Chereads / Penjara Masalalu / Chapter 28 - Obrolan di telepon

Chapter 28 - Obrolan di telepon

Seorang wanita tengah duduk santai di sofa ruang tv sambil membaca buku, wanita tua yang masih terlihat bugar itu melirik ke arah langkah kaki seorang pria berbaju hitam yang baru datang.

"Selamat sore, Nyonya Besar," sapa pria itu.

"Ada apa?" tanya wanita tua bernama Maria itu dengan dingin.

"Tuan Muda Ardan sekarang sudah berada di Jakarta seminggu yang lalu, Nyonya," ucap pria itu.

Maria mengercitkan dahinya, lalu meletakkan buku yang ia baca tadi di atas meja. "Lalu?"

"Sekarang Tuan Muda sedang membereskan masalah perusahaan," kata pria itu.

Wanita berbaju hitam itu tersenyum licik, "Bagus, ternyata rencanaku sedikit demi sedikit berhasil membuatnya kembali ke Jakarta."

"Kembalilah ke tugasmu!" usir Maria pada pria berbaju hitam itu.

"Baik, Nyonya." Pria berbaju hitam itu pun meninggalkan ruang tv.

Maria pun berjalan menuju ruang kerjanya yang berada di lantai atas. Sesampainya, Maria mengambil berkas berwarna biru yang tersusun rapi di rak buku. Ia membukanya sambil mengambil ponsel yang berada di meja kerja. "Hallo, bagaimana?" tanyanya pada seseorang yang di seberang telepon.

"Hmm ... seperti itu ya, good. Baiklah, tugasmu cukup untuk sekarang." Maria pun mematikan sambungan teleponnya.

"Ardan, kau memang sangat cerdas menghadapi masalah perusahaan hanya dalam waktu singkat. Tapi kau tidak cukup cerdas dalam hal tipu menipu," gumam wanita itu dalam hati.

Masalah yang ada di perusahaan DC Grup tidak lain dan tidak bukan adalah rencana licik Maria untuk menipu cucunya sendiri. Ia menyuruh salah satu manager yang bekerja di sana untuk memanipulasi hasil dari saham perusahaan DC Grup agar terlihat seperti mengalami penurunan, dengan begitu Ardan jelas akan langsung turun tangan. Dengan kekuasaannya, Maria dapat melakukan apa saja yang ia inginkan. Ia–lah pemegang saham terbesar di perusahaan yang bergerak di berbagai bidang itu. Siapa yang tidak tergiur oleh imbalan besar yang ia berikan kepada orang-orang yang mau menuruti kemauannya.

Ia memanfaatkan kecerdasan Ardan untuk mengelola perusahaan milik mendiang suaminya itu, sedangkan dirinya sendiri hanya tinggal menerima hasilnya. Ia–lah juga yang membesarkan Ardan, otomatis Ardan harus menuruti yang ia perintahkan dan kemuannya. Wanita tua itu tidak akan pernah puas sebelum mengusai seluruh pasar bisnis, termasuk perusahaan milik keluarga Rahmi, ibu Arini. Padahal, DC Grup adalah perusahaan terbaik di Asia bahkan sampai ke luar negeri.

Dulu, saat acara pernikahan Rahmi dan Jooniean itu dibatalkan, Maria mengambil alih seluruh perusahaan milik keluarga Rahmi sebagai balas dendamnya. Sampai perusahaan milik keluarga Rahmi mengalami kebangkrutan dan kedua orangtua Rahmi meninggal akibat serangan jantung. Namun itu semua belum membuat Maria puas, jika belum membuat Rahmi benar-benar menderita.

Ditempat lain, Ardan tengah gusar karena teleponnya sedari tadi tidak diangkat oleh Arini. "Kemana gadis itu? Kenapa tidak menganggat telfonku dari tadi?" gerutunya.

Pemuda itu berjalan mondar mandir sambil berbicara sendiri. Ia merasa khawatir karena sedari tadi ia berusaha menghubungi Arini, tapi tidak ada jawaban sedikit pun. Walaupun di sana sudah ada Mia yang menjaganya, namun tetap saja dia khawatir.

Beberapa hari ini dia memang tidak sempat untuk menghubungi Arini, karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya yang sangat padat. Dan sekarang dia sudah tidak terlalu sibuk, suatu kesempatan untuknya menghubungi Arini. Ada rasa rindu yang bersemayam dalam hatinya pada gadis datar itu. Kebersamaannya bersama Arini beberapa bulan lalu membuat dia nyaman berada dekat dengan gadis itu. Walaupun gadis itu tidak banyak bicara tapi itulah yang membuat dia menyukai Arini. Sebenarnya gadis dengan mata sayu itu memiliki senyum yang manis, hanya saja dia jarang tersenyum, membuat Ardan makin penasaran pada sosok gadis datar itu.

Ardan kembali menghidupkan ponselnya dan mencoba menghubungi Arini. Beberapa menit dia menunggu, akhirnya suara gadis itu terdengar juga.

"Hallo," sahut Arini diseberang sana.

"Kamu dari mana saja? Dari tadi aku telpon kamu beberapa kali tidak ada diangkat. Kamu marah karena aku tidak menghubungi setelah sampai Jakarta?" tanya Ardan dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.

"Apa sudah selesai pertanyaannya?" Bukannya menjawab pertanyaan dari Ardan, gadis itu malah balik bertanya dengan santainya.

Ardan menarik nafas panjang."Maaf Arini, aku sangat mengkhawatirkanmu sejak tadi," ungkap pria itu.

"Aku baik-baik saja, tidak perlu mengkhawatirkanku," jawab Arini.

"Syukurlah kalau kamu baik-baik saja, apa kamu marah padaku, Arini?"

"Marah? Kenapa marah?"

"Karena aku tidak menghubungimu seminggu ini?"

"Tidak, aku tidak marah."

"Lalu dari mana saja kamu? Kenapa lama sekali mengangkatnya."

"Aku sedang ada tamu."

"Tamu? Siapa? Laki-laki atau perempuan? Kenapa bertamu lama sekali?"

"Iiisshh ... Apaan sih? Hanya Mirae, teman sekolahku."

"Haaahh ... Syukurlah kalau itu Mirae. Apa kamu tidak merindukanku, Honey?"

"Tidak," jawab Arini diseberang sana dengan wajah memerah karena malu.

"Kenapa tidak merindukanku, cobalah untuk merindukanku?"

"Kenapa kamu memaksa?"

"Ya ... karena kalau tidak dipaksa kamu tidak akan mau, lagi pula aku calon suamimu," jawab Ardan.

"Percaya diri sekali!?"

"Atau jangan-janangan kamu sudah mulai mencintaiku?"

"Belum," jawab Arini ketus dengan pipinya yang merona.

Sambungan telfon itu berlangsung sangat lama, berbincangan yang di dominasi berdebatan itu membuat kerinduan diantara mereka terobati. Walaupun hanya dari sambungan telepon. Sampai akhirnya rasa ngantuk menghampiri Arini. Beberapa kali dia menguap, namun ia tidak sampai hati untuk mematikan sambungan telepon itu, karena dia sendiri juga merindukan pemuda itu, tapi karena malu ia tidak mengatakannya.

"Apa kamu mengantuk?" tanya Ardan.

Tidak ada jawaban dari Arini, karena gadis itu sudah tertidur pulas dengan ponsel yang masih menempel di telinganya.

Arda pun tersenyum, ia tahu gadis itu pasti sudah dalam dunia mimpinya. "Selamat tidur, Honey. Mimpi yang indah, aku mencintaimu," kata Ardan.

Tut... tut...

Pemuda itu pun menutup sambungan teleponnya dan Ardan beranjak dari duduknya. Ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, karena sedari pulang kantor ia belum mandi. Mengobrol dengan Arini di telepon membuat dia melupakan aktivitas mandinya.

Memasuki kamar mandi, ia pun melepas satu persatu kancing kemeja yang ia kenakan, lalu meletakkannya di tempat pakaian kotor. Ia pun berjalan menuju cermin dan memandangi tubuh jangkung namun berotot miliknya. Pemuda itu tersenyum di depan cermin sambil memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri.

"Waw ... ternyata bentuk tubuhku semakin seksi saja, hhaaha," katanya. "Wajahku juga semakin tampan," katanya lagi dengan memegang wajahnya sendiri.

"Tapi sayang ... Arini belum jatuh cinta padaku yang sempurna ini. Aagghh...??!!" teriak Ardan dari dalam kamar mandi.

"Tapi aku tidak akan menyerah, saat aku kembali ke villa, aku akan langsung menikahinya, tidak peduli dia mau atau tidak," kata Ardan memotivasi dirinya.