Chereads / Asih Tanpa Kasih / Chapter 15 - Ledekan Berakhir Tangis

Chapter 15 - Ledekan Berakhir Tangis

"Kak, lo jangan nakut-nakuti gue," ucap Bara sembari ikut keluar kamar. Tapi … di tengah keributan itu mereka kini mematung. Bisu. Ada Asih di hadapan mereka yang akan lewat dan dia masih memakai baju seragam.

"Baru pulang, lo?" tanya Bara ketus, Adrian kakaknya melirik adiknya yang sangat berani pada ibu tiri mereka.

"Iya," balas Asih singkat. Tangannya memegang kedua lengan tas ranselnya yang kini sedang ia gendong.

"Mungkin jalan-jalan dulu sama suami kayanya. Benar begitukan Mommy tiri?" ledek Adrian begitu tajam dan dingin sembari tertawa sinis, Bara pun ikut tertawa, tapi dia menghentikan tawanya karena melihat Asih mulai berlinang air mata.

"Kak," panggil Bara sambil menyenggol lengan kakaknya--Adrian.

Adrian juga tahu kalau sebentar lagi Asih akan menangis.

"Baperan banget sih dia. Cari muka, ya?" tanya Adrian. Tapi Asih masih tetap diam. "Gua gak mau ikut campur," seru Adrian lagi sambil berlari secepat kilat.

"Kak!" Bar memanggilnya. Dia ingin mengekor kakaknya yang berlari tapi rasanya Bara tertahan karena melihat Asih.

Tangis Asih akhirnya tumpah, Bara semakin heran melihatnya sekaligus diliputi rasa bersalah. Entah mengapa melihat Asih kembali menangis dia jadi teringat saat pertama kali Asih datang ke rumahnya dan saat dia menikah dengan ayahnya sendiri.

Asih tidak berhenti menangis saat itu. Begitupun juga, Bara tidak suka melihat perempuan menangis, apalagi sekarang Asih menangis karena ucapan Bara yang dia pikir ledekannya itu tidak seberapa.

"Heh, Asih. lo jangan nangis!" ucap Bara bermaksud menenangkan. Bara kemudian mencoba mendekati Asih, melihat dengan dekat wajahnya yang sekarang tertunduk. "Asih?" seru Bara.

Asih menepiskan tangan Bara yang mencoba memegang pipinya itu dan dia pun pergi.

Asih berlari menuju kamarnya. Bara membalik badannya dan melihat kepergian Asih dengan rasa bersalah.

Tapi seketika dia sadar, kalau Asih memang perlu dilakukan seperti itu agar dia tidak betah berada di rumahnya.

"Kok gue pedulisih, mau dia nangis mau dia mati sekali pun bukan urusan gue, kan? Ishhh … Bara lo ngedadak loading sih." Bara menghakimi dirinya sendiri dan menarik gagang pintunya untuk kembali masuk ke kamar.

Saat Bara masuk, dia merasakan hawa yang berbeda. Bara membenarkan ucapan kakaknya tadi hingga terbesitlah wajah hantu di benak Bara.

"Aaaa, Kakak gue memang parah. Tahu gue penakut makin menjadi-jadi jahilnya." Bara berusaha menepis ketakutannya kali ini.

Dia berpikir kalau ketakutannya hanya sugesti saja dan hantu itu tidak pernah ada.

"Hantu hanya di film-film murahan!" ucap Bara mencoba memberanikan diri dan berjalan ke kasurnya.

***

Asih membuka pintu kamar. Dia masih menangis. Terasa dirinya sangat rendah sekali menjadi seorang istri muda dari seorang Fir'aun modern.

Anak tirinya saja tidak hormat padanya. Asih juga mengingat-ngingat di mobil tadi, Jajaka Purwa terus saja menumpahkan nafsunya pada Asih, menciumi sampai membuka kerah baju Asih yang masih berseragam sekolah.

Dia juga diajaknya makan di luar. Asih tahu kalau si kumis baplang itu, suaminya sendiri. Dan tidak ada dosa jika Asih melayaninya.

Justru Asih akan berdosa ketika dia menolak ajakan suaminya sendiri. Suami yang tak pernah dipikirkan Asih sebelumnya akan menjadi suaminya, yang juga sama sekali tidak dicintai Asih.

Tidak ada secuil pun rasa sayang yang bersemayam.

Asih masih tengkurap di kasurnya menumpahkan kesedihan. Tiba-tiba, datang seseorang.

"Asih," panggilnya dengan nada lembut, "apa aku boleh masuk?" tanyanya membuat Asih juga heran dengan maksud kedatangan istri kedua suaminya itu.

Asih kemudian memaksa tubuhnya bangun untuk duduk, serta mengusap air matanya yang sudah telanjur terpergoki oleh dia yang tujuan kedatangannya Asih curigai.

"Boleh. Ada apa Mbak?" tanya Asih.

Kirani kemudian duduk di tepi kasur berhadapan dengan Asih. Menatapnya seperti ibu kandung yang mencoba memahami kegundahan yang tengah dirasakan anaknya.

Tapi ini hanyalah drama yang sedang dia buat.

Mengelus rambut Asih yang setiap tepi dekat pipinya sedikit basah karena tangisan.

"Aku tahu kalau kamu belum bisa terbiasa hidup di sini, Asih. Tapi kamu jangan khawatir, kamu bisa bercerita sama aku. Aku juga dulu sama seperti kamu Asih," ucap Kirani membuat Asih tertarik mendengarkan ceritanya lebih lanjut.

"Sama kayak aku?"

"Heem. Apalagi aku," ucap Kirani sembari melihat-lihat ke sekitar berlaga takut jika ada yang mendengarnya, "dulu istri pertama Tuan besar suka pukuli aku Asih, suka jambak rambut aku, dia juga tiap hari fitnah aku biar Tuan besar menggugat cerai aku."

"Mbak Monika?" tebak Asih memastikan siapa orang yang sedang dibicarakan Kirani.

Kirani mengangguk.

"Dulu aku masih sabar, tapi lama kelamaan aku mikir. Kalau aku lemah, aku akan semakin direndahin sama dia, Asih. Jadi kamu nanti jangan mau kalau disuruh-suruh olehnya ya, kalau ada masalah apa pun cerita sama ku ya, Asih? kita senasib sepenanggungan, jadi aku harap kamu dan aku bisa saling nguatin untuk bertahan."

Kirani tersenyum jahat pada Asih, tapi Asih tidak sadar dengan itu.

Dia menganggap Kirani benar-benar akan membantunya. Hingga Asih jujur dan menceritakan rencana dia ke depannya nanti.

"Mbak," panggil Asih pada Kirani yang kini berada di hadapannya kini.

"Iya, Asih?"

"Sebenarnya aku –"

"Apa? Cerita aja, kamu bisa percaya sama aku kok. Tenang," bujuk Kirani sembari terus mengusap-usap rambut Asih.

"Sebenarnya aku nanti akan kabur dari sini, aku gak mau hidup dengan Tuan besar, aku tidak mencintainya. Aku mencintai seseorang, Mbak," jelas Asih dengan wajah yang memaksa ingin dimengerti dan tersirat ketakutan yang amat besar di wajahnya.

Kirani terkejut mendengar rencana besar Asih. dia sama sekali tidak menyangka jika Asih punya rencana ingin kabur. Senyum kebahagiaan tersirat di wajahnya tapi segera dia hilangkan dan berpura-pura terkejut dan tidak setuju.

"Asih, kamu gak bisa kabur dari sini. Keluarga kamu bagaimana nantinya? Mereka pasti akan diancam." Kirani menyatakan fakta sebenarnya, tapi di dalam hati dia sangat setuju jika Asih kabur dan tidak peduli tentang nasib keluarga Asih.

"Aku akan bawa keluarga aku juga Mbak. Aku akan nabung dan kabur dengan pacarku," ucap Asih penuh ambisi.

"Siapa?" Kirani sungguh penasaran.

"Kakak kelasku di SMA, Mbak … dia mau nerima kondisiku walaupun aku udah –" ucapan Asih terpotong.

Begitu pilu rasanya jika mengingat kembali hubungan ranjangnya dengan suami yang tidak dicintainya, si Tuan Tanah itu.

Kirani tahu apa yang sedang mengganjal di hati Asih, dia kemudian kembali memeluk Asih.

"Kalau begitu mau kamu, aku akan bantu kamu Asih. Asal kamu bahagia aku pun turut bahagia."

Pelukan Kirani palsu, tapi Asih percaya dengan itu.

Dia pun sekarang malah terus tersenyum senang dan mengelus-elus rambut Asih.

Tapi tiba-tiba, pintu terbuka. Kirani dan Asih terkejut.

"Tuan," lirih Asih.

Kirani langsung berdiri, dia sekarang tertunduk seolah tertuduh dengan sorot mata tajam suaminya yang mempertanyakan keberadaannya di kamar Asih.

Dalam hati Kirani kesal. 'Kenapa dia terus saja berkunjung ke kamar Asih? Dasar laki-laki … disuguhi anak muda semakin menjadi'.