Jasad Nengsih diantar ke rumahnya.
Ani yang kini ditemani oleh Neneng dan Roni di rumahnya itu pun semakin syok melihat Jajaka Purwa dan Asih yang datang ke rumah mereka berikut para anak buah yang kini membawa jasad seseorang. Nengsih yang sudah meninggal masih belum diketahui oleh Ani.
Suaminya Asep juga kembali.
Asih langsung memeluk ibunya dan Ani menangis sambil mengelus-elus rambut Asih.
Suaminya—Asep tidak berani mendekati istrinya, dia terisak di luar rumah.
"Kamu tidak apa-apa, Asih?" tanya Ani.
Asih hanya menggelengkan kepalanya dan ia tidak henti-hentinya menangis.
"Siapa jenazas itu?" tanya Roni emosi.
Di melihat jenazah yang dibawa ke dalam.
Jajaka Purwa hanya tersenyum sinis dan dia menyuruh anak buahnya untuk memberikan Ani uang.
Dibukanya koper hitam yang berisi banyak uang dan dia ambil lima gepok dan ditaruhnya di dekat jasad Nengsih.
"Itu, buat mengurusi mayat perempuan yang tidak tahu diri ini," ucap Jajaka Purwa semakin membuat Ani, Neneng dan Roni tidak mengerti.
"Jasad siapa itu, Asih?" tanya Ani terlebih dahulu pada anaknya sambil memegang wajah Asih yang tidak berhenti menangis.
"Itu … Itu," balas Asih dengan isak tangisnya. Dia tak kuasa.
Roni kemudian memberanikan diri membuka kain yang menyelimuti seluruh jasad Neneng, dan semuanya semakin terkejut. Ani langsung tersungkur dan memeluk jasad anaknya.
"Nengsih, haaaa, anakku … Nengsih." Ani menjerit-jerit, semuanya semakin tak kuasa melihatnya.
"Innalillahi," lirih Neneng sangat syok melihat jasad Nengsih saat Roni membukanya.
Roni geram, dia mendekati si Tuan Tanah itu dan menunjuk-nunjuk wajahnya.
"Alloh tidak tidur, dia akan membalas semua perlakuanmu terhadap kami!" ucap Roni emosi, dan matanya pun sampai memerah menahan tangis.
Bibir Roni menggigil, dia sangat marah pada si Tuan Tanah itu dan Roni mengepalkan tangannya, berniat menonjok wajah Jajaka Purwa yang kini tidak tampak sama sekali rasa bersalah sedikit pun atas apa yang sudah dia perbuat sehingga menyebabkan Nengsih mati.
Namun, pukulannya tertahan oleh anak buah Jajaka Purwa yang lebih terampil dan kini justru membekuk tangan Roni ke belakang.
"Pahlawan kesiangan!" sindir Jajaka Purwa sembari memalingkan wajahnya dan melangkah mendekati Asih.
Roni terus berontak dan mengumpat pada si Tuan tanah.
"Lepaskan aku, dasar biadab! Lepaskan!" teriak Roni ingin melepaskan dirinya.
"Asih, kau tidak akan melanggar perjanjian kita, bukan?" tanya Jajaka Purwa sembari memegang dagu Asih dan menjamah bibir mungil miliknya.
Ani tidak terima itu dan menepis tangan kotor si Tuan Tanah dan langsung memeluk anaknya.
"Jauhi Asih! Tidak cukup apa bagimu? Hah? Nengsih sudah kau bunuh seperti ini," ucap Ani sangat was-was melihat sikap Jajaka Purwa yang sekarang justru seperti akan mengintai adik Nengsih.
"Hahahah." Jajaka Purwa tertawa. "Siapa yang membunuh Nengsih? Dia sendiri yang bunuh diri," jelas Jajaka Purwa.
Ani tidak percaya, hingga dia bertanya kebenarannya pada anaknya Asih.
"Asih, apakah dia benar?" tanya Ani pada Asih yang masih saja menangis.
Asih mengangguk, dia tidak bisa menjawab pertanyaan ibunya.
Tangan Asih gemetar dan terus memeluk Ani.
Neneng pun ikut ketakutan, dia sedari tadi berlindung di belakang Ani dan tidak mampu berucap sepatah kata pun.
Dari luar Ditto datang setelah dia membeli obat yang diantar oleh Ayah Neneng. Ditto tidak berkata apa-apa, tubuhnya kaku melihat wajah kakaknya yang sedang terbaring pucat pasi.
Dia juga melihat lelaki berbadan besar dan si Tuan Tanah yang sudah dia tahu lelaki itu adalah sosok Fir'aun di zaman modern yang seharusnya dibunuh.
Tapi Ditto hanyalah anak kecil, dia tidak mampu untuk melawan.
Ayah Neneng pun terkejut, dan hanya mematung di lawang pintu memegang pundak Asep.
Si Tuan Tanah, Jajaka Purwa kini berdiri, dia melemaskan lehernya seperti orang yang sudah menyelesaikan tugas sempurna dan malah sengaja menguap di depan mereka.
"Ayo kita pergi saja, Cup … Nang. Lepaskan si pahlawan tidak berguna itu!" ucapnya pada kedua anak buahnya bernama Ucup dan Anang, dan menyuruh mereka melepaskan cengkeraman mereka pada Roni.
"Siap, Pak Bos!" sahut keduanya dan langsung melepaskan Roni dengan kasar hingga Roni pun terjatuh.
Ayah Neneng sangat takut saat Jajaka Purwa melewatinya dan juga berdiri di ambang pintu, melihat Asih dan Ani lagi untuk menyampaikan pesan terakhirnya sebelum dirinya kembali ke istana megahnya itu.
"Jika kamu melanggar perjanjian dan berusaha kabur seperti kakakmu itu, aku sendiri yang akan habisi keluargamu, Asih. Kuharap kau mengerti," ucap Jajaka Purwa dan langsung pergi keluar, masuk ke dalam mobil mewahnya.
Asih semakin menangis dan memeluk ibunya. Neneng juga memeluk Asih. Ayah Neneng tidak bisa berkata apa-apa, Roni pun kini hanya bisa menunduk.
Ditto masih mematung kaku dan ayah Neneng memeluk anak lelaki itu.
Asep masih menyalahkan dirinya, sedari tadi dia hanya bisa diam dan menangis.
"Asih, ada perjanjian apa kamu dengan Juragan Purwa?" tanya Ani sembari menatap Asih lekat-lekat.
Anaknya--Asih sangat sulit untuk menjawab pertanyaan ibunya, ia masih menangis dan semakin memeluk erat Ani.
"Asih! jawab ibu Asih!" gertak Ani menginginkan jawaban dari anaknya, ketakutannya adalah jika Asih nanti berakhir seperti Nengsih.
"Aku," balas Asih dan langsung kembali menangis.
"Jawab, Asih!" bentak Ani lagi sembari memegang kedua pundak anaknya itu.
Asih pun menatap sang ibu. "Aku yang akan menjadi istri ketiganya, Bu …," jawab Asih semakin terisak.
Ani sungguh tidak percaya, begitupun dengan yang lainnya.
Roni kini juga sama, dia langsung berdiri … ingin sekali dia membebaskan Asih dari perjanjian itu.
Tapi dia hanyalah anak petani biasa yang tidak punya banyak harta untuk menyelamatkan perempuan yang sangat dia sukai.
"Asih, malang sekali nasib kalian Nak. Maafkan ibu. Ibu tidak berguna, ibu tidak berguna jadi seorang ibu untuk kalian," ucap Ani semakin histeris menyalahkan dirinya sendiri.
"Tidak, Ibu …. Tidak." Asih menolak pernyataan ibunya yang merendahkan dirinya sendiri.
Masa depan Asih, cita-cita Asih langsung pupus sudah.
Dia kini harus menjadi pengganti Nengsih demi untuk membebaskan ayahnya dan semua hutang keluarganya, Asih terpaksa ikhlas menerima takdirnya sendiri.
***
Beberapa bulan kemudian.
Asih kini sudah naik ke kelas XII SMA. Orang tuanya sangat senang karena Asih selalu juara dan mendapat penghargaan.
Kini Asih dan Neneng pulang dan membawa piagam penghargaan juara kelas. Asih juara 1 dan Neneng juara 3.
"Kami bangga pada kalian berdua," ucap Ani dan tersenyum pada suaminya Asep yang sudah dibebaskan.
"Iya, Bi Ani … kalian harus bangga pada Asih, dan kalian juga harus mendukungnya untuk kuliah karena dijamin Asih pasti dapet beasiswa," celetuk Neneng membuat semuanya justru terdiam.
Neneng tidak sadar bahwa Asih akan segera menikah dengan si Tuan Tanah itu yang umurnya sangat jauh dengan Asih.
Asih mengalihkan obrolan dan memberikan hadiah juara kelasnya pada Ditto, seperangkat alat tulis dan juga beberapa makanan.
"Ditto, ini buat kamu aja ya," ucap Asih sembari menyodorkannya pada adiknya.
Ditto tidak menjawab, dia jadi tidak banyak bicara setelah banyak kejadian di keluarganya yang membuat Ditto syok hebat, dan kata dokter dia menyimpan memori itu dan membuatnya trauma sampai Ditto pun kesulitan untuk berbicara dan bersosialisasi dengan orang di sekitarnnya.
Seharusnya Ditto berobat agar dia bisa kembali normal seperti biasa. Tapi keluarga Asih tidak punya biaya untuk membawa Ditto ke rumah sakit karena keluarga mereka juga tidak punya jamkesmas dari pemerintah.
Jangankan membawa Ditto berobat, untuk makan sehari-hari pun kurang.
Keluarga Asih sudah tidak punya lagi apa-apa, semua ladang perkebunan ayahnya dijual untuk tambah-tambah kehidupan sehari-hari mereka karena ayah Asih juga sudah tidak bisa mengolah lagi ladangnya seperti biasanya, kini dia hanya jadi buruh di ladang Jajaka Purwa (Si Tuan Tanah).
"Kalau gituh aku langsung pulang ya, Bi Ani, Mang Asep, Asih," ucap Neneng pamit, "dan Ditto juga, nih hadiah makananku untuk Ditto aja," tambah Neneng memberikannya pada Ditto.