**
Gadis itu pun beranjak dari duduknya berjalan memasuki rumah dengan Mia di belakangnya.
Sampai di ruang tamu, Arini yang tadi penasaran siapa yang mencarinya pun merasa lega karena melihat seorang perempuan yang sedang duduk di sofa, dia sangat mengenal perempuan itu.
"Mirae?" panggil Arini yang terkejut senang dengan kedatangan sahabatnya itu. Arini pun menghampiri Mirae yang duduk di sofa.
"Hai ... Es batu." Mirae balik menyapa Arini. Gadis kurus itu pun juga menghampiri Arini dan langsung memeluknya.
"Aku kangen banget sama kamu, Es batu," kata gadis kurus itu sambil melepas pelukannya.
"Aku juga, Mirae," balas Arini.
"Iiihh ... kamu makin cantik aja, Es batu" puji Mirae pada Arini yang penampilannya sangat jauh berbeda dari Arini yang dulu.
Kini penampilan Arini lebih terlihat feminim dengan jumsuit pendek berwarna biru terang, daripada yang dulunya lebih sering menggunakan celana pendek selutut dan kaos.
"Kamu laper gak?" tanya Arini mengalihkan pembicaraannya. Ia malu kalau harus membahas tentang penampilan dirinya yang sekarang memang berbeda. Ardan–lah orang yang memilihkan semua kebutuhannya, termasuk pakaian. Kalau dirinya sendiri, mana paham. Arini terlalu cuek akan hal itu.
"Laper sih," jawab Mirar seraya memegangi perutnya.
"Ya udah, ayo kita makan! Aku juga laper," ajak Arini.
Arini pun mengajak Mirae makan siang bersama. Semenjak Arini tinggal di villa, ia tidak pernah bertemu dengan sahabatnya itu. Tentu saja saat bertemu ia merasa sangat senang.
"Ini kamu yang masak, Es batu?" tanya Mirae denga mulut yang masih penuh dengan makanan.
"Ditelan dulu tuh makanan, baru ngomong!" kata Arini memperingati.
"Hihihi ...," kekeh Mirae.
"Wahh ... Nona Arini udah selera makan ya?" tanya Mia yang tiba-tiba muncul membuat kaget Arini dan Mirae.
"Mbak Mia, ngagetin aja dari tadi," kata Arini.
"Maaf, Non, hehe ... kalau gitu saya pergi dulu."
"Mbak Mia gak makan di sini sekalian bareng kita?" tanya Arini.
"Saya masih kenyang, Non" jawab Mia dan ia pun berlalu pergi.
"Eh ... Es batu, itu pembantu di rumah ini ya?" tanya Mirae penasaran.
"Iya,"
"Kayak bukan pembantu gak sih? Dia cantik dan bentuk tubuhnya juga bagus," ucap Mirae sambil berbisik, takut terdengar Mia.
"Aku juga gak tahu, Mirae. Bukan aku yang mengajak dia bekerja di sini," jawab Arini sambil mengedikkan bahu.
Selesai makan siang, Arini dan Mirae duduk di gazebo dekat kolam ikan.
"Aduhh ... aku kenyang banget," kata Mirae sambil mengelus perutnya yang membuncit kekenyangan.
"Bagus dong, biar kamu gendut," seru Arini dengan santai.
"Gak mau ah. Ngomong-ngomong, kemana Rizky, Rin?" tanya Mirae, karena sedari tadi dia tidak melihat batang hidung anak kecil itu.
"Ya sekolah lah, habis ini juga pulang," jawab Arini sambil memberi makan ikan mas koi itu.
"Kalo Kak Ardan?" tanya Mirae.
Arini menghentikan kegiatannya memberi makan ikan. "Dia kembali ke Jakarta," jawab Arini."
"Kamu ditinggalin sama dia?" tanya Mirae lagi dengan kaget.
"Gak tau, aku juga tidak peduli kalau dia tinggalin aku" jawab Arini datar.
"Kok kamu gitu sih Rin, dia kayaknya tulus loh mencintai kamu," ucap Mirae.
"Kalau dia tulus, kenapa dia tidak menghubungiku setelah sampai di Jakarta?" ujar Arini dengan sedikit menaikan nada bicaranya.
"Arini, disetiap hubungan harus ada rasa saling percaya satu sama lain. Mungkin saja dia sedang sibuk, aku yakin Kak Ardan tidak akan mengacuhkanmu tanpa ada alasan," tutur Mirae.
Arini terdiam dengan ucapan yang dikatakan Mirae padanya, apa dia harus percaya penuh pada pemuda itu?
"Mirae, apa aku pantas untuknya?" tanya Arini sambil menundukkan wajahnya.
"Kenapa tidak, semua orang pantas untuk dicintai dan mencintai," jawab Mirae dengan tegas. "Apa kau mencintai Kak Ardan?"
Gadis itu hanya bergeming mendapat pertanyaan dari sang sahabat.
"Katakan saja, Arini tidak usah malu," ujar Mirae sedikit mendesak.
"Hhmm ... aku mencintainya. Tapi aku tidak yakin dengan cinta yang aku miliki, aku merasa akan ada masalah besar dalam hidupku jika jujur dengan perasaanku ini padanya," kata Arini.
"Kenapa harus tidak yakin?" tanya Mirae penasaran.
"Keluargaku dan keluarganya memiliki hubungan yang tidak baik. Aku sendiri tidak tahu pasti apa sebabnya, ibuku mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti. Saat aku ingin tanya lebih jelas, ibuku sudah pergi selamanya," jelas Arini dengan mata berkaca-kaca.
Mirae pun merangkul pundak sahabatnya itu, berusaha memberikan ketenangan dan dukungan. "Maaf, Arini aku tidak bermaksud untuk menyinggung soal keluargamu."
"Tidak apa, Mirae. Aku sangat berterimakasih, karena kamu selalu ada untukku saat keadaan buruk ataupun baik. Aku harap kamu tetap bisa menemaniku seperti ini," jawab Arini sendu.
"Aku ingin selalu ada buat kamu, Arini. Tapi sepertinya aku tidak bisa, karena besok aku harus berangkat kuliah ke Singapur," sahut Mirae.
"Apa? Kamu jadi pergi ke sana?" Arini terkejut mendengar Mirae yang akan ke Singapur untuk melanjutkan sekolahnya. Arini sangat sedih, kenapa satu persatu orang yang dia sayang meninggalkannya.
"Kamu tenang aja, kita masih bisa saling berkomunikasi lewat ponsel kok," kata Mirae berusaha menenangkan Arini.
"Kamu pasti sudah punya ponsel 'kan? Masa Kak Ardan gak beliin kamu ponsel?" hibur Mirae.
"Ya, aku punya," jawab Arini.
"Ya udah, aku kasih nomor hp ku ya?" ujar Mirae sembari mengeluarkan kertas dan bolpoin untuk menuliskan nomornya dan memberikannya pada Arini.
"Aku juga punya sesuatu buat kamu, Rin." Mirae pun mengambil sesuatu di dalam tas–nya. "Ini buat kamu, semoga kamu suka," katanya sambil memberikan bungkusan kado berwarna ungu pada Arini.
"Ini apa?" tanya Arini seraya membolak-balikan kotak persegi tersebut.
"Buka aja!"
Gadis berambut hitam lebat itu pun membuka kado yang diberikan Mirae padanya. Ia sangat penasaran dengan isinya. Setelah dibuka, kado itu berisi sebuah buku berwarna hijau tua dengan motif bunga kering di setiap sudutnya.
"Ini apa, Mirae?" tanya Arini polos.
"Ya ampun, Arini... bego banget sih kamu! Ini buku khusus buat gambar. Kamu 'kan pinter tuh gambar sesuatu, jadi kamu bisa gambar disitu," kata Mirae menjelaskan.
"Oouhh... mana aku tau, gak pernah liat," sahut Arini santai seraya membulatkan mulutnya.
"Pacaran sama laki-laki ber–IQ tinggi dan kaya raya ternyata gak buat kepolosan kamu hilang ya ...," ledek Mirae.
"Siapa ber–IQ tinggi?" tanya Arini dengan bodohnya.
"Hei... heii... calon suamimu itulah. Kak Ardan siapa lagi?" kata Mirae menahan emosi menghadapi kepolosan Arini.
"Emang iya? Raut wajahnya tidak menampakkan kalau dia ber–IQ tinggi, malah lebih ke wajah-wajah mesum," ucap Arini tidak sadar.
"APA? Wajah mesum kamu bilang?" tanya Mirae kaget dan langsung menghadapkam wajah Arini padanya.
"Eemm ... bukan itu maksud aku," jawab Arini gagap.
"Astaga ... Arini kamu sudah diapain sama Kak Ardan?" tanya Mirae sambil meraba-raba tubuh Arini. "Jangan-jangan kalian sudah...?? Aaa... gak mungkin, berarti kamu sudah tidak perawan lagi dong, Arini," kata Mirae dengan heboh.
"Ssttt ... kamu apa-apaan sih, Mirae? Jangan keras-keras kalo ngomong." sambil menutup mulut sahabatnya itu. "Aku–aku gak ngapa-ngapain kok sama Kak Ardan dan aku juga masih perawan," kata Arini dengan wajah merah karena malu.
"Huufff ... syukurlah kalau kamu masih perawan," kata Mirae lega.
"Tapi aku sudah pernah berciuman dengannya," lirih Arini.
"Kalau cuma sekedar ciuman, aku mah juga pernah," sahut Mirae.
"Iihh ... berarti dulu waktu aku tanya kamu pernah ciuman apa anggak, kamu bohong dong?" tanya Arini.
"I–iya sih hehehe, waktu itu 'kan aku masih malu" sahut Mirae cengengesan.
Obrolan seru mereka berlangsung cukup lama, sampai ketika Rizky pulang Arini pun tidak mengetahuinya, saking asiknya. Dan juga ketika Ardan menghubunginya berkali-kali pun tidak ada respon, karena ponselnya ia letakkan di dalam kamar.