Mentari pagi sudah mulai menampakkan dirinya. Cuaca pengunungan yang dingin membuat siapa saja enggan beranjak dari tempat tidur yang hangat.
Arini membuka matanya perlahan, ia merasa ada sesuatu yang menindihi tubuhnya dari belakang. Dilihatnya, ternyata seorang pemuda yang masih terlelap tidur sambil tetap memeluk tubuhnya. Arini menatap wajah Ardan yang sedang tertidur dengan rasa kagum. Betapa sempurnanya ciptaan Tuhan yang satu ini. Pahatan sempurna terpampang nyata di wajah tampan pemuda berambut tebal itu. Hidung yang mancung dan terdapat lesung pipi yang menambah ke tampanannya ketika tersenyum.
Gerakan dari Rizky menyadarkan Arini dari lamunannya menatap wajah Ardan. Gadis itu pun beranjak dari tempat tidur, ia segera pergi ke kamar mandi sebelum Rizky terbangun.
"Mbak Arini, Mbak!" panggil Rizky yang baru saja bangun.
Arini yang baru saja keluar dari kamar mandi pun menghampiri Rizky.
"Sstt ... jangan berisik! Kak Ardan masih tidur," ucap Arini.
"Kak Ardan kok tidur di sini, Mbak?" tanya Rizky dengan polos.
Arini tidak menjawab, ia pun segera ke ruang ganti. "Cepat mandi, Ki! Seragam sekolahnya sudah Mbak siapin."
"Iya, Mbak" jawab Rizky.
Arini turun menuju dapur untuk membuat sarapan, tapi langkahnya sedikit melambat karena ia melihat seorang wanita sedang sibuk mengepel lantai. Ia pun menghampirinya.
"Maaf, Anda siapa?" tanya Arini.
"Selamat pagi, Nona. Saya Mia pelayan baru," jawabnya. "Saya kemari atas perintah Tuan Ardan."
"Salam kenal, saya Arini." Arini mengulurkan tangannya yang langsung dibalas oleh wanita berambut pendek itu.
Arini pun melanjutkan langkahnya menuju dapur. Ia memulai kegiatan memasaknya, akhir-akhir ini ia memang sangat suka memasak. Sampai suara Rizky membuatnya terkejut.
"Mbak, Mbak Arini!" panggil bocah itu sambil berlari.
"Apa sih, Ki? Jangan lari-lari nanti jatuh!" kata Arini seraya meletakkan sarapan yang sudah selesai ia masak ke meja makan.
"Mbak, coba liat seragam baru Kiki! Bagus 'kan?" ujar Rizky seraya berpose layaknya menunjukkan seragam barunya pada Arini.
"Baguslah, 'kan baru," jawab Arini.
Ardan dan Mr.Park pun juga sudah bangun. Mereka semua sarapan bersama di meja makan dengan suasana hening, hanya ada celotehan Rizky.
Seusai sarapan, Ardan kembali ke kamarnya sedangkan Arini mengantar Rizky ke depan untuk berangkat sekolah.
"Mbak, Kiki berangkat ya," kata bocah laki-laki itu seraya mengecup pipi sang Kakak.
"Iya, hati-hati. Jangan nakal ya, Ki!"
Rizky pun memasuki mobil sambil melambaikan tangannya ke arah Arini. Setelah mobil yang mengantar Rizky benar-benar menghilang, Arini pun masuk ke dalam rumah. Ia segera naik ke lantai atas untuk membereskan pakaian Rizky yang kemarin baru di beli. Ia lupa untuk meletakkannya di dalam lemari pakaian.
"Arini, apa itu kau?" tanya Ardan dari dalam walk-in closet.
Arini pun menghampiri ruang ganti tersebut. "Iya, ada apa?"
Ardan pun keluar dari walk-in closet dengan jas hitam dan sepatu fantovel berwarna senada. Pemuda itu terlihat sangat tampan dan berwibawa dengan pakaian formalnya, apa lagi dengan kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. Arini tercekat melihat penampilan Ardan yang sangat jauh berbeda dari kesehariannya. Biasanya pemuda itu hanya menggunakan kaos oblong dan celana pendek ketika di rumah. Tapi kali ini dia menggunakan setelan jas berwarna hitam yang sangat berbeda dari biasanya.
Ardan pun menghampiri Arini yang sedang terkesima dengan penampilannya. "Kenapa bengong gitu liatnya? Yah ... aku memang tampan, tidak perlu sekagum itu," goda Ardan, yang langsung membuat wajah Arini bersemu merah.
Perlahan pemuda itu semakin mendekati Arini yang berdiri tidak jauh darinya. "Kau juga sangat cantik hari ini dan wangi, aku suka dengan wangi tubuhmu," bisik Ardan di telinga Arini, yang membuat kulitnya meremang.
Arini dengan cepat mendorong tubuh Ardan untuk menjauh darinya.
"Apa kau tidak mau memelukku sebelum aku berangkat?" tanya Ardan memanja.
"Tidak, aku sedang sibuk," jawab Arini ketus sambil berlalu. Tapi dengan cepat Ardan menarik tubuh Arini ke dalam pelukannya. Tubuh gadis itu didekatkannya ke dinding sampai tidak bisa bergerak. Tanpa aba-aba, Ardan mencium bibir Arini, melumatnya dengan lembut. Awalnya Arini menolak ciuman itu, tapi lama-lama gadis itu menikmatinya. Arini pun sedikit membuka mulutnya memberi akses untuk Ardan mengekspor bibir dan lidahnya. Lidah Ardan dengan lihai memainkan lidah Arini yang masih terlihat kaku ketika berciuman. Rasa manis bibir Arini membuat Ardan merasa candu. Ciuman yang awalnya lembut berubah menjadi liar, Ardan semakin tidak bisa mengontrol hasratnya untuk lebih jauh menjamah tubuh Arini. Perlahan tangan Ardan bergerak menyusuri lekukan tubuh Arini, Pemuda itu dengan nakalnya meremas bongkahan indah milik Arini yang tertutup celana panjang. Arini terkesiap dengan ulah nakal Ardan, ia pun melepaskan ciumannya dan ingin berlalu pergi. Namun ditahan oleh Ardan.
"Hei ... jangan marah! Maaf, aku tidak bisa mengendalikannya saat bersamamu," ujar Ardan. Namun tidak dihiraukan oleh Arini, gadis itu pun berlalu pergi. Saat hendak ke luar kamar, pintu kamar sudah terbuka terlebih dahulu menampakkan seorang pria bertubuh besar di hadapannya.
"Maaf, Nona. Apa Tuan Ardan ada di dalam?" tanya Mr.Park.
"Hhmm ... masuklah!" Arini pun berlalu pergi.
"Kau mengganggu saja," kata Ardan ketus. Ia pun juga berlalu pergi meninggalkan Mr.Park yang kebingungan tidak tahu salahnya dimana.
"Arini, tunggu!" ujar Ardan seraya berlari mengejar Arini yang terlihat marah. "Honey, apa kau marah? Maafkan aku, oke!" bujuk Ardan.
Arini masih tidak menjawab, wajahnya terlihat sangat kesal karena ulah nakal Ardan. Walaupun mereka sudah menikah secara siri, tapi Arini tidak mau bagian tubuh berharganya dipegang sebelum menikah secara resmi.
Dreet ... dreet ...
Ponsel Ardan tiba-tiba bergetar. "Ya, ada apa? Ya, aku berangkat sekarang juga," jawab Ardan pada sambungan telepon.
"Mr.Park ... kita berangat sekarang!" teriak Ardan. Ia pun kembali menghampiri Arini yang sudah duduk di ruang tv.
"Honey, aku harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik, aku akan kembali secepatnya," kata Ardan.
Arini yang awalnya cuek akhirnya menatap Ardan, ia sebenarnya tidak mau Ardan pergi, tapi itu bukan haknya untuk melarang. Arini pun terpaksa menganggukan kepalanya tanpa menjawab.
Ardan kemudian memberikan ponsel yang ia pegang dan mengeluarkan kartu debit dari dompetnya kepada Arini. "Pakailah ini untuk kebutuhanmu!"
Arini mendongak. "Tidak perlu, Kak Ardan sendiri juga membutuhkannya. Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu," jawab Arini.
"Kau sama sekali tidak merepotkanku, uangku tidak akan habis kalau hanya untuk kebutuhanmu," jawab Ardan.
"Tapi ponselmu?"
"Sampainya aku di Jakarta, aku akan membelinya lagi." Ardan pun mengecup kening Arini, berat rasanya meninggalkan gadis polos ini. Ia masih ingin menikmati hari bersama orang yang ia cintai. Tapi apa boleh buat, perusahaannya sekarang ini membutuhkannya.
Ardan kemudian mengajak Arini berdiri dan menggenggam tangan gadis itu berjalan sampai ke halaman depan. "Aku akan menghubungimu sampai Jakarta," katanya.
"Iya, jaga kesehatanmu!"
"Tentu, panggil aku sayang!" pinta Ardan dengan sedikit menggoda Arini.
"Tidak," tolak Arini.
"Ayolah ...!Sekali saja," Ardan memelas seperti anak kecil yang minta dibelikan es krim.
Arini menghela napas. "Iya, Sa–Sayang," ucapnya dengan suara pelan.
Ardan tersenyum puas mendengarnya, ia pun mengecup singkat bibir Arini dan setelah itu ia berjalan menuju mobil yang sudah ada Mr.Park di sana. Sebelum masuk ke dalam, Ardan tidak lupa melambaikan tangan pada Arini. Setelah Ardan benar-benar masuk ke dalam, mobil hitam itu pun perlahan menghilang dari pandangan Arini.
Ada rasa kehampaan di hati gadis itu setelah Ardan pergi. Villa terasa sangat sepi tanpa pemuda tampan itu sekarang.