Chereads / Me and Your Soul / Chapter 27 - Chapter 27 – Mereka yang Seharusnya Ada

Chapter 27 - Chapter 27 – Mereka yang Seharusnya Ada

Rayn bersandar kembali. Setelah menelepon Albert, ia merasa lebih baik. Namun, hal itu tidak serta merta membuatnya dapat terhindar dari kecemasan yang saat ini menderanya.

Pandangannya kabur. Kepala Rayn tiba-tiba terasa pusing. Namun, ia tidak ingin merasakan hal itu saat ini. Ia ingin menyelesaikan apa yang ada di hadapannya, masalah yang diwariskan oleh David kepada dirinya.

"Ah!" teriaknya, kemudian melempar bantal yang ada di sofa. "Aku ke sini untuk menenangkan diri. Kenapa malah mendapatkan masalah pelik? Sialan!"

Ya, Rayn memang kesal. Bahkan, mungkin sangat kesal. Perasaan kesal yang mungkin hanya bisa dihentikan dengan kabur. Walaupun mungkin ia dapat melarikan diri, perasaan bersalah dan takut akan tetap menyertainya.

Ia melemparkan diri di atas sofa yang kini tidak berbantal. Sofa berwara abu-abu yang seharusnya nikmat untuk menemani saat menonton TV hanya menjadi pelampiasan dirinya. Pelampiasan akan ketakutan sekaligus kebingungan. Dua hal itu sungguh membuat kepalanya terasa berputar sangat kencang.

Rayn melempar ponsel ke sofa agak letaknya tidak jauh darinya. Kali ini, ia merasa tidak nyaman dengan situasi yang ada. Meskipun memang dari awal perasaan tidak nyaman itu ada, bahkan saat ia pulang kemari, tetapi perasaan ini sungguh menyiksannya. Bukan karena kehilangan ayah, tetapi nyawa yang hilang di depan kedua mata sungguh menyisakan ingat traumatis bagi Rayn.

Tak ada seorang pun yang dapat menjadi sandarannya sekarang. Bahkan, di saat dirinya seperti ini. Keluarganya memang tidak banyak. Ia bahkan hanya memiliki satu paman, Samuel, yang juga ayah dari Jenni. Seharusnya, Jenni menemaninya sekarang. Entah, mengapa wanita itu tidak membantunya di saat seperti ini.

"Apakah sesuatu terjadi padanya?"

Rayn menggeleng. Seharusnya, tidak ada yang terjadi dengan keluarga sang paman. Meskipun Samuel tidak dekat dengan David, mereka berdua terlihat saling menghormati dan tidak ikut campur dalam masalah satu sama lain. Bahkan, masalah pemakaman pun, mereka terlihat seperti orang asing. Hanya Rayn dan Jenni yang sedikit lebih akrab.

"Tapi, kenapa Jenni tidak meneleponku? Apakah di sesibuk itu?" ungkap Rayn sedih. "Atau, Jenni harus melakukan banyak hal untuk menangani perusahaan ayah?"

Rayn mengangguk. Perkiraan yang baru saja muncul membuatnya merasa itu adalah hal yang masuk akal. "Ya, mungkin dia memang seperti itu—" Rayn bangkit dari sandarannya, "tapi, kenapa dia bahkan tidak meneleponku? Ada kasus yang menyeretku, bukan? Jenni tidak mencemaskanku?"

Rayn memutar kedua bola matanya. Menganggap bahwa Jenni satu-satunya orang yang bisa dipercaya saat ini terasa meragukan. Rayn memang curiga, tapi, Jenni? Rasanya tidak adil jika harus meragukan wanita yang lebih muda itu. Jennilah yang sering mendukungnya dalam melakukan penelitian ketika masih di Eropa.

"Kenapa aku tidak menelepon Jenni? Bukankah dengan begini, aku akan mendapatkan jawabanku?"

Rayn mungkin lupa bahwa beberapa saat yang lalu, ia meragukan kehadiran Jenni yang tulus. Lagipula, Jenni memang tidak hadir si ini. Namun, Rayn merasa tidak menyesal sikapnya sekarang. Jenni memang lebih muda darinya secara usia, tetapi lebih bisa mengayomi Rayn yang tidak dekat dengan keluarganya.

"Jenni—apakah dia mengincar RetroZ? Bukankah dia sudah memiliki perusahaan sendiri?" Rayn meringis, "rasanya, ini konyol. Aku mencurigai keluarga yang mendukungku? Ini nggak logis, Rayn!"

Rayn pun mengambil ponselnya, memanggil Jenni dari ponselnya. Namun, seseorang menelepon lebih dahulu.

"Siapa ini?" Rayn merasa tidak mengenal orang yang meneleponnya saat ini. Nomor yang muncul tidak bernama. "Siapa? Siapa ini?"

Ia menelan ludah. "Halo?"

"Rayn?" suara perempuan terdengar manis dari seberang. "Ini aku, Andrea."

Seketika, semua ketakutan yang ada di dalam hati Rayn, sirna seutuhnya.

**

"Wildy!" panggil Honey pada kawannya yang tertidur di bawah pohon. Tertidur dalam waktu yang lama, membuat Honey merasa sangat cemas.

"Wildy!" pangilnya lagi, kali ini Honey tidak akan tinggal diam. Tidak lagi menggunakan kata-kata, ia menggoyangkan tubuh Wildy dengan kencang. "Wildy! Kenapa kamu nggak bangun-bangun sih?"

Apa yang terjadi? mengapa Wildy tidak bangun-bangun?

Wildy memang terdiam, bahkan matanya masih tertutup. Guncangan yang diberikan oleh Honey kepadanya tetap membuatnya tidak bergeming. Honey mulai cemas, apakah sahabatnya ini akan menghilang? Apakah Wildy adalah Jiwa yang akan dijemput?

Honey tidak dapat membayangkan hal itu terjadi. Ia tetap berusaha membangunkan Wildy yang tidak dapat merespon sama sekali itu. "WILDY!"

Tetap, tak ada respon. Honey ingin menangis, tetapi enggan untuk meneruskan. Dadanya terasa sesak. Jantungnya mungkin terasa berdegup, meskipun dirinya tidak memiliki wujud yang dapat disentuh seperti manusia pada umumnya.

Rasa takut itu nyata, Honey menghela napas. Suara hembusan yang terdengar dari hidungnya memburu. Namun, kondisinya, tidak ada Jiwa lain di sekitar sini. "Seharusnya aku tidak membawanya ke sini. Aku sangat takut," sesalnya. Tapi, apa gunanya? Toh semua ini sudah terjadi.

Rasa penasaran yang dulu menggebu kini berubah menjadi penyesalan. Mungkinkah kondisi Wildy yang seperti ini karena ia mengingat kembali Lion? Jiwa yang berwujud laki-laki dan, masih teringat di dalam kepala Honey, sangat berani dalam membantah perkataan King?

Honey tidak mampu berpikir panjang. Namun, dirinya saat ini sedang fokus untuk membangunkan Wildy yang semula hanya terdiam untuk istirahat menjadi tak sadarakan diri.

"Wildy! Ayo bangun!" teriakan Honey menjadi sedikit bergetar saat ini. Ia teringat dengan perkataan Wildy bahwa malaikat maut sering mengunjungi hutan mereka beberapa waktu terakhir. Namun, mungkinkah Wildy yang akan dijemput oleh malaikat maut?

Di tengah kebingungan yang dihadapi oleh Honey, Wildy menunjukkan gerakan. Ia seperti kesulitan membuka mata. Sedikit waktu lebih lama, Wildy pun dapat membuka matanya dengan sempurna.

"Hon-Honey?" panggilnya.

"Wildy! Astaga! Kamu membuatku takut!" Honey, dengan kegembiraannya, memeluk Wildy.

"Ya, aku tidak apa-apa. Kenapa kamu takut?"

"Kamu tidak bisa dibangunkan! Kupikir, kita berhenti untuk beristirahat. Apa yang harus aku lakukan kalau kamu tidak sadar? Bagaimana kalau kamu yang dijemput oleh para malaikat maut itu?" Honey mencerca banyak kata kepada sahabatnya yang belum sepenuhnya sadar.

"Tapi, untung saja kamu membangunkanku, Hon."

Kalimat terakhir yang didengar oleh Honey itu membuat suasana hening di antara mereka. "Ke-kenapa kamu mengatakan hal itu?"

"Kalau kamu tidak membangunkanku, mungkin aku tidak akan bangun."

Honey mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu?"

Wildy terlihat menarik napas. "Aku bertemu dengan Lion, di mimpiku." Nama itu disebutkan oleh Wildy dengan sangat lugas. Ia tahu akan menerima risiko setelah mengatakan hal itu. Ia juga terlihat tidak baik-baik saja, bahkan terlihat menahan sakit kepala yang sekarang menyerangnya.

"Apa maksudmu? Bertemu dengan, dia?"

Wildy mengangguk. "Tapi, sesuatu yang aneh terjadi di mimpi itu."

"Apa? Keanehan sudah terjadi sekarang, Wildy. Bahkan, teman-teman yang dekat dengan Lion saat ini tidak mengingat bahwa Lion pernah ada," ungkap Honey dengan yakin.

Wildy memegang kepalanya. Mendengar nama itu disebut, ia memang merasa kesakitan. "Tapi, aku dan dia berbeda di mimpi itu. Dia bukan jiwa."

"Lantas?"