Masuk ke dalam lift ternyata membuat Rayn teringat kembali dengan dua anak kecil itu. "Ya ampun!" ia menepuk jidatnya. Karena tidak terlalu fokus, ia bahkan belum menekan tombol lantai yang akan dituju.
"Ada apa denganku? Kenapa aku benar-benar bisa melihat makhluk tak kasat mata seperti itu?" pikirannya menjadi kacau, terlebih jika mengingat kembali bahwa dirinya kini memiliki tanggung jawab atas perusahaan besar.
Dan, jika ia tidak dapat memberikan performa yang baik sebagai pemimpin, akan banyak kepala keluarga yang tidak dapat memberikan makan untuk orang-orang di rumahnya.
"Memikirkan hal itu saja sudah membuatku gila!" Rayn marah, kesal, kecewa, dan apapun yang sungguh membuat perasaannya menjadi buruk. Ia semakin membenci dirinya yang tak bisa hidup normal seperti orang lain. "Apa salahnya aku hanya belajar di usiaku yang masih dua puluhan ini?"
Mimpi itu terasa tidak memiliki hak untuk tetap ada di benak.
Rayn menggelengkan kepala, heran dengan kehidupannya yang berubah drastis. Beberapa kali pula ia memikirkan ini, hanya memikirkan, tetapi tidak membuat sebuah keputusan agar perasaannya menjadi lebih baik. Ia menikmati semua itu, entah menikmati atau enggan berpindah menuju sebuah perubahan.
Pintu lift terbuka dan Rayn masih membeku di dalam. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian pandangannya mengitari seluruh ruangan yang dapat dijangkau oleh kedua matanya. "Sepertinya aman." Kakinya melangkah dengan sedikit perasaan takut, bayangan yang ada di dalam kepalanya tentang hantu memang berbeda dengan kenyataan. Hal itu tetap tak membuatnya merasa berani menghadapi makhluk tak kasat mata yang kini dapat ditangkap oleh penglihatannya.
"Aku bisa gila hidup seperti ini." Rayn mengumpat, kesal dan segala perasaannya saat ini sungguh membuat dirinya menjadi sangat buruk. Untung saja aroma ayam goreng yang dibelinya baru saja sungguh menggugah. Walaupun dalam kantong makanan, aromanya cukup mampu menyeruak dan mampir ke hidung Rayn.
"Aku lapar. Sudah, aku akan makan." Rayn masuk ke dalam apartemen, meski ketakutan masih menderanya. Ia mendadak merasa rindu dengan suasana apartemen Adam yang hangat dan nyaman. Apartemen yang di hadapannya kini tidak sama, sepi dan menyedihkan.
Rayn melepas kaos hitam yang dipakainya itu. Udara yang tidak terlalu sejuk memunculkan bulir keringat di atas sisi kulitnya. Ia merasa gerah. Negara ini benar-benar panas, sangat panas. Rayn ingin kembali ke Eropa. Namun, apakah itu mungkin?
Memikirkan kemungkinan itu hanya akan menambah kesedihan. Cepat-cepat ia menyandarkan diri ke kursi dan menikmati udara yang tetap panas meskipun kulit tak lagi terhalang oleh kain.
Ponselnya berdering, lebih tepatnya getaran ponselnya yang memunculkan suara sehingga seperti berdering. Rayn menoleh sejenak ke arah ponsel yang baru saja diletakkannya itu. Ia mengamati nama yang mungkin tertera, dan ternyata sesuai dugaannya. "Aku akan menghubungi Pak Albert nanti saja. Setelah aku cukup makan, dan cukup berpikir."
Albert baru saja menghubungi Rayn. Namun, Rayn enggan untuk menjawabnya. Rasa lapar yang saat ini menderu sungguh membuat lelaki itu tak ingin melakukan apapun selain menghabiskan makanan. Setelah makanan itu habis, Rayn menyandarkan diri.
"Baik, aku harus benar-benar berpikir sekarang. Karena, aku harus melakukan sesuatu dengan warisan yang telah ditinggalkan oleh ayahku."
Rayn memejamkan mata, entah karena lelah atau kekenyangan. Dua hal itu terasa mirip, mungkin dia merasakan keduanya.
"Bagaimana kalau aku tidak bisa melakukan itu, ya—itu?"
Rayn membuang napas, membiarkan dirinya setidaknya tidak buru-buru membuat keputusan. Selama ini, ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Berpikir tentang dirinya, maka semua risiko hanya akan menimpanya, bukan orang lain.
Namun, jika masalah perusahaan, apakah Rayn hendak melakukan hal yang sama?
"Jenni, apakah kamu menyembunyikan sesuatu?" Rayn membuka mata. Tak ada yang berbeda dengan suasana di ruangan itu. Tetap sepi dan menyedihkan. Ia membayangkan kembali. Berada di dalam dunia bayangan lebih menyenangkan daripada menghadapi kenyataan saat ini.
Kebingungan memang sangat berhasil untuk melumpuhkan Rayn.
"Bagaimana? Apakah aku harus melakukan sesuatu yang cukup ekstrem? Apakah aku harus mengubah diriku?"
Perusahaan bukanlah diri Rayn. Berjualan bukanlah bagian dari diri Rayn. Ia menyadari hal itu. Entah, ia menyadari itu berarti benar-benar sadar atau berusaha menghindar dari kejaran tuntutan David.
"Tapi, aku memang harus berbincang dengan Pak Albert, 'kan? Karena aku harus mencari kemungkinan yang akan terjadi dengan kasus apartemen paradisa ini." Rayn mengangguk. Kali ini gagasannya terdengar logis.
Ia mengambil ponsel yang masih belum berubah posisinya. Beberapa nomor ditekan untuk mencari nomor ponsel dari Albert. Setelah tersambung, Rayn menempelkan ponselnya ke telinga.
"Pak Albert? Ini Rayn."
"Ya, Rayn. Saya baru saja telepon kamu," katanya dari seberang.
"Saya tadi sedang makan, maaf." Rayn meminta maaf, meskipun sebenarnya dia tidak merasa bersalah.
"Tak apa, kamu butuh makan dengan benar untuk akhir-akhir ini."
"Terima kasih."
"Saya harus mengatakan kepadamu tentang pelantikan ketua. Bagaimana? Apakah kamu sudah siap?"
Rayn terdiam. Astaga, ia bahkan tidak sanggup memikirkan dengan benar walaupun bayangan tentang RetroZ selalu mampir ke dalam kepalanya.
"Rayn, kamu di sana?"
"Ya, saya masih di sini."
"Bagus, bagaimana menurutmu?" tanya Albert dengan nada yang santai.
"Kapan akan diadakan?"
"Apakah kamu setuju?"
"Saya belum sepenuhnya memikirkan itu, Pak Albert. Ada sesuatu yang sedang—menurut saya—lebih urjen."
Suara hembusan napas Albert terdengar meskipun dari speaker telepon. "Apa itu, Rayn? Apakah kamu memperkosa seorang wanita?"
Kedua alis Rayn berkernyit. Apapun yang terjadi, tidak ada pikiran untuk menyetubuhi wanita sekarang. Lagipula, untuk apa? Itu pasti akan menjadi masalah, baik sekarang maupun masa depan.
"Rayn? Kau di sana? Apakah benar dugaanku?"
Rayn menggeleng, tetapi ketidaksetujuannya belum terdengar oleh Albert. "Nggak, Pak! Mana mungkin saya melakukan hal itu di saat masih berkabung seperti ini?"
"Syukurlah, bagaimana pun, jangan lakukan itu!"
"Ya, pak. Saya tahu. Jadi, sesuatu sedang terjadi di apartemen ayah."
"Apartemen?" Albert dan Rayn sama-sama terdiam. Rayn menunggu, mungkin saja Albert belum menyelesaikan kalimatnya. Sedangkan Albert, ia berusaha mengingat aset David mana yang tidak diketahuinya.
"Apartemen Paradisa?" tanya Albert yang kini sedang memastikan.
"Ya, apartemen itu."
"Bagaimana bisa kamu tahu tentang apartemen itu?" Albert penasaran.
"Pak Bara, Sopir ayah yang dulu, dan dia mengantarkanku ke sini."
Albert membuang napasnya hingga terdengar meniup ponselnya. "Ya, aku sepertinya belum menceritakan tentang hal itu. Ya, 'kan?"
"Ya. Ada sesuatu yang terjadi di sini."
"Apa?"
"Seseorang terbunuh di dekat apartemen ayah."
"APA?" Albert setengah berteriak. "Apa kau yang melakukannya?"
"Tentu saja tidak, Pak! Bagaimana bisa saya melakukan hal itu?"
"Baik, besok kamu ke kantorku. Aku ingin mendengar semua kronologinya!"
Rayn terdiam, enggan menjawab karena merasakan sesuatu yang mengganggu saat ini.
"Rayn?" Albert memanggil, "apakah kamu baik-baik saja?"
Tidak, aku tidak baik-baik saja. Bagaimana mungkin aku baik-baik saja?
"Dengar, kau mungkin sedang berduka dan belum menyelesaikan. Aku turut bersedih dengan dirimu yang harus menghadapi hal ini. Mari kita selesaikan bersama-sama." Albert berkata dengan nada kebapakan.
"Baik, Pak."
"Sampai ketemu besok."