Chereads / Penjara Masalalu / Chapter 22 - Sebuah kejutan

Chapter 22 - Sebuah kejutan

Tok ... tok ...tok ...

Ardan dan Arini saling memandang. Siapa pengganggu yang berani mengusik ritual malam panas mereka?

Tapi Ardan sayup-sayup mendengar seseorang yang memanggil dia dengan sebutan 'Tuan'. Apa itu Mr.Park asistennya? Kalau memang benar itu Mr.Park, ia akan mengurangi separuh dari gajinya karena berani telah mengganggu kemesraan dirinya dan Arini.

"Tuan! Tuan Ardan!" panggil pria bertubuh besar itu.

Tidak ada jawaban sama sekali dari dalam kamar yang ditiduri tuan–nya, ia pun membuka handle pintu yang tidak terkunci itu dengan sangat hati-hati. Mr.Park pun menghampiri tuan–nya yang masih tertidur pulas. Menepuk beberapa kali lengan sang boss, namun tetap saja sang boss tidak bereaksi. Malah ngibas-ngibaskan tangannya menyuruh untuk Mr.Park pergi.

Sedangkan Ardan yang masih terbuai dalam suasana mimpinya bersama Arini, berangsur-angsur mengerjapkan matanya. Mencoba kembali ke alam sadar.

"Astaga ...!"

Pemuda itu sangat terkejut dengan Mr.Park yang ada di hadapannya. Bukankah yang di hadapannya tadi Arini? Tapi mengapa berubah jadi pria bertubuh besar ini? batinnya. Ardan menggelengkan kepalanya beberapa kali, berusaha mencari kesadarannya kembali dari mimpi indahnya.

"Tuan Ardan, Anda tidak apa-apa?" tanya Mr.Park sembari melambaikan tangannya di depan wajah sang boss.

"Kau...? Sedang apa kau di sini? Mana Arini?" tanya Ardan dengan wajah kebingungan. "Saya kemari di suruh Nona Arini membangunkan Anda," jelas Mr.Park.

"Kenapa tidak dia sendiri yang membangunkanku?" tanya Ardan kesal sambil bangkit dari tidurnya.

"Nona Arini sedang memasak untuk sarapan, Tuan" jawab Mr.Park. "Apa Anda tadi sedang bermimpi, Tuan?"

"Bukan urusanmu, keluarlah!" jawab Ardan sembari berjalan menuju kamar mandi.

"Baik, Tuan," jawab Mr.Park sambil menahan tawanya.

Di dalam kamar mandi, Ardan segera menghidupkan shower dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Menghilangkan hawa panas yang ada di tubuhnya akibat mimpi tadi. "Sial, hanya mimpi!" gerutu Ardan.

**

Di dapur, Arini tengah sibuk berkutat dengan peralatan dapur. Ia sedang membuat nasi goreng untu sarapan. Suara anak kecil menyadarkannya dari kesibukan memasaknya.

"Mbak Arini!" sapa Rizky.

"Kamu udah bangun, Ki? Gimana badan kamu udah enakan?" tanya Arini sembari menghampiri Rizky dan menempelkan tangannya ke kening anak kecil itu.

"Udah kok, Mbak," jawab Rizky.

"Ya udah, kamu duduk di situ dulu ya, bentar lagi matang kok!" Arini menunjuk ke arah meja makan.

"Aku tunggu di sini aja ya, Mbak?" tanya Rizky pada Arini yang dibalanya dengan anggukan. Rizky pun erjalan menuju kursi pantry yang ia maksud.

Ardan baru saja keluar dari kamarnya, ia langsung menuju dapur untuk menemui gadis yang tadi malam menolak cintanya sampai ia terbawa mimpi

Sampai di dapur, pemuda yang menggunakan celana pendek berwarna putih dengan kaos biru dan juga kemeja lengan pendek yang sengaja kancingnya ia biarkan terbuka, melihat Rizky yang tengah duduk di kursi pantry sambil berbincang dengan Arini, pemuda itupun menghampirinya.

"Hai ... selamat pagi!" sapa Ardan kepada Rizky.

Pemuda itu pun ikut duduk di samping Ardan sambil menempelkan punggung tangannya di kening anak kecil tersebut.

"Gimana keadaan kamu? Udah baikan?"

"Sudah lumayan kok, Kak," sahut Rizky. "Terimakasih banyak ya, Kak."

"Sama-sama." mengusap lembut rambut Rizky. "Setelah sarapan, kita ke dokter ya, Ki?"

"Gak ah, nanti aku di suntik, sakit!" celetuk bocah kecil tersebut.

"Gak akan di suntik kok. Tenang aja!" sahut Ardan. "Kalau kamu mau di ajak ke dokter, pulangnya Kak Ardan belikan kamu mainan yang banyak, mau gak?"

"Wahhh ... beneran, Kak?" jawab Rizky antusias.

"Tapi ada syaratnya?" bisik Ardan pada bocah itu.

"Apa?" Rizky yang penasaran pun mendekati Ardan.

Obrolan Rizky dan Ardan terhenti saat Arini menghampiri mereka. Arini tidak berani menatap Ardan, ia merasa tidak enak hati karena penolakannya kemarin malam akan membuat pemuda itu marah padanya.

"Ayo sarapan dulu, Ki!" ajak Arini tanpa menghiraukan tatapan Ardan padanya.

Berbeda dengan Arini, pemuda itu menatap intens keberadaan Arini di depannya yang menggunakan kaos berwarna putih dengan rambut yang di kuncir kuda. Mata pemuda itu diam-diam menelusuri bagian tubuh Arini dari ujung kepala hingga ujung kaki, ia mengingat mimpinya tadi malam yang sedang bercumbu dengan gadis polos ini. Gadis itu sangat cantik dan menggoda di dalam mimpinya, membuat ia penasaran ingin sekali melihat dengan nyata tubuh gadis itu sebenarnya.

"Sial! Kenapa otakku tiba-tiba jadi mesum begini? umpat Ardan dalam hati. Ia pun langsung menyadarkan dirinya dari lamunan kotornya tersebut.

Mereka bertiga pun sarapan bersama, tidak lupa Mr.Park yang juga berada di sana. Suasana di meja makan itu hening, hanya ada suara antara piring dan sendok yang bertautan.

Mata Mr.Park tidak luput melirik Arini dan Ardan secara bergantian, duduk antara mereka berjauhan dengan Rizky yang berada di tengah, sedangkan Ardan berada di ujung.

"Tuan, jam berapa Anda akan mengantar Rizky ke dokter?" tanya Mr.Park membuka keheningan.

"Setelah ini, apa mobilnya sudah ada?" sembari memasukkan nasi goreng ke mulutnya.

"Sudah, Tuan. Saya juga sudah mempersiapkan supirnya sekalian," jawab Mr.Park.

"Good," ucap Ardan singkat.

"Baiklah, saya sudah selesai sarapannya." Mr.Park berdiri sambil membawa piring kotornya menuju dapur.

"Tidak usah, Tuan. Biar saya saja yang membersihkan piring kotornya," sela Arini yang juga ikut berdiri.

Ardan pun menatap tajam ke arah asistennya tersebut. Entahlah Ardan sedikit sensitif terhadap Mr.Park karena insiden tadi pagi yang sudah membangunkan dirinya dari mimpi indah bersama Arini.

Mr.Park melirik sejenak boss–nya, ia paham akan tatapan itu. "Tidak perlu, Nona saya bisa sendiri."

"Tidak apa, Tuan." Arini mengambil pakasa piring yang ada di tangan Mr.Park.

"Arini! Biar Mr.Park yang mengerjakannya, kau ikut aku sekarang!" Ardan berdiri seraya menarik tangan Arini. "Ayo Brother!" sambil mengajak Rizky.

"Tunggu dulu, kas–" belum selesai dengan ucapannya, Ardan sudah mengambil piring yang Arini bawa dan meletakkanya di meja dengan kasar.

Mr.Park hanya menarik napas panjang, "Haaaahh ..."

Ardan, Arini, dan Rizky pun sudah berada di dalam mobil untuk menuju rumah sakit.

"Kak Ardan, pulang dari dokter kita mampir ke festival budaya yuk!" ajak Rizky yang berada di jok belakang.

"Festival? Di mana?" tanya Ardan sembari tetap fokus ke jalanan.

"Di alun-alun, Kak," jawab Rizky.

"Ki, kamu apaan sih, ngajak orang yang belum kamu kenal?" sela Arini.

"Kenal kok, Kak Ardan 'kan pacarnya Mbak Arini?" celetuk Rizky polos.

Arini yang berada di kursi depan bersama Ardan pun menoleh ke belakang, menatap tajam Rizky yang tidak tahu menahu.

"Anak kecil, gak boleh lancang ngomong pacar-pacaran," ujar Arini dengan wajah memerah antara malu sekaligus marah.

Ardan yang tengah sibuk menyetir tersenyum tipis mendengar perdebatan mereka.

"Kiki gak lancang kok, Mbak. Kata teman-temanku kalo laki-laki dan perempuan sama-sama suka itu berarti pacaran," jelas bocah polos itu.

"Huufftt ... sayang sekali, Ki, Kakak kamu kayaknya gak suka sama Kak Ardan," sindir Ardan seraya melirik ke arah Arini yang diam.

"Kata siapa Mbak Arini gak suka sama Kak Ardan? Suka banget malahan, aku pernah liat Mbak Arini senyum-senyum sendiri waktu gambar wajah Kak Ardan di buku," celetuknya bocah itu lagi.

"Kiki, Diam!" teriak Arini dengan wajah memerah yang mana saat itu membuat Rizky ketakutan.

"Iya, Mbak. Maaf!"

"Sudahlah, kenapa kamu menanggapi serius perkataan anak kecil, dia kan hanya bercanda," tutur Ardan, padahal di dalam hatinya ia sangat senang mendengar kejujuran Rizky.

Tiba di rumah sakit, mereka langsung menuju ruangan dokter untuk memeriksakan Rizky. Tidak membutuhkan waktu lama, karena Ardan sudah menghubungi dokter itu sebelumnya. Dokter mengatakan keadaan Rizky baik-baik saja, hanya demam biasa dan kelelahan. Tidak lama berada di rumah sakit itu ketiganya pun pulang, tapi pulangnya bukan ke villa melainkan ke sebuah pusat perbelanjaan.

Ardan mengajak Arini dan Rizky ke pusat perbelanjaan untuk membeli kebutuhan mereka. Arini hanya menuruti kemana Ardan dan Rizky berjalan, tanpa banyak bicara. Setelah berbelanja kebutuhan mereka selesai, mereka pun pergi menuju alun-alun kota yang di mana di sana ada acara festival budaya seperti yang dikatakan Rizky. Waktu yang mereka butuhkan tidak cukup lama, hanya 15 menit dari pusat perbelanjaan tersebut.

Sampai di acara festival budaya, Ardan membeli tiket masuk untuk mereka bertiga. Saat memasuki area festival, mata mereka disuguhkan oleh kerajinan-kerajinan unik khas Indonesia, ada berbagai macam kain batik khas daerah, hiasan-hiasan seperti : figura, kalung, gelang, topi yang lucu dan unik, dan makanan tradiasional dari berbagai daerah di Indonesia. Tiba di tempat utama festival, mereka melihat pertunjukan kuda lumping, tarian remo dan wayang kulit. Tempat itu ramai dengan pengunjung.

Rizky terlihat sangat bahagia, walapun kondisi tubuhnya tidak terlalu sehat tapi bocah laki-laki itu sangat aktif. Arini yang melihat kebahagian Rizky diam-diam meneteskan air matanya, selama ini dia tidak pernah membuat keponakan satu-satunya itu sebahagia ini. Jangankan ke tempat seperti ini, jalan-jalan ke pasar malam saja ia tidak pernah. Ardan yang melihat Arini meneteskan air matanya dengan cepat menyekanya dengan lembut lalu menggenggam jemari Arini dengan erat sambil melempar senyum.

"Aku tahu, kau perempuan yang sangat rapuh, Arini. Kau hanya berpura-pura kuat di depan semua orang," gumam Ardan dalam hati.

Arini yang mendapat perlakuan manis dari Ardan, menatap pemuda itu dalam diam. "Kenapa harus dia yang selalu ada untukku?" lirih Arini dalam hati.

Acara festival budaya berlangsung dengan sangat meriah. Alunan musik khas Jawa Timur mengalun indah mengikuti gerakan tari Remo, yang mana itu adalah pertunjukan terakhir.

Saat acara festival budaya akan berakhir, sang pembawa acara tersebut naik ke panggung.

"Selamat sore, para pengunjung yang sudah hadir di acara festival budaya kali ini, acara ini sengaja diselenggaran khusus oleh seorang pengusaha muda demi sang punjaan hatinya yang sebentar lagi akan dia lamar. Mari silahkan kepada kepala penyelenggara Tuan Ardan Daviez menaikki panggung!" kata pembawa acara tersebut.

Betapa terkejut Arini mendengar nama Ardan di panggil, apalagi dengan kata 'Kepala Penyelenggara'.

Ardan pun dengan gagahnya menaiki panggung tersebut di ikuti dengan tepuk tangan dari para pengunjung dan tidak lupa teriakan para kaum hawa yang kagum dengan ketampanan pemuda tersebut.

"Selamat sore! Terimakasih untuk para pengunjung yang sudah mau hadir di acara yang saya buat ini. Sebenarnya acara ini saya buat bukan hanya untuk hiburan tapi acara ini saya khususkan untuk seseorang yang berharga bagi saya. Mr.Park, tolong bawa gadis yang menggunakan kaos putih itu kehadapanku!"

Mr.Park yang berada di belakang panggung pun keluar dan mulai berjalan menghampiri gadis yang tengah kebingungan tersebut. Semua pandangan pengunjung tertuju pada Arini yang berdiri seperti orang bodoh. Matanya melirik ke kiri dan ke kanan, guna mencari gadis berkaos putih, namun dia tidak menyadari bahwa dirinya yang menggunakan kaos putih yang dimaksud Ardan.

"Mari, Nona Arini ikut saya!" pinta Mr.Park seraya memberi jalan.

Arini dengan wajah bingungnya pun mengikut saja arah yang di tunjukkan Mr.Park, pipinya bersemu merah karena malu. "Kenapa aku nurut aja?" Sedangkan Rizky di tuntun oleh Mr.Park, untuk kebelakang panggung.

Sampai di atas panggung, Arini di sambut oleh senyuman manis dari Ardan. Riuh dari tepuk tangan dan teriakan para pengunjung pun begitu heboh. Terutama para gadis yang berada di sana, mereka sangat iri pada Arini yang bisa membuat pemuda tampan itu jatuh cinta.

Ardan meraih tangan kanan Arini. "Dia adalah Arini Elina Putri, dia calon istriku," ucap Ardan sambil menatap lembut ke arah Arini.

"Saat ini dia sedang tidak mau berbicara padaku, aku telah melakukan kesalahan yang membuat dia marah. Itu sebabnya aku mengadakan acara ini untuk permintamaafanku," lanjutnya.

Aaa... aaaa...

Sorak pengunjung membuat Arini bertambah malu, ingin sekali ia menenggelamkan wajahnya ke bak mandi saking malunya.

Pembawa acara pun menghampiri keduanya yang tengah berdiri sambil membawa buket bunga dan kotak kecil berwarna perak. Ardan menyambutnya dengan senyum sebagai ganti ucapan terimakasih.

"Honey, maukah kau memaafkanku!" sembari bersimpuh di depan Arini.

"Maafkan aku, aku janji akan berusaha menjadi yang terbaik untukmu," kata Ardan.

Arini berfikir keras untuk menjawabnya, antara mengangguk dan menggelengkan kepalanya. Sebenarnya Arini tidak tahu harus menjawab apa, tapi melihat keadaan yang banyak sekali orang melihatnya, pasti akan membuat malu dirinya dan juga Ardan jika dia menolak. Arini pun terpaksa menganggukkan kepalanya.

Ardan mengeluarkan kalung bertahtakan berlian yang sangat indah berbentuk bulan sabit, terlihat sederhana namun sangat anggun dan mewah. Ia segera memakaikannya ke leher Arini serta memberikan buket bunga mawar putih pada gadis yang wajahnya tampak masih bingung itu.

Pemuda itu perlahan mengecup singkat kening Arini dan memeluknya. "Terimakasih," bisik Ardan pelan ditelinga gadis itu.

Waaahhhh .. .aaaa ...

Teriakan para pengunjung terdengar sangat nyaring. Banyak yang memuji keromantisan mereka, tak jarang juga ada yang mengunjing bahwa hal itu sangat berlebihan hanya untuk sebuah tanda permintaan maaf.