Tanpa bertanya Asih siap atau tidak, dia memulai. Jajaka Purwa sempat kesal karena dia harus membuka baju Asih olehnya sendiri.
Tapi karena dia sangat ingin, jadi hal itu tidak membuatnya terlalu repot untuk dengan senang hati membuka.
Hati Asih terus menjerit, dia tak kuasa.
***
Ke esokan harinya keluarga istana besar itu sarapan di meja makan seperti biasa.
Hanya kedua istri sah, Bara dan Adrian ditambah kepala keluarga Jajaka Purwa dan Asih yang kini mencoba menyesuaikan diri.
Jajaka Purwa dan Asih datang terlambat maklum, pengantin baru.
Bara melongo melihat Asih yang saat ini memakai baju seragam SMA.
"Ayah bener-bener udah gila ya, mau nyekolahin lagi istrinya?" celetuk Bara yang duduk di samping kakaknya--Adrian.
"Lo baru nyadar? Kita terbuat dari kegilaan itu, Bar," timpal Adrian lebih ketus dari Bara.
Dalam hati keduanya sebenarnya mereka kasihan pada Asih, usia Asih sama dengan Bara dan seharusnya dia menikmati masa SMA dengan indah tanpa memikirkan hal-hal di luar fokus seorang pelajar.
Beruntunglah mereka terlahir jadi anak laki-laki yang setidaknya tidak diperbudak oleh kaum mereka sendiri.
Kemiskinan memang merenggut hak suara, pikir mereka berdua.
"Ayo duduk di sini!" titah Jajaka Purwa pada Asih.
Asih rasanya masih malu untuk menatap mereka, kedua istri suaminya dan dua anak tirinya.
Asih saja masih belum bisa menerima keperawanannya direnggut oleh si Tuan Tanah itu yang sekarang sudah berstatus sebagai suaminya.
Orang yang harus Asih hormati, karena semua pelayanan yang dia beri pada suaminya bernilai ibadah.
Semuanya makan seperti biasa walaupun kehadiran Asih menjadi pengganjal dalam suasana –membuat tidak nyaman dan bahkan tidak berselera bagi keempat orang itu.
Tidak ada yang ingin Asih ada di sana. Tapi Monika dan Kirani menyamarkan raut wajah mereka seperti meridhoi setiap putusan sang suami karena kalau tidak keduanya siap-siap saja ditendang dari rumah besar bak istana itu.
Daripada jadi gelandangan, lebih baik tunduk patuh pada penguasa saja, pikir keduanya yang sekarang terus melirik Asih dengan penuh rasa benci.
Di sela makan, Jajaka Purwa mulai ambil andil dalam percakapan karena sedari tadi hening.
Tidak ada yang berani mendahului dirinya di setiap makan bersama seperti ini. Jika kepala rumah tangga mereka tidak memulai percakapannya.
Semua keadaan di rumah selalu disiplin dan bahkan otoriter. Mereka seperti bukan keluarga, lebih tepatnya pelayan sang mulia penguasa yang hanya disebut Fir'aun modern oleh Asih saja.
Asih seperti Asiah binti Muzahim yang harus sabar menghadapi kekejaman suaminya.
"Bara, ayah sudah mengurusi administrasi Ibu barumu di sekolahmu. Jaga dia baik-baik," ucap Jajaka Purwa yang membuat semuanya terkejut, apalagi Bara.
'Jaga dia baik-baik' kalimat itu mengganjal di hati Asih. Walaupun jahat, si Fir'aun modern itu bisa-bisanya memerintah anaknya untuk menjaga dirinya.
Asih terdiam. Ada ketidaksinkronan dengan kalimat suami jahatnya barusan.
Seketika Bara dan Asih saling tatap. Mata Bara seperti bola lampu yang rusak. Hampir pecah karena begitu emosi.
"Apa? Tidak sudi, aku satu sekolah sama dia." Raut wajah Bara judes. "Mau ditaruh di mana mukaku nanti, Yah? Aku gak mau." Bara menolaknya.
Ibu tirinya—Monika tersenyum puas melihat kelancangan Bara, sedangkan ibu kandungnya—Kirani membelototi anaknya, isyarat jangan melawan sang ayah jika masih ingin selamat.
Adrian acuh tak acuh, dia juga merasa wajar jika Bara menolak. Kalau Adrian di posisi Bara pun dia pasti menolaknya dan bahkan bisa kabur dari rumah.
Tidak akan tenang dia dalam belajar, takut teman-temannya tahu. Untungnya Adrian sudah kuliah, jadi dia terbebas.
"Kamu suka ngelawan ayah ya, anak durhaka kamu!" Jajaka Purwa marah.
BRAKKK!
Bara menggebrak meja, lalu dia langsung berdiri.
"Bara malu, Yah. Pokoknya Bara gak sudi!" Bara mengamuk.
"Bara!" Kirani memarahinya. "Duduk kamu! Yang sopan kalau bicara sama Ayahmu."
Bara memalingkan wajahnya, mendengus kesal karena tidak ada yang berada di pihaknya, sekalipun itu kakaknya sendiri.
Adrian hanya menikmati makanannya saja seolah tak peduli. Tapi Bara juga memang sadar kalau sudah watak Adrian acuh seperti itu karena dia akan terlibat jika masalahnya sudah meleber ke mana-mana.
Begitulah Adrian, kakak satu-satunya Bara yang lebih mirip seperti patung berhala yang tidak pernah berekspresi apa-apa.
Wajahnya selalu datar dan ucapannya selalu pedas, lebih dari bakso merecon kesukaan ibu mereka.
"Kalau kamu gak nurut sama ayah, kamu tanggung resikonya, Bara," ancam Jajaka Purwa.
Bara langsung menyurut. Rahangnya kaku mendengar ancaman ayahnya itu. Dia tahu arahnya pasti ke kartu ATM-nya yang akan diblokir. Bara menyerah, dia kembali duduk dan melipat kedua tangannya.
Ayahnya tersenyum miris, begitu mudah dia menaklukkan sang anak.
"Kirani!" bentak Jajaka Purwa pada istrinya.
"Iya, Suamiku," balas Kirani, hatinya sudah tidak karuan.
Baru dipanggil namanya saja sudah mirip seperti sang malaikat pencabut nyawa yang sudah bersiap membawanya pergi ke neraka.
"Makanya jadi Ibu yang bener, Bara tak tahu etika pada ayahnya sendiri. Bagaimana nantinya dia ke depan, di sekolahkan mahal-mahal etikanya nol. Pasti kamu kurang disiplin ngedidik dia," ceroros Jajaka Purwa membuat Kirani malu di depan Asih madunya yang baru dan sudah jelas dia merasa kalah saing dengan Monika yang senang melihatnya.
"Monika!"
"Iya, Suamiku," balas Monika merasa berjaya.
"Kapan Hani pulang?"
"Dia pulang dulu bulan depan kalau gak ada kendala katanya, dan dipastikan anak kita camlaude, Sayang," Monika memanas-manasi sambil melirik Kirani yang kesal mendengarnya.
"Aku aja summa camlaude kok, Bun. Gak sombong tuh!" ledek Adrian seraya anteng mengunyah makanannya.
Bara yang tadi emosi jadi terbahak-bahak karena itu.
Monika ingin sekali membalas Adrian dengan kata-kata kasar penuh emosi, tapi tidak mungkin dia mengeluarkan watak merahnya di depan Jajaka Purwa. Hingga dia tetap membalas Adrian dengan lembut.
"Tapi kan beda Adrian. Hani kuliahnya di luar negeri, kamukan di dalam negeri. Beda kelas, anakku …."
"Sama-sama sekolah kok, Bunda Monikku tercinta. Universitas ternama gak jadi patokan dia sukses, apa-apa juga ada dalam diri sendiri. Kulihat Hani di story instagramnya main mulutuh. Hambur-hamburin duit," balas Adrian juga dengan nada lembut yang sama. Lembut tapi tajam melebihi sembilu.
Kirani senang anaknya Adrian menyudutkan Monika, tapi dia juga takut kalau Adrian kena sembur oleh ayahnya yang wajahnya sudah memerah terlihat marah.
Apalagi Adrian menyepelakan Hani yang sangat dimanja oleh ayahnya.
"Berhenti! Kalian tiap hari cek cok terus, pusing kepala saya dengarnya."Jajaka Purwa menatap pada Adrian. "Adrian, sekolah yang bener! Jangan sirik ke saudaramu sendiri, biarkan Hani menikmati hidupnya di sana," katanya.
Jajaka Purwa terdengar memihak Hani dan itu membuat Adrian emosi dan langsung meninggalkan meja makan.
"Pilih kasih! Sudah biasa juga," ucap Adrian.
Bara pun juga ikut menguntit.
"Adrian! Bara!" panggil Kirani pada kedua anaknya tapi tidak didengar oleh mereka.
Monika semakin senang melihat drama yang terjadi, dia punya kepercayaan diri walaupun anaknya perempuan, Hani bisa dipercaya untuk mendapatkan kekuasaan suaminya.
***
Jajaka Purwa mengantarkan Asih ke sekolah sedangkan Bara sudah pergi terlebih dulu menggunakan motor besarnya agar dia tidak disuruh ayahnya untuk bersama Asih dan lagi pula memang Jajaka Purwa tidak akan mengizinkannya.