"Menurutmu, kenapa detektif Rod tiba-tiba datang, kemudian pergi begitu saja?"
Pertanyaan ini sebenarnya telah bergelantungan di kepala Rayn meskipun Rod telah menghilang dari hadapannya beberapa jam yang lalu.
"Apakah aku ternyata tidak cukup terbukti melakukan atau berhubungan dengan wanita itu? bisa saja, 'kan? Dia merasa salah sangka, sehingga dia langsung meninggalkan aku?"
Rayn membuat beberapa prasangka tentang bagaimana sikap Detektif Rod kepadanya. Namun, beberapa hal yang ada di kepalanya ini, sungguh menyiksa dan menghabiskan energi.
"Astaga, aku lapar sekali. Memikirkan ini saja, aku sudah sangat lelah. Bagaimana para detektif itu bisa hidup dengan memikirkan banyak kemungkinan tentang kejahatan orang lain?" ungkap Rayn, tentu saja kepada dirinya sendiri. Di dalam apartemen yang hanya berukuran puluham meter pesegi itu, ia benar-benar menikmati kesendiriannya.
"Setelah aku makan, aku akan menelepon Pak Albert. Ya ampun, aku sampai lupa harus menelepon orang itu." Rayn memandang ponselnya yang tergeletak di atas meja yang berada di dekat pintu. "Ya, aku akan meneleponnya."
Albert, pengacara itu, sungguh membuatnya merasa kesal. Lelaki yang suka dengan kerapian itu sangat mengingatkan Rayn dengan ayahnya. Entah, mengapa dua orang yang berbeda itu bisa saling dekat. Ayahnya dan Albert tidaklah cocok satu sama lain.
Rayn sudah pernah memikirkan hal ini, dan tidak ingin melakukan apapun untuk membuktikan betapa mereka berdua seharusnya tidak dekat. Ia sempat menduga bahwa Albert hanya dimanfaatkan oleh sang ayah untuk melindungi perusahaannya. Namun, pertemuan terakhir Rayn dengan Albert mematahkan persepsi itu. Mereka berdua benar-benar berteman. Dan, Rayn masih enggan menganggap bahwa Albert adalah teman sekaligus sahabat ayahnya.
"Tapi, mana mungkin mereka dekat? ayahku sangat senang dengan kesendirian, berbeda dengan Pak Albert yang suka sekali dengan kerumunan dan popularitas." Rayn duduk kembali ke sofanya. "Astaga, aku benar-benar tidak fokus. Apa yang harus aku lakukan sekarang? kenapa aku pulang, justru membuat banyak masalah?"
Rayn menggeleng, merevisi ucapannya yang baru saja keluar dari mulutnya. "Nggak. aku nggak bikin masalah. Untuk apa aku bikin masalah? Sampai bawa nyawa ayah? Nggak lah!"
Rayn membuang napasnya. "Aku benar-benar butuh makan. Ya, aku harus makan."
Memikirkan semua yang terjadi di hidupnya beberapa hari ini membutuhkan tenaga yang ekstra. Makanan adalah teman yang nyaman untuk saat ini bagi Rayn. Ia sudah lama tidak makan dengan masakan negeri sendiri. Tentu saja, lidahnya merindu. Namun, jika kerinduan itu berdatangan dengan ingatan akan kejadian terakhir yang dialaminya. Rindu itu menjadi tidak berarti.
Rayn menutup pintu apartemennya, kemudian berjalan menuju lift yang ada di ujung seberang. Jalannya sedikit santai, ia memang tidak ingin merasa tergesa-gesa. Sudah banyak hal yang mendesaknya, ia tidak ingin makan pun menjadi tidak nikmat karena hal itu.
Ia masuk lift yang terbuka kemudian melihat dua anak kecil yang sedang bermain. Mereka hanya berdua, tidak dengan orang dewasa di sampingnya. Melihat bahwa mereka berdua sedikit bercahaya putih, Rayn menggelengkan kepalanya.
"Ya ampun, hantu apa lagi ini?" Ia menutup mata, bahkan membelakangi mereka berdua. Dua anak itu, yang disebut sebagai hantu oleh Rayn, juga tidak peduli dengan keberadaan Rayn di tempat yang sama. Setelah pintu itu terbuka, dua hantu itu mungkin keluar dari lift.
Rayn menghela napas. "Ada apa dengan hidupku?" katanya meringis dan merasa takut. "Aku Cuma mau cari makan, kenapa aku harus bertemu dua hantu anak kecil?" ia membuka matanya perlahan, dua anak itu memang sudah tidak ada di belakangnya. Namun, ada di hadapannya.
"HAH!" Rayn terkejut, tetapi dua anak itu tidak merasa terkejut seperti Rayn. Padahal, mereka berdua menatap Rayn dari jarak sekitar lima langkah.
Rayn melongo. Ia merasa terjebak dan ingin kembali ke apartemennya saja. Namun, lift sudah menutup dan naik ke atas. "Sial!" ia hanya mampu mengumpat dengan hal itu.
Hari memang hendak berganti langit, yang semula cerah dengan matahari kini hanya akan disinari oleh rembulan. Mungkinkah karena matahari yang akan pergi, membuat Rayn dapat melihat makhluk yang bukan manusia?
Rayn berusaha bersikap biasa saja, tetapi dua anak itu masih menatapnya. Meskipun mereka tidak melakukan apa-apa, tetap saja bagi lelaki berusia akhir tiga puluhan itu merasa takut.
Setelah melewati dua anak yang memandangnya tajam, Rayn merasa sedikit lega. Ia berada di tempat yang lebih jauh. Ketika Rayn membalikkan badan untuk memeriksa dua anak itu, ia tidak menemukannya. "Loh, ke mana mereka?" Rayn bersiap jika tiba-tiba mereka telah ada di depannya. Sayangnya, itu tidak terjadi.
"Mereka menghilang?" katanya kemudian mengelus dada. "Ya sudah, untung saja. Aku lapar sekali, ya ampun!" ia pun berjalan menuju restoran cepat saji yang menyediakan kopi di sana. Sambil menunggu pesanannya selesai dibuat, ia terdiam untuk merenungkan sesuatu.
"Pak Albert bilang, aku tidak boleh mudah percaya dengan orang lain. Apakah aku harus percaya dengan omongannya?"
Ya, segala macam yang terjadi saat ini memang tidak masuk akal oleh Rayn. Semuanya berhasil membuat Rayn tidak dapat berpikir secara logis, sehingga rasanya ingin melakukan sesuatu dengan terburu-buru.
Ia ingin melepaskan RetroZ, perusahaan yang telah membuat keluarganya hancur. Namun, ia masih ragu. Apakah semua ini sepadan?
"Pesanan dua puluh lima sudah siap!" pelayan yang berada di balik meja kasir berteriak demikian.
Rayn yang merasa bahwa memiliki antrean dengan nomor itu, langsung datang dan mengambil pesanannya. "Terima kasih."
Ia bergerak keluar dari restoran itu sambil memikirkan tentang kehidupannya. Ia mulai sadar, hidupnya tidak lagi sama dengan beberapa hari yang lalu ketika masih di Swiss. Sudah sangat berbeda.
"Ya, semua ini berubah. Semuanya tidak lagi sama."
Setiap langkah yang diciptakan oleh Rayn membuatnya mulai membuka hati dan pikiran dengan lebih lapang. Ia sadar bahwa selama ini dirinya tak menerima apa yang telah terjadi. Kematian sang ayah, meskipun mereka berdua tidak dekat, tetap saja menyisakan luka yang cukup dalam. Keheningan di dalam hatinya tetap membuatnya tak lagi ingin melakukan sesuatu yang berhubungan dengan RetroZ.
"Aku tidak yakin, apakah aku bisa melakukan ini, ayah?" gumamnya sambil menekan tombol lift yang ada di depannya.
Rayn tahu, selama ini ayahnya selalu mengatakan bahwa hanya dirinya yang mampu mengembangkan RetroZ. Walaupun Rayn sendiri merasa ragu, ayahnya tetap yakin walaupun mereka berdua sering bertengkar akan hal yang terdengar sepele. Sedangkan Rayn, ia merasa bahwa Jenni lah yang paling pantas untuk memimpin RetroZ, bukan dirinya.
Seluruh keahlian kepemimpinan telah didapat oleh Jenni, bahkan bersetifikat. Rayn ragu apakah memilih dirinya untuk memimpin RetroZ adalah ego sang ayah saja. Tapi, ia juga tahu, ayahnya senang dengan hal yang pasti dan meyakinkan.
Rayn tahu, Jenni adalah hal yang pasti dan meyakinkan. David juga sayang dengan Jenni, bahkan sering dibandingkan dengan Rayn. Lalu, apakah ada sesuatu yang pasti dan meyakinkan sehingga David tidak rela Jenni memimpin?
Langkah Rayn benar-benar tidak terangkat meskipun pintu lift terbuka. "Ya, kenapa aku baru memikirkan sekarang? memikirkan ini?"
Ia langsung berlari menuju apartemennya untuk segera menelepon Albert.