Pagi telah tiba, jam sudah menunjukkan 7 pagi. Ardan kini sudah tampak rapi dengan setelan jas hitamnya, ia berniat akan mengunjungi Oma–nya terlebih dahulu sebelum berangkat ke kantor. Dia sangat merindukan neneknya itu.
Pemuda itu berangkat dengan mobilnya sendiri tanpa Mr.Park yang setia menemaninya. Sebelumnya ia telah menghubungi Mr.Park agar tidak perlu menjemputnya ke apartemen.
Sesampainya di rumah sang Oma, Ardan memarkirkan mobilnya dan langsung masuk ke dalam rumah bergaya Eropa tersebut. Ia di sambut oleh pelayan yang umurnya tidak jauh beda dengan sang Oma bernama Bibi Sarti.
"Tuan Ardan?" kata wanita tua itu terkejut.
"Selamat pagi, Bibi Sarti," sapa Ardan. Ia pun menghampiri Sarti yang tengah sibuk menyiapkan sarapan.
Wanita berbaju hijau itu langsung memeluk Ardan dengan erat, ia sangat merindukan laki-laki kecil asuhannya itu dulu. Ketika Ardan masih kecil, Sarti–lah yang selalu merawatnya, menemaninya setiap saat, yang mengerti bagaimana perasaan Ardan sebenarnya. Maka dari itu, Ardan sangat menyayangi Sarti yang sudah ia anggap sebagai nenek keduanya.
"Bibi, kenapa menangis?"
"Tidak, Tuan. Bibi tidak menangis, Bibi hanya rindu saja dengan Tuan Ardan. Sudah lama Tuan tidak mengunjungi rumah ini," ucap Sarti sambil menghapus air mata.
"Iya benar Bi Sarti, sudah lama Ardan tidak mengunjungi kedua neneknya ini," sanggah Maria yang baru datang.
Saat Ardan hendak menjawab, sahutan dari seorang wanita yang baru datang itu membuat Ardan mengurungkan niatnya untuk menjawab pertanyaan Sarti.
"Oma, aku sangat sibuk beberapa hari ini. Maaf ya ... wanita-wanita cantikku!" rayu Ardan pada kedua wanita tua itu.
Yang mana hanya dibalas Maria dengan senyuman angkuh. Ia sudah mengetahui semua penyebab Ardan lama tidak mengunjunginya, tapi dia hanya berpura-pura tidak mengetahuinya.
"Benarkah seperti itu, Oma kira kamu sedang sibuk dengan seorang gadis?" sindir Maria seraya duduk di kursi ruang makan.
"Bisa jadi," jawab Ardan santai.
Ardan tidak menyukai sifat sang Oma yang selalu ikut campur dengan masalah asmaranya. Selalu menjodohkannya dengan para gadis dari anak temannya, namun sedikitpun Ardan tidak tertarik atau pun jatuh cinta, malah membuatnya muak.
"Tuan Muda, ayo sarapan dulu!" ajak Bibi Sarti.
"Iya, Bi terimakasih,"
"Kalau gitu Bibi ke dapur dulu ya, Tuan?" Sarti pun pergi menuju dapur.
"Kenapa tidak kamu ajak dia ke sini?" tanya Maria.
"Aku tidak yakin Oma akan menyukainya atau tidak?" jawab Ardan.
"Bagaimana Oma akan menyukainya, kalau belum melihatnya?" jawab Maria sambil menahan emosi, namun dia berusaha tetap tenang.
"Sudahlah, untuk apa kita membahas itu?" jawab Ardan mengalihkan pembicaraan.
"Aku ke sini ingin menanyakan sesuatu pada Oma?"
"Soal?"
Dreett... dreet...
Ponsel disaku Ardan tiba-tiba bergetar. Ia pun segera mengangkatnya.
"Hallo, ada apa Mr.Park?" tanya Ardan sambil melihat jam di tangannya.
"Baiklah, tunggu aku di sana! Sebentar lagi aku akan berangkat,"
Ardan pun beranjak dari kursi. "Oma, aku harus pergi sekarang?"
"Bukankah kau ingin menanyakan sesuatu?"
"Lain kali saja, Oma. Aku sedang ada rapat." Ardan pun mengecup kening sang Oma, lalu dia berlalu pergi.
Tiba di gedung DC Grup, Ardan langsung menuju ruangannya karena sudah di tunggu oleh Mr.Park.
Clek ...
Pintu ruangan Ardan terbuka, Mr.Park yang sedari tadi duduk pun berdiri memberi hormat pada sang boss yang baru datang.
"Mr.Park, maaf aku sedikit telat," ucapnya seraya duduk di sofa dekat Mr.Park.
"Tidak apa, Tuan. Oh iya, sekretaris baru Anda mulai hari ini sudah mulai bekerja," kata Mr.Park. "Ini data pribadi sekretaris baru Anda."
"Akan aku baca nanti, mana berkas yang kau bilang tadi?"
"Ini, Tuan!" Mr.Park menyerahkan lembaran berkas.
Ardan membacanya dengan teliti dan serius, wajah pemuda itu sangat berbeda ketika dia sedang fokus dengan wajah yang biasanya terlihat santai.
"Kenapa perusahaan elektronik itu bersikeras untuk bekerjasama dengan perusahaan kita? Bukankah kemarin aku sudah menolaknya?" tanya Ardan penasaran.
"Perusahaan elektronik itu sedang berada di ambang kebangkrutan, Tuan. Dia berusaha mati-matian untuk mencari perusahaan yang mau bekerjasama dengannya," jelas Mr.Park.
"Apa jaminannya jika aku menyetujui kerjasama itu?" tanya Ardan.
"Entahlah, Tuan. Mereka hanya mengirim juru bicaranya saja pada saat kita rapat waktu itu. Maka dari itu, pemilik perusahaan elektronik itu ingin mengajak Anda bertemu untuk membicarakan jaminan apa yang Anda mau," jelas Mr.Park.
"Jam berapa pertemuan itu?"
"Jam makan siang, Tuan. Di restoran Blue Sky."
"Baiklah ...., aku akan menemuinya nanti." Setelah itu, Ardan pun berdiri menuju kursi kebesarannya.
"Mr.Park, kapan jadwal senggangku?" tanya Ardan sambil menghidupkan laptop di depannya.
"Sepertinya beberapa bulan ke depan, Anda tidak memiliki jadwal senggang. Memangnya kenapa, Tuan?" tanya Mr.Park. Sebenarnya dia tahu apa tujuan boss–nya itu menanyakan jadwal senggangnya, karena boss–nya itu mungkin merindukan gadis yang berada villanya.
Ardan menghela nafas kasar, dia sangat ingin bertemu Arini. Namun terhalang oleh banyaknya pekerjaan di Jakarta.
"Tidak ada apa-apa," jawab Ardan kesal.
"Baiklah, kalau begitu saya keluar dulu, Tuan."
"Hhmm ..."
Mr.Park pun melangkahkan kakinya ingin keluar ruangan, tapi langkahnya terhenti saat mengingat sesuatu. Ia pun berbalik badan dan menghampiri boss–nya lagi.
"Ada apa lagi, Mr.Park?
"Tuan, saya ingin berbicara sesuatu kepada Anda?"
"Bicara apa?" tanya Ardan penasaran.
"Tapi saya ragu untuk mengatakannya, karena saya belum mempunyai bukti yang kuat," jawab Mr.Park.
Mr.Park ingin mengatakan sesuatu yang ia dapat kemarin tentang kejanggalan penurunan saham perusahaan. Namun ia masih ragu, untuk mengatakannya pada Ardan. Ia masih menyelidikinya, apakah memang benar ada yang memanipulas data saham perusahaan?
"Apa maksudmu, Mr.Park?"
"Emm ... tidak jadi, Tuan, lain kali saja!?"
"Oke...," jawab singkat Ardan.
Pria bernama lengkap Park Jae Jon itu pun pergi dari ruangan Ardan. Ia masih ragu untuk mengatakan kejanggalan di dalam hatinya.
"Apa yang dimaksud Mr.Park tadi? Aku tidak terlalu paham," gumam Ardan.
Ia pun mengambil ponsel yang ada di saku jasnya.
"Kenapa gadis itu tidak menghubungiku? Menyebalkan! Tapi aku tidak akan marah," kata Ardan bermonolog sambil menyunggingkan senyumnya.
Ia pun berinisiatif menelepon Arini terlebih dahulu. Tidak menunggu lama, sambungan video itu pun direspon oleh Arini.
"Ha–"
Tut ... tut ...
Belum juga ia berbicara, tapi sambungan video itu sudah dimatikan oleh Arini. Ardan pun mengirimkan pesan.
Ardan : "Kenapa dimatikan?"
Arini : "Aku tidak suka dengan sambungan video."
Ardan : "Aku ingin lihat wajah cantikmu, aku sangat merindukanmu."
Arini : "Tidak"
Ardan : "Ayolah ... kumohon!!"
Ardan pun mengalihkan ke sambungan video, dan betapa bahagianya pemuda itu ketika melihat wajah gadis yang sangat ia rindukan. Wajah gadis berpipi cabi itu memenuhi layar ponsel milik Ardan. Beberapa kali Ardan mengedipkan netranya melihat paras ayu gadis yang selalu membuatnya tersenyum itu.
"Kau sedang apa?"
"Tidak sedang apa-apa"
"Kau semakin bertambah cantik saja, will you marry me, Honey?"
Gadis itu tidak menjawab, wajahnya nampak memerah karena malu.
"Malu ya..? Menggemaskan sekali,"
"Tidak, aku tidak malu"
Ditengah obrolan mereka di telepon, suara ketukan terdengar dari balik pintu ruangan Ardan.
"Akan aku hubungi lagi nanti, see you, Honey."
Ardan mengakhiri sambungan videonya pada Arini,
"Masuk!"
Seorang wanita bertubuh ramping memasuki ruangan Ardan.
"Kau? Apa yang kau lakukan di sini?"