Chereads / Penjara Masalalu / Chapter 20 - Mencintai dalam diam

Chapter 20 - Mencintai dalam diam

Warna khas senja kini tidak menampakan kehadirannya, digantikan oleh kabut dan rintik hujan yang baru saja turun

Sepasang anak adam dan hawa berjalan menelusuri rintik hujan dengan tubuh yang sudah basah kuyup, tidak lupa payung ditangan sang pemuda yang mungkin tidak berguna bagi mereka. Tidak ada percakapan diantara mereka, hanya diam dengan pemikiran mereka masing-masing dan canggung tentunya yang dirasakan Arini.

Di dalam benak Ardan, ingin sekali ia mengajak  gadis didekatnya ini berbicara. Tapi raut wajah gadis itu membuat Ardan mengurungkan niatnya. Rupanya gadis itu masih marah terhadapanya.

Tidak terasa, Ardan dan Arini sudah berada di gang rumah milik gadis itu. Arini tiba-tiba menghentikan langkahnya, menghadap ke arah pemuda di dekatnya.

"Terimakasih sudah mengantarku dengan payungmu!" kata Arini darat.

"Aku tidak menerima ucapan terimakasihmu sebelum kau mengajakku mampir ke rumahmu," jawab Ardan.

Gadis itu memutar bola matanya malas, dan berlalu begitu saja.

"Hei ... Apa kau tidak kasihan denganku? Aku basah kuyup juga karenamu 'kan?" ujar pemuda yang memakai sweater abu-abu itu.

Arini tetap diam, ia memilih tidak meladeni perkataan Ardan. Kedua kali, langkahnya terhenti saat melihat anak masih berumur sepuluh tahun terduduk di kursi sambil memeluk kedua kakinya. Segera Arini berlari menghampiri anak itu, dengan diikuti Ardan di belakangnya.

"Ki, kamu kok nungguin Mbak di sini? Gak didalam aja," tanya Arini bingung.

"Ayo masuk! Di luar dingin!" Arini mengajak Rizky masuk seraya merangkul pundak keponakannya tersebut. Namun Rizky tidak merespon, anak itu malah menggelengkan kepalanya.

"Kamu kenapa, Brother Kecil?" tanya Ardan yang juga penasaran.

"Kamu marah sama Mbak ya, Ki? Maafin Mbak ya!" sambung Arini sambil memeluk keluarga satu-satunya yang ia punya itu.

"Kiki gak marah sama Mbak," jawab Rizky.

"Terus kenapa kok murung di luar?" tanya Arini.

"Kita udah gak bisa masuk rumah ini lagi, Mbak," jawab Kiki–nama panggilannya.

"Emang kenapa? Ke kunci ya?" tanya Arini bingung. Ia sama sekali tidak mengerti yang Rizky maksud, karena biasanya Rizky sudah berada di dalam rumah sambil menonton tv.

"Tadi Pakde Nur ke sini dan nyuruh Kiki keluar dari rumah ini," jawab anak itu denga polos.

Arini begitu terkejut mendengarnya. Dia baru ingat kalau rumah ini belum sepenuhnya dibayar lunas, almarhum ayahnya membeli rumah ini dengan menyicil setiap bulannya. Dan sekarang tidak ada yang membayar sisa rumah ini, dirinya sendiri juga belum mendapatkan pekerjaan yang tetap. Uang yang diberikan Ardan sebagai gajihnya juga sudah menipis karena biaya berobat sang ibu, dan biaya kematiannya.

"Ki, kamu tunggu di sini ya! Mbak mau ke rumah Pakde Nur dulu," kata Arini sambil berlalu.

"Iya, Mbak."

"Arini, tunggu! Aku akan ikut denganmu?" sahut Ardan.

"Tidak perlu ikut campur urusanku!  Pulanglah!" teriak Arini sambil tetap melangkahkan kakinya.

Ardan terhenti, semarah itukah Arini padanya? Dia tidak tahu letak salahnya di mana? Bahkan masalah keluarga mereka ia pun tidak tahu.

**

Sampai di sebuah rumah bercat hijau, Arini tanpa ragu memasuki teras dan mengetuk pintu tersebut. "Permisi, Pakde! Pakde!" panggilnya.

Tidak lama kemudian seorang pria bertubuh kurus dengan kumis tebalnya membukakan pintu. "Arini?"

"Pakde, boleh saya bicara sebentar?" Tanya Arini.

"Kamu pasti mau bicara soal rumahmu yang aku sita to?" tebak pria itu.

"Iya, Pakde. Saya minta tolong, kasih saya waktu buat lunasin rumah itu!" pinta Arini dengan sedikit menahan air matanya yang mendesak ingin keluar.

"Gak bisa, Nduk. Bapakmu itu baru bayar separuh dari harga asli rumah itu. Mau tidak mau aku harus ambil kembali, karena sudah beberapa bulan belum di bayar," jelasnya.

"Saya janji akan melunasinya, Pakde. Tapi beri saya waktu," ujar Arini.

"Gak bisa!" sahut seorang wanita bertubuh  gemuk yang baru saja keluar dari kamarnya. Ia pun menghampiri Arini yang berada di depan pintu.

"Heh, bocah gemblung! Kamu itu mau bayar pake apa, heh? La ong keluargamu saja semuanya sudah mati. Lagian kamu bisanya kerja apa? Jual diri?" cela wanita itu.

Arini tersentak dengan ucapan wanita itu. "Semiskin apapun saya, saya tidak akan pernah merendahkan martabat seorang perempuan dengan cara menjual diri," jawab Arini tegas. Walaupun di dalam hatinya teramat sakit dengan hinaan itu. Tapi dia harus tetap kuat di depan semua orang yang menghinanya.

"Udah, Buk. Gak baik ngomong gitu!" sahut suami wanita itu, mencoba melerai.

"Bapak gak usah belain anak stres ini ya, atau Bapak mau aku usir juga, heh?" ancam wanita bernama Darsih tersebut.

"Udah sana, pergi! Aku gak sudi ada orang stres di rumahku, yang sudah membuat ibunya meninggal," katanya seraya menutup pintu dengan kasar.

Arini menghela napas kasar, pikirannya mulai bercabang kemana-mana, dimana dia tinggal nanti? Sekolah Rizky bagaimana? Sanak saudara pun dia tidak punya untuk sekedar menginap, ia tidak mungkin menumpang pada tetangga untuk tidur dan makan secara cuma-cuma 'kan. Sedangkan tetangganya sangat tidak menyukai dirinya. Dengan langkah gontai Arini pun pulang.

Sampai di rumahnya, dia kebingungan mencari keberadaan Rizky–keponakannya. Anak itu mungkin di bawa Ardan ke villanya, tapi kenapa tidak bilang padanya dulu, Arini pun segera menyusul ke villa dengan berjalan kaki. Sedangkan cuacanya masih gerimis dan waktu sudah hampir malam, ia harus menyusul Rizky untuk pulang. Untuk tidur mungkin ia akan menginap di rumah Mirae sementara waktu, karena hanya keluarga Mirae yang baik padanya.

Tiba di villa, dengan tampilan Arini yang acak-acakan dan baju yang basah ia dengan kasar memencet bel rumah itu. Ia sudah tidak sabar ingin memarahi Ardan karena sudah membawa Rizky tanpa izin darinya.

Sesosok pria berkemeja putih muncul membukakan pintu. "Siapa?" tanyanya.

Arini mengernyitkan dahinya, ia merasa tidak melihay pria bertubuh besar itu di villa Ardan. "Apa pemilik villa ini ada? Saya sedang mencari adik saya yang ia bawa," jawab Arini.

"Anda Nona Arini, ya?" tanya Mr.Park lagi.

Belum menjawab pertanyaan Mr.Park, Ardan pemuda yang berada di belakang pria berkemeja putih itu menjawab lebih dulu.

"Kau benar, Mr.Park. Dia memang Arini." sahut Ardan.

"Kalau begitu, silahkan masuk, Nona!" Mr.Park mempersilahkan Arini masuk dengan menatap gadis itu dari atas hingga bawah. "Apa benar dia istri Tuan?" batinnya.

"Tidak, terimakasih" jawab Arini ketus. "Mana Rizky? Cepat kembalikan dia!"

"Masuklah dulu!" ajak Ardan.

"Kau tuli, heh? Aku tidak mau!" bentak Arini sambil meneteskan air matanya. Tangis Arini seketika pecah, air mata yang ia tahan sedari tadi akhirnya menetes juga. Ia sudah tidak tahan dengan rasa kesal di hatinya.

"Tenanglah, Arini! Adikmu baik-baik saja, dia sedang tidur di kamarku," kata Ardan sambil membawa masuk Arini ke dalam rumahnya.

"Apa kau belum puas sudah mengambil ayah, ibu, dan kakakku? Dan sekarang kau mengambil Rizky dariku?" ujar Arini sambil terus terisak.

"Aku tidak mengambil Rizky darimu, aku hanya membawanya ke sini agar dia tidak kedinginan di sana," jelas Ardan. "Mr.Park, tolong buatkan minuman hangat untuk dia!" perintah Ardan.

"Baik, Tuan."

"Sekarang, bersihkan dirimu dulu! Setelah itu kau boleh menemui adikmu, oke!" sambung Ardan.

Kali ini, Arini sedikit menurunkan egonya demi keponakan yang satu-satunya ia punya sekarang. Ia diantar oleh Ardan ke kamar yang dulu pernah ia tempati.

Selesai membersihkan diri, Arini pun berniat ingin keluar namun ia baru sadar dia tidak mempunyai pakaian untuk dia pakai sekarang. Pakaian yang ia pakai tadi sudah basah kuyup dan kotor, mana mungkin akan dia pakai lagi. "Bagaimana aku menemui Rizky, kalau aku penampilanku seperti ini?" gumamnya sambil melihat tubuhnya yang hanya terlilit handuk

"Arini!" panggil Ardan dari luar kamar. "Aku membawakan pakaian untukmu!"

Mendengar Ardan membawakan baju untuknya, Arini buru-buru keluar kamar mandi. Pintu kamar terbuka, namun Arini tidak menampakkan sosoknya. Mana mungkin dia keluar dengan hanya menggunakan handuk? Bisa malu sampai ke ubun-ubun.

Ardan tersenyum tipis menyaksikan tingkah Arini. "Gadis itu memang beda," gumam Ardan.

"Lemparkan saja!" ujar Arini yang bersembunyi di balik pintu.

Ardan pun melemparkan pakaian yang ia bawa ke dalam kamar Arini. Setelah itu ia berlalu pergi.

Sesudah berganti pakaian, Arini langsung menuju lantai atas untuk melihat kondisi keponakannya. Perlahan tangannya membuka knop pintu, di lihatnya Rizky yang tertidur pulas dengan kompres di keningnya.

"Dia demam, aku tidak bisa memanggil dokter untuk kemari karena kondisi cuacanya masih hujan deras," kata Ardan. Yang tiba-tiba muncul di belakang Arini. "Masuklah! Kenapa kau malah begong di situ?" Ardan menerobos Arini yang berada di tengah pintu.

Gadis itu sedikit terkejut dengan kedatangan Ardan yang secara tiba-tiba muncul di belakangnya tadi. "Darimana munculnya orang ini?" gumam Arini dalam hati. Ia pun mendekati Rizky dan duduk di pinggir kasur, seraya mengusap rambut keponakannya. Rasa bersalah muncul di hatinya, ia merasa tidak bisa menjaga keponakan yang sudah ia anggap adik kandungnya itu dengan baik. "Maafin Mbak ya, Ki!" lirihnya. Ardan yang duduk di sofa hanya melihat saja.

Tok ... tok ...

Suara ketukan pintu menyadarkan Arini yang hampir saja menangis.

"Maaf, Tuan. Ini minumannya!" kata Mr.Park yang muncul dengan nampan berisi minuman hangat.

"Terimakasih, Mr.Park," jawab Ardan.

"Sama-sama, Tuan." Mr.Park pun berjalan ke luar kamar setelah meletakkan minuman tersebut di meja.

"Minumlah dulu selagi hangat!" Ardan menyodorkan minuman hangat itu pada Arini.

"Iya," singkat Arini.

"Arini, tinggallah di sini! Kau boleh menempati villa selama kau mau," ujar pria itu sambil duduk di tepi kasur berlawanan dengan arah dengan Arini.

"Aku tidak mau berhutang budi terlalu banyak padamu," jawabn Arini seraya menyambut minuman hangat itu dan meminumnya.

"Arini, kenapa kau berfikir seperti itu? Aku tidak masalah soal hutang budi, aku hanya ingin menolongmu," kata pemuda itu sambil bersimpuh di depan Arini yang duduk di pinggir kasur.

"Aku menyukaimu, Arini. Apa kau tidak percaya? Harus berapa kali aku mengungkapkannya?" tanya Ardan.

Arini hanya bergeming sambil memalingkan wajahnya, ia tidak mau menatap mata Ardan. Pemuda itu bisa saja mengetahui perasaannya yang sebenarnya.

"Apa kau juga menyukaiku?" tanya Ardan dengan lirih.

Arini tak bisa menjawab pertanyaan itu, untuk jujur itu tidak mungkin baginya. Ia tahu posisi dirinya seperti apa? Mungkin kalau dirinya menjawab iya, akan ada banyak masalah lagi di hidupnya. Dan Arini tidak mau kehidupannya di penuhi masalah. Mencintai dalam diam mungkin itu sudah cukup baginya, ia tidak mau terluka karena perasaanya yang ia pendam ini. Keberanian kecil Arini hanya mampu mencintai Ardan dalam diam.