Ardan telah tiba di Jakarta sekitar 1 jam yang lalu. Ia dan Mr.Park langsung menuju ke kantor, tidak ada ritual istirahat dan bersantai karena waktunya yang terbilang masih pagi sekitar masih jam 10, ia harus cepat menyelesaikan masalah perusahaan. Ardan memasuki gedung berlantai lima belas itu bersama Mr.Park di belakangnya dengan sedikit terburu-buru. Para pegawai kantor yang berada di sana sedikit terkejut melihat ke datangan Ardan secara mendadak tersebut. Mereka semua memberikan hormat kepada Ardan, tanpa digubris oleh pemuda itu. Raut wajahnya yang mencekam membuat para karyawan enggan untuk menyapa sebagai basa-basi.
Hati pemuda itu dalam kondisi yang tidak baik saat ini, jangan pernah mencoba untuk sedikit saja membuat hatinya semakin badmood. Beberapa hari yang lalu, ia mendapat kabar dari Mr.Park kalau banyak karyawan yang kualitas kerjanya menurun, kinerjanya juga buruk, bahkan ada karyawan yang menggelapkan uang perusahaan. Ini menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi perusahaannya. Ardan akan menindaklanjuti siapa yang berani menggelapkan uang perusahaan, ia tidak akan segan untuk memecatnya bahkan setelah pemecatan, dipastikan pekerja itu tidak akan mendapat pekerjaan lagi diluaran sana.
"Mr.Park, kumpulkan seluruh staff penting sekarang juga! Aku tunggu di ruang rapat dalam waktu 10 menit, jika ada yang terlambat, aku tidak akan segan untuk memecatnya!" perintah Ardan sambil terus berjalan menuju ruang rapat. Raut wajah Ardan mendadak merah karena menahan amarah.
"Baik, Tuan," jawab Mr.Park. Pria itu tidak berani berkata banyak, ia tahu persis bagaimana jika boss–nya ini sedang mode serius. Memang umur boss–nya lebih muda dari dirinya, namun kecerdasannya tidak diragukan lagi. Ardan Daviez memiliki IQ di atas rata-rata kebanyakan orang, itulah yang membuat pemuda itu terkesan terlihat lebih dewasa dari umurnya yang masih 28 tahun.
Tiba di ruang rapat, Ardan sudah duduk di kursi kebesarannya dengan menyilangkan kakinya sambil melihat jam di pergelangan tangannya. Seolah menghitung waktu yang ia berikan tadi.
Satu persatu para staff penting dari berbagai devisi datang, mereka ketakutan dengan rapat yang mendadak ini. Dipastikan CEO baru itu akan mengamuk pada mereka karena kinerja mereka yang terbilang lambat dan malas.
"Mr.Park, apa semua sudah lengkap?" tanya Ardan sambil melihat ke arah staff yang sudah duduk rapi.
"Sudah, Tuan. Ada 2 karyawan yang absen hari ini sehingga mereka tidak bisa hadir," jawab Mr.Park seraya memberikan kertas pada Ardan.
"Hmm ..., baiklah kita mulai rapat mendadak ini," kata Ardan seraya berdiri dengan gagah.
"Sebelumnya saya minta maaf pada kalian semua, karena seringnya saya tidak masuk kerja hingga menyebabkan ketidakstabilan perusahaan ini," jelas Ardan.
"Mulai detik ini saya akan merubah peraturan lama yang ada di perusahaan ini, bagi siapa saja yang melanggarnya saya akan langsung memecatnya," ucap Ardan dengan tegas.
Para karyawan pun membaca kertas yang ada di meja mereka masing-masing. Mereka semua tidak berani untuk membantah ataupun memberi saran.
Sekitar 2 jam rapat itu berlangsung, kini mereka semua keluar dari ruang rapat itu dengan hati yang lega.
"Untung ya kita gak kena marah sama si boss baru itu," kata salah satu karyawan.
"Kenapa kita harus kena marah? Ini semua 'kan karena dia juga. Dia sangat jarang masuk ke kantor, itu kan sama aja memberikan contoh yang tidak baik buat karyawannya," balas karyawan satunya.
"Hei ... hati-hati kalo ngomong nanti boss denger, bisa ditendang lo dari sini," sahut karyawan laki-laki itu.
Masih di dalam ruang rapat, Ardan duduk sendiri dengan pikirannya yang kemana-mana. Serumit inikah jadi pemilik perusahaan besar, andai saja bukan paksaan dari sang nenek, mungkin dia sudah bersenang-senang dengan istri. Mr.Park yang melihat Ardan gusar perlahan menghampiri.
"Tuan, ini ponsel saya, jika Tuan ingin menghubungi Nona Arini, pakailah!" kata Mr.Park seraya memberikan benda pipih itu pada Ardan.
"Nanti saja, aku akan menghubunginya sendiri," jawab Ardan dengan wajah yang suram.
Mr. Park mengangguk mengerti, ia pun memasukan kembali ponsel miliknya ke dalam saku jas. "Baiklah, kalo begitu lebih baik Anda ke ruangan Anda sekarang untuk beristirahat!" kata Mr.Park.
"Iya. Kau tolong siapkan berkas-berkas yang akan di bawa ke pertemuan dengan perusahaan elektronik itu," perintah Ardan seraya beranjak dari duduknya.
"Baik, Tuan."
"Oh iya, jangan lupa cari sekertaris untukku, agar kau tidak kewalahan sendiri membantuku!" perintah Ardan lagi.
"Siap, Tuan."
Ardan pun bangkit dari duduknya dan berjalan keluar ruang rapat yang luas itu menuju ruangannya sendiri. Di dalam ruangannya, banyak berkas-berkas yang sudah menumpuk di mejanya. Bukannya istirahat, malah harus mengerjakan ini semua. Ardan menghela nafas dengan kasar. "Huuff ... sepertinya aku harus lembur hari ini."
Ia pun melepas jas hitam yang melekat di tubuh jangkungnya dan mulai berkutat dengan berkas sekaligus juga laptop di depannya. Ia melupakan sejenak tentang gadis yang kini tinggal di villanya tersebut. Karena ke egoisannya untuk bertemu Arini, ia melupakan kewajibannya sebagai pemilik perusahaan DC Grup. Inilah resiko yang ia tanggung karena lebih mementingkan nafsu jatuh cintanya pada Arini dari pada perkerjaannya. Ya, jatuh cinta kadang membuat kita melupakan segalanya, tanpa tahu resiko yang akan diterima setelahnya. Sungguh, cinta itu tidak memiliki bentuk, namun dapat dirasakan kehadirannya.
**
Di halaman belakang villa, Arini tengah duduk di samping kandang kecil sambil memberi makan kelinci berwarna putih dan abu-abu dengan wortel. Kelinci itu didapatnya dari Rizky sebagai penghibur ketika Arini sendirian di rumah. Entahlah anak itu membeli kelinci lucu itu di mana? Tapi yang jelas Arini suka hadiah sederhana dari adiknya itu.
Hampir sepekan sudah Ardan kembali ke Jakarta, Arini merasa khawatir karena sepekan itu juga Ardan tidak memberinya kabar, entah itu pesan singkat atau sambungan telepon. Tapi Arini mencoba berfikir positif, mungkin saja pemuda itu sedang sangat sibuk dengan pekerjaannya, karena mengingat perusahaannya dalam kondisi tidak stabil.
"Makan yang kenyang ya, Bunny!" kata Arini yang berbicara sendiri kepada kedua pasang kelinci lucu itu sambil tangannya mengelus bulu lembut binatang.
"Nona!" panggil Mia yang mendadak muncul dan langsung mengagetkan Arini.
"Mbak Mia ngagetin aja, ada apa emangnya, Mbak Mia?" tanya Arini.
"Maaf, Non, itu di depan ada seorang perempuan yang mencari, Anda," kata Mia.
"Siapa?" tanya Arini penasaran, selama ia tinggal di villa ini tidak pernah ada tamu, pikirnya.
"Saya sendiri juga tidak tahu, Non. Saya tidak kenal," jawab Mia.
"Kenapa gak tanya?" ujar Arini sambil berdiri.
"Lupa Non, hehehe." Mia menjawab dengan cengengesan sambil mengikuti Arini dari belakang.