembantu-pembantunya saja, berbeda dengan keluarga teman-temannya yang lain, yang kebanyakan hanya satu ibu dan satu ayah serta anak-anak yang tertawa ria.
Tidak ada pembagian tahta seperti Ratu pertama, Ratu kedua dan para selir.
Sungguh pemandangan memuakkan bagi Adrian, dan itu juga memengaruhi ruang lingkup sosialnya untuk tidak bersalaman dengan yang namanya asmara (cinta).
"Gila lo, lo kira gue suka sama perempuan kampungan kayak dia?" ucap Adrian mengelak. Dia melirik adiknya hingga permainan yang sedang dia mainkan berakhir. "Ah lo tuhkan, gue jadi game over." Adrian menyalahkan bara.
"Idih, kalau kalah ya kalah aja kali," ucap Bara. Dia pun kembali berucap, "ya … hati siapa yang tahu kan, Kak?" Bara memalingkan kembali wajahnya ke acara televisi.
Dia memindah-mindahkan channel karena menurutnya acara televisi sekarang tidak ada yang seru.
"Jangan-jangan lo kali," tuduh Adrian, "lo kan bakal tiap hari bareng dia, awas lo cinlok sama ibu tiri lo sendiri. Haha …," ledek Adrian balik pada Bara.
"Gila, cuih gue." Bara merasa jijik mendengarnya. "Lagian ayah kita ada-ada aja lagi nyekolahin dia di sekolah gue. Gak punya otak dia. Kalau temen-temen gue tahu si Asih ibu tiri gue, bisa di sindir sesekolah gue," keluh Bara.
Kakaknya Adrian hanya tertawa mendengarnya sembari puas melihat adiknya uring-uringan.
Adrian tahu wajah Bara kalau kesal, dia pun tidak bisa membayangkan jika setiap hari adiknya belajar tidak tenang karena takut identitas Asih dan dia terbongkar.
Dia juga sepakat dengan Bara kalau ayahnya sudah gila menyekolahkan istri barunya di sekolah anaknya sendiri, itu sama saja cari mati walaupun data pernikahan Asih belum dicantumkan. Ayahnya memanipulasi data.
"Oh ya, lo ngerasa ada yang aneh gak di rumah ini, Bar?" tanya Adrian sembari wajahnya kini berubah seperti diintai sesuatu.
Bara pun bangkit dari tidurannya di karpet dan kini menatap kakaknya dengan serius.
"Apa?" tanya Bara penasaran.
"Lo ngerasain gak kalau hawa malam sekarang aneh?" Adrian bertanya balik dan menaruh handphone-nya ke saku celana.
"Aneh karena ayah kita tiap hari bermalam sama si Asih?" Bara bertanya sekenanya sambil bibirnya menyungging senyum atas ucapannya sendiri.
Adrian pun terkecoh dan dia tertawa sambil bicara, "bukan, Tolol! Hahaha. Tapi …," ucapannya terpotong dan Adrian melirik ruangan kamar Bara ke setiap sudut.
"Lalu?" Bara penasaran.
"Hantu Nengsih balas dendam … hihihiihih." Adrian menakut-nakuti adiknya sembari tertawa menirukan suara kuntilanak.
Bara loncat ke pelukan kakaknya yang sekarang berusaha menghindari Bara dan bergegas keluar.
Adrian lari dan masih menakut-nakuti Bara, sedang Bara berusaha memeluk kakaknya untuk berlindung.
"Di kamar lo tuh serem ada lambayan dahan pohon di kaca," ucap Adrian terus menakut-nakuti Bara sampai pintu kamar itu dibukanya.