Memberontak kandang singa agar singa itu keluar dan menghadapinya langsung.
BLETAKKK! BLETAK! BLETAK!
Asih melemparkan batu tiga kali ke gerbang yang terbuat dari besi itu hingga membuat satpam penjaga marah padanya dan membuka pintu satpam untuk mengusir Asih.
"Hey, kamu … anak sekolah. Pergi sana!" usir satpam penjaga sembari menunjuk-nunjuk Asih dengan pentongan satpam miliknya.
Tapi Asih tidak menggubris perintahnya dan tetap ngotot untuk masuk hingga dia menerobos pintu satpam. Namun dengan cepat satpam itu menarik tangan Asih.
"Lepaskan, Pak! Biarkan saya masuk, saya mau menemui Kakak dan Ayah saya," ucap Asih sembari melakukan perlawanan dan berusaha melepas cengkeraman tangan satpam yang memegang tangan kanannya.
Namun, sang satpam tentunya tidak mudah memberikan izin, dan dia justru membawa Asih pergi jauh dari gerbang beberapa meter dan kemudian melepaskan tangannya.
"Sudah, pergi kamu!" titah satpam penjaga dan dia langsung membalik badannya untuk kembali.
Setelah mengusir Asih, satpam berjalan pelan karena dia kira Asih akan pergi dan tidak meneruskan usahanya.
Tapi ternyata justru Asih tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan dan berlari secepat-cepatnya mendahului satpam bertubuh besar itu.
Secepat kilat, Asih mendahului satpam dan segera memburu pintu kecil di samping gerbang besar. Pintu yang hanya bisa dilewati satu orang.
"Maaf Pak, duluan," seru Asih setelah dia berhasil mendahului satpam penjaga yang ceroboh karena dia tidak tahu jika Asih masih bersikeras untuk masuk.
"Hey, kamu … jangan masuk! Saya bisa kena marah nanti," teriak satpam penjaga dari belakang.
Asih berhasil masuk, tapi dia tidak sempat mengunci pintu itu dan Asih secepat mungkin pergi ke arah yang bisa dia lalui.
Asih tidak memedulikan satpam penjaga yang masih berteriak mengejarnya.
Hingga Asih menubruk seseorang yang Asih taksir usianya lebih tua dari Asih, sekitar tiga puluh lima tahunan dan dia adalah Jajaka Purwa--si Tuan tanah.
Matanya menyorot Asih dengan tajam dan tangannya ditaruh ke belakang. Terlihat seperti Bos besar yang sangat sombong, pikir Asih.
PLAKKK!
Tamparan itu sangat keras hingga satpam penjaga yang berada di belakang Asih pun terkejut dan langsung membekuk Asih.
"Kurang ajar kau bocah tengik!" ucap si Tuan Tanah pada Asih yang telah menamparnya sangat keras hingga dia pun ingin membalas tamparan Asih.
Namun, anaknya yang melihat itu melarang tindakan tidak bermoralnya dan si Tuan Tanah pun tidak jadi mendaratkan tangannya ke pipi kuning langsat milik Asih yang kini mengerut refleks sembari terpejam untuk bersiap menerima tamparan balasan yang ternyata tidak terjadi.
"Jangan tampar dia!" ucap Bara pada ayahnya sembari melindungi Asih.
Bara sama sekali tidak mengenal Asih karena sejak kecil Bara tidak bergaul dengan lingkungan masyarakat dan sekolahnya pun di kota. Tapi Bara sangat tahu sebesar apa kuasa ayahnya di kampungnya.
Tapi kali ini, saat dia melihat seorang anak SMA seusianya … Bara juga tidak tega membiarkan perempuan itu terkena tamparan kasar seorang lelaki yang tidak lain adalah ayahnya sendiri.
Jajaka Purwa terdiam, matanya semakin menyorot pada Asih yang kini dada Asih tengah mendidih melihat sesosok Fir'aun di zaman se-Modern ini.
"Maaf Juragan, anak ini memaksa masuk. Saya akan bawa dia keluar," ucap satpam penjaga dan justru langsung mendapatkan tamparan keras dari si Tuan Tanah yang menganggapnya tidak bisa mengurusi seorang anak SMA seperti Asih.
Bara hanya diam melihat sikap ayahnya yang sangat anarkis itu.
"Tidak becus! Menjaga gerbang saja kau tidak bisa," ucap Jajaka Purwa setelah dia menampar anak buahnya dengan keras.
Asih pun semakin menatap dengan penuh benci pada lelaki yang telah membawa kakaknya dan memenjarakan ayahnya itu.
"Bebaskan ayah dan kakaku," ucap Asih lirih sembari menangis.
Bara melihat Asih dengan rasa iba tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Jajaka Purwa kini melihat Asih sekilas dan menatap putranya Bara.
"Pergilah! Ini bukan urusanmu," ucap si Tuan Tanah pada anaknya yang masih mematung menyaksikan dirinya yang sedang berhadapan dengan seorang rakyat kecil yang meminta keluarganya untuk dikembalikan.
Bara sadar, jika ibunya dari kejauhan melambaikan tangannya menyuruh Bara untuk pergi meninggalkan urusan ayahnya yang tidak berhubungan dengan dirinya.
Bara pun akhirnya menurut sembari sekilas melihat pada Asih yang sekarang dengan matanya yang sembab seperti memohon pertolongan padanya yang tadi telah berhasil membuat ayahnya tidak jadi menampar Asih.
Tanpa menjawab sang ayah, Bara pun langsung pergi.
Wajah Asih masih bisa tergambar di benak Bara, tapi dia terus berjalan tanpa menolehkan kepalanya untuk melihat Asih yang sedang butuh bantuan dirinya.
"Sekali lagi aku bilang … bebaskan Ayah dan Kakakku," teriak Asih semakin keras diikuti tangisnya yang memohon pembebasan ayah dan kakak satu-satunya itu yang ditahan oleh si Tuan Tanah yang tak punya hati, pikir Asih.
Si Tuan Tanah kemudian mencengkeram rahang Asih dan mendongakkannya agar bisa dia tatap dengan tatapan tajam berupa ancaman.
"Apa kau bisa membayar hutang Ayahmu yang sudah bertumpuk terlalu banyak?" tanya si Tuan Tanah dengan matanya yang tajam berpusat pada kedua mata Asih yang juga membara penuh dendam.
"Cuih!" Asih memuncratkan ludahnya pada wajah si Tuan Tanah yang langsung menghindar dan marah karenanya.
PLAKKKK!
Akhirnya tamparan keras juga mendarat di wajah Asih. Dari tangan si Tuan Tanah yang sangat kesal karena merasa direndahkan.
Satpam penjaga pun sangat terkejut dengan keberanian Asih yang menurutnya telah membuat peti matinya sendiri.
"Berani-beraninya kau," amuk Jajaka Purwa pada Asih yang kini masih menatapnya geram, "bawa dia!" titah Jajaka Purwa pada anak buahnya yang langsung menyeret Asih dengan paksa.
"Lepaskan aku!" teriak Asih sembari berusaha lepas dari cengkeraman kedua anak buah Jajaka Purwa itu yang menyeretnya dengan kasar.
Asih dibawa ke tempat di mana kini Ayahnya di penjara.
Kemudian, Jajaka Purwa menarik Asih dan mendorongnya hingga jatuh ke lantai. Asih tersungkur tepat di hadapan Ayahnya.
"Asih, kenapa kamu ke sini, Nak?" tanya ayah Asih—Asep dengan perasaan khawatir karena anaknya terlalu berani melangkahkan kakinya ke tempat yang sudah mirip dengan neraka ini.
Asih kemudian berdiri dan saling berdahapan dengan ayahnya tapi terhalang dengan jeruji besi.
"Ayah, apa Ayah tidak kenapa-kenapa?" Asih mempertanyakan keadaan ayahnya yang nampak kurus kering dan terlihat kantung matanya yang menghitam.
Tangis keduanya pecah, dan sungguh membuat Jajaka Purwa sangat muak melihatnya.
"Ayah baik-baik saja Asih, lebih baik kamu pergi saja," ucap Asep pada anaknya yang kini terus menangis di hadapannya sembari memegang erat jeruji besi.
"Apa kamu juga ingin masuk ke penjara? Jika iya, saya dengan senang hati memasukkan kamu dengan Ayahmu," ucap Jajaka Purwa sembari tersenyum sinis.
Asih kemudian membalik badannya dan mendekati Jajaka Purwa tanpa rasa takut sekali pun.
Telunjuknya kemudian menunjuk pada wajah si Tuan Tanah yang sekarang dengan bangga menampakkan kesombongan kuasanya.