"Jadi, bagaimana menurutmu?" Wildy menatap Honey yang sedang memikirkan sesuatu.
"Tentang apa?" Honey sendiri sedang berusaha menyelesaikan kegelisahannya setelah mengetahui sesuatu tentang Lion. Apakah seseorang mungkin berhubungan dengannya pula? seperti bagaimana Lion dengan Wildy?
"Honey, jangan pikir kalau aku tidak tahu. Kamu sedang gelisah, 'kan?" Wildy mengatakan demikian berulang kali dalam beberapa hari terakhir. Namun, Honey tetap enggan menjawab. Mungkin, ia memang membutuhkan waktu untuk berdiam diri. Tetapi, sebenarnya, ia berdiam untuk apa?"
"Kamu kenapa, deh? kenapa jadi diem?" Wildy mengungkapkan protes sambil menepuk bahu sahabatnya. "Aku nggak mungkin nggak tahu kalau kamu sedang memikirkan aku. Aku baik-baik saja, kamu bisa menenangkan diri." Apapun yang keluar dari mulut Wildy, tetap saja tidak membuat Honey merasa lebih baik.
Kegelisahannya tetap berada pada posisi yang sama, takaran yang belum berubah. Namun, karena semakin lama semakin membuncah, ia harus segera mengeluarkan segala keganjalan yang ada di dalam benaknya. "Wildy, kamu merasa aneh nggak sih?
"Aneh?" Wildy menoleh dengan malas ke arah Honey yang menatapnya serius, "kamu dari kemarin pun menanyakan hal yang sama."
"Bukan--ini memang aneh. Kenapa wujud kita sama dengan manusia?" pertanyaan yang sedari tadi menggelembung itu akhirnya pecah juga. Walaupun belum menemukan penjelasan bahkan jawaban, berbagi kebingungannya kepada sang sahabat cukup membuatnya merasa lebih baik.
"Kamu dari kemarin juga ngomongin ini. Terus kenapa? kita ini nggak berwujud. Berwujud itu berarti dapat dipegang dan dilihat satu sama lain. Mereka nggak bisa lihat kita, tetapi kita bisa melihat mereka," ungkap Wildy dengan jelas.
Honey menghentikan langkahnya tiba-tiba. Memandang Wildy yang sepertinya masih belum nyambung dengannya itu sungguh menyebalkan. "Wild, bukankah kamu tadi sependapat denganku masalah keanehan ini?"
"Apa? aku?" pandangan Wildy mengitari sekitar, seolah ia tidak pernah mengatakan hal yang seperti dituduhkan. "Aku nggak merasa seperti itu. Bukannya, kamu yang curiga dengan King karena seseorang yang bernama binatang itu?"
"Binatang? maksudmu--" hampir saja Honey menyebutkan nama yang terlarang untuk sementara ini. "Wild, kita perlu mencari tahu."
"Mencari tahu apa lagi? tidak bisakah hidup kita tenang untuk sejenak?"
"Kita memangnya hidup dengan tenang? kita tidak merasakan hal itu," kata Honey, "bahkan, apakah kita ini hidup?"
Wildy terdiam sejenak. Pertanyaan yang datang dari Honey sungguh membuat Wildy tak mampu berkata apa-apa. "Apa maksudmu?"
"Bukankah kehidupan hanya untuk manusia?" Honey bertanya dengan tatapan yang penuh selidik, "bukankah begitu Wild?"
Wildy terdengar menghembuskan napasnya dengan kencang, seperti meniup udara dengan mulutnya. "Kenapa sekarang kamu senang sekali menanyakan hal yang bukan tentang kita, Hon? kenapa?"
"Aku merasa bahwa kita harus memahami tentang diri kita. Dan, terkadang, aku merasa kurang klik dengan omongan dari King."
Wildy memegang tangan Honey. "Bagaimana kalau kita tanya ke bangsa peri?"
"Bangsa peri?"
"Ya, mereka adalah penjaga sama seperti kita. Ada dua penjaga di bumi, para Jiwa dan Peri."
"Bagaimana kita ke sana?" tanya Honey yang merasakan kembali kebuntuan.
"Aku antar. Tapi, coba tanyakan sesuatu dulu kepada dirimu sendiri. Apakah kamu akan baik-baik saja setelah mengetahui apa yang akan dikatakan oleh bangsa peri?" tanya Wildy dengan ekspresi serius.
Ekspresi itu justru membuat Honey bimbang. Tidak biasanya sahabatnya itu berekspresi seperti itu. "Kamu ngomong begitu, seakan-akan merasa bahwa kamu tahu sesuatu. Apakah itu hal yang buruk? atau seperti apa?"
Wildy menggeleng. "Aku pun nggak tahu. Tapi, sepertinya bangsa peri tidak terlalu suka dengan para Jiwa. Mereka sering bertengkar, itulah mengapa para tumbuhan dan pohon yang besar bukan menjadi tanggung jawab kita."
"Sungguh?" Honey melongo, "kamu sepertinya tahu banyak tentang Peri."
"Aku merasa, aku pernah memahami hal yang seperti itu." Wildy merasa kikuk setelah menjelaskan tentang peri kepada Honey. "Bagaimana?"
"Aku--aku harus seperti apa? apakah aku harus izin dulu dengan King? kamu tahu 'kan, itu tidak mungkin terjadi."
Wildy menggigit bibirnya. Namun, ingatan yang lain mendadak muncul. "Sepertinya, kita harus pergi ke suatu tempat. Entah, aku merasa ada bayangan yang tiba-tiba muncul."
Honey mengamati Wildy yang berpikir keras. Perasaannya menjadi lebih bimbang daripada sebelumnya. Melihat bagaimana Wildy mencari kembali ingatannya, Honey menuai sebuah pertanyaan, apakah ia tidak egois memaksakan hal ini kepadanya?
"Wild, kalau kamu nggak oke, aku nggak apa-apa." Honey memegang lengan Wildy yang terasa bergetar. "Aku nggak akan penasaran lagi."
"Bukan, bukan itu. Aku merasa kalau jiwa itu, ya jiwa yang sedari tadi kita sebutkan namanya itu." Wildy mendadak terdiam kembali, seakan-akan sedang menata apa yang sedang terpecah di dalam ingatannya. "Aku perlu sesuatu yang dapat membuatku merasa tenang."
"Wild? kamu nggak apa-apa? sepertinya, kamu sedang merasakan sesuatu?" Honey merasa bahwa Wildy berada dalam fase yang bingung. Kegundahan itu sangat tampak dari tatapan Wildy yang kosong.
"Entahlah, tapi—mungkin aku harus sependapat denganmu. Aku sering merasa bahwa ada jiwa lain yang bernama 'itu', tetapi sepertinya para Jiwa yang masih ada di sini tidak mengetahui hal itu. Bahkan, mereka merasa bahwa aku yang sedang berhalusinasi." Wildy menatap Honey meminta penjelasan. "Bagaimana menurutmu?"
Honey kini merasa heran. Sejak awal, ia sudah merasa harus memutuskan kebingungan yang ada di dalam benaknya tentang siapa dirinya saat ini. Apa itu jiwa, dan banyak mengapa yang harus terjawab secepatnya. Segala mengapa yang mungkin muncul, semakin lama semakin mencekik Honey.
Namun, Wildy berbeda. Beberapa kali ia berubah sikap. Semula ia merasa pikiran Honey adalah omong kosong, kemudian mendadak berubah untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka.
Apa itu Jiwa?
Mengapa mereka memiliki rupa yang sama dengan manusia?
Honey menunduk. Ingatakan kembali menampilan momen pertemuan dengan manusia penakut itu. "Wild, kamu yakin?"
"Yakin?" Wildy memang masih menampilkan keraguan yang tak bisa dibantah dari tatapan matanya, tetapi di sisi lain terlihat ada keinginan lain yang mungkin berbeda dengan apa yang ditampakkan saat ini. "Aku ragu, tapi. Beberapa hari ini aku merasa seseorang mendatangiku. Entah, itu perasaan atau bagaimana. Yang jelas, aku merasa bahwa 'dia' selalu ada di sini. Tetapi, kenapa Jiwa lain tidak melihatnya?"
"Sudah? Kamu yakin?"
"Ya, aku yakin."
"Tapi, kamu masih terlihat tidak yakin." Honey mengamati dengan teliti ekspresi yang ada pada wajah Wildy yang sedikit berbeda beberapa menit terakhir. "Aku yakin kamu ragu. Ayo kita kembali ke tempat kita."
"Honey!" Wildy memegang tangan Honey. "Bukan hanya aku saja yang ragu, bukan? Kamu pun seperti itu."
Honey membeku, tak mampu mengatakan apa-apa dengan kebenaran yang terungkap dari mulut Wildy. "Kalau kamu ragu, ayo memberanikan diri. Kita akan menghadapi sesuatu yang tidak pernah kita tahu sebelumnya. Dan tentu saja, itu pasti menakutkan di awal."
Honey melepaskan genggaman tangan itu. Ia yang semula merasa yakin, mendadak terdiam karena merasa tak mampu untuk menjelaskan perasaannya sendiri.
"Ya, aku juga ragu, sekaligus takut. Tapi—bagaimana jika akan terjadi sesuatu dengan kita?" Honey menambahkan dengan suara yang sendu. "Aku takut, di sisi lain juga sangat penasaran. Apalagi, aku sering bertemu dengan manusia yang sama beberapa kali."
Tiba-tiba, hanya ada keheningan di antara mereka. "Sebentar, jadi—kamu beberapa kali bertemu dengan manusia itu? dan itulah kenapa kamu berada di atas bukit di mana King sering ke sana?" tanya Wildy.
Honey mengangguk. "Ada apa dengan kita? Kenapa kita menjadi tidak menyambung satu sama lain?"
"GAWAT!" kata Wildy dengan menggigit bibir.
"Apanya yang gawat?" Honey mulai merasa panik dengan sikap Wildy yang lebih aneh lagi.