Ardan kembali bertanya pada Arini yang tetap malingkan wajahnya. "Apa kau menyukaiku, Arini?"
"Tidak, aku tidak menyukaimu," jawab Arini dengan yakin.
"Tidak mungkin. Kalau kau memang tidak menyukaiku, tataplah mataku?" ucap Ardan.
Kali ini, Arini memalingkan wajahnya pada Ardan yang bersimbuh di bawahnya. Mata kedua insan itu bertemu, ada ketulusan yang terlihat di mata Ardan. Pemuda itu benar-benar tulus dengan yang dia ucapkan, Arini dapat melihat itu dari semua perlakuan Ardan padanya. Bukan hanya sekedar rasa simpati yang Ardan tunjukan namun juga ketulusan dari dalam hatinya. Tapi jika itu benar, Arini tetap akan menyangkal perasaannya.
"AKU TIDAK MENYUKAIMU, apa kau masih tidak percaya?" kata Arini dengan tegas. Keputusan yang ia ambil ini entah benar atau tidak, yang terpenting Arini bisa menjauh dari pria di depannya ini.
Ardan menarik napas panjang sambil melepas genggamannya tangannya pada tangan Arini. "Baiklah, jika itu jawaban yang kau berikan. Maaf aku sudah memaksamu untuk menyukaiku," ujar Ardan putus asa.
Sebenarnya, Arini tidak tega melihat Ardan yang mungkin terluka karena perkataannya. Namun gadis itu sangat yakin, keluarga dari pihak Ardan tidak akan mungkin merestui hubungan mereka.
"Tidurlah di sini! Aku akan tidur di kamar sebelah," kata Ardan dengan nada dingin dan berdiri meninggalkan gadis itu. Arini bukanlah cinta pertama baginya. Tapi, dia sudah jatuh hati pada gadis yang jarang tersenyum itu. Ardan sendiri tidak tahu alasannya mengapa. Sakit hati yang Ardan rasakan bukan karena penolakan dari Arini, namun karena ia mengetahui gadis itu berbohong padanya tentang perasaan yang sesungguhnya. Ardan pun keluar dari kamar tanpa menoleh ke arah Arini.
Rasa sesak menyelimuti hati gadis itu, ia menatap nanar ke arah Ardan yang perlahan menghilang dari balik pintu. Gadis itu pun mengambil posisi untuk merebahkan tubuhnya di sebelah Rizky yang tertidur pulas.
Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, Arini yang sedari tadi berusaha memejamkan matanya untuk tidur, tapi tetap saja tidak bisa. Ia masih terngiang binar mata pemuda bernama Ardan di matanya, yang membuat ia sulit untuk menuju alam mimpi.
Tidak jauh berbeda dengan Arini, Ardan juga merasakan hal yang sama. Rasa kantuk juga belum ia rasakan sedari tadi. Merasa bosan, Ardan pun bangkit dari tempat tidur seraya memakai kaosnya, ia berjalan menuju dapur yang berada di lantai bawah. Langkahnya terhenti saat melewati kamar miliknya yang ditempati Arini dan Rizky, pintunya tertutup rapat. "Huff ..." Pemuda itu pun melanjutkan langkahnya menuju dapur.
Sampai di dapur, ia kelihat lampu dapur yang menyala, Ardan pun berhenti sejenak. "Siapa?" Lalu ia melanjutkan langkahnya. "Mr.Park, apa itu kau?" tanya Ardan. Namun tidak ada jawaban, ia pun mendekat ke arah pantry. Bukan Mr.Park yang ia lihat, melainkan gadis yang memakai kemeja putih miliknya yang terlihat sangat kebesaran di tubuh kecilnya. Gadis itu tengah berjongkok di balik lemari es, seperti tengah mengambil sesuatu.
"Kau sedang apa?" tanya Ardan, yang seketika mengagetkan gadis itu.
"K—kak Ardan? A—aku haus jadi aku pergi mengambil minum, kau juga mau minum?" ujar Arini.
"Boleh," jawab Ardan seraya duduk di kursi pantry.
Arini pun mengambil gelas yang berada di pantry, menuangkannya untuk Ardan dan dirinya. Lalu menyerahkannya pada Ardan yang sudah duduk di kursi pantry.
"Terimakasih." Pria itu pun meneguk minumannya sampai habis. "Kau tidak tidur?" tanya Ardan setelah meneguk minumannya.
"Tidur, hanya saja aku tadi merasa haus," jawab Arini bohong sambil meletakkan gelas yang tadi ia minum.
"Apa kau sudah mengantuk? Mau menemaniku sebentar! Aku tidak bisa tidur sedari tadi," kata Ardan.
Dijawab Arini dengan anggukan, ia pun ikut duduk di pantry sebelah Ardan.
"Arini, kau mau mendengar aku menyanyi?" tanya Ardan.
"Kak Ardan bisa menyanyi?" Arini balik bertanya.
"Lebih tepatnya hanya memainkan gitar," jawab Ardan.
"Emm, boleh."
"Tunggulah! Aku akan ambil gitarny," kata Ardan.
"Iya," jawab Arini.
Ardan pun berjalan menuju ruang tv untuk mengambil gitar miliknya. Tidak berapa lama, Ardan datang menghampiri Arini yang duduk di kursi pantry dengan gitar di tangan kirinya. Ardan pun melayangkan senyumnya pada Arini.
"Siap mendengar suara gitar?" tanya Ardan.
"Ya, suara gitar ya? Bukan suaramu?" sindir Arini pada Ardan sambil tersenyum.
"Hehe ... kau mengejekku rupanya?" sahut Ardan.
Ardan perlahan mulai memetik gitar akustik berwarna coklat tersebut sambil menyanyikan sebait lagu.
"Pelan sekali suaranya, aku tidak dengar?" kata Arini.
"Kau bilang ingin mendengar suara gitar 'kan? Bukan suaraku," sahut Ardan.
"Aku tadi hanya bercanda," ucap Arini tersenyum tipis.
"Apa kau yakin mau dengar? Suaraku terlalu MERDU, MErusak DUnia maksudnya. Hehehe ...," kekeh Ardan.
Arini yang mendengar menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum.
Mereka berdua kembali seperti biasanya, melupakan hal yang sebelumnya terjadi.
Know you love me, girl
So that i love you
Know you love me, boy
So that i love you,
Don't worry bout a thing, my love*
Arini yang mendengar lagu dinyanyikan Ardan, sedikit bingung karena bahasa yang dinyanyikan pemuda itu ada yang ia tidak mengerti.
Dengan polosnya, Arini bertanya pada Ardan. "Pakai bahasa apaan sih? Aku gak ngerti.
Ardan berhenti memainkan gitarnya, "Kamu gak ngerti bahasa Inggris?"
"Bukan itu, tapi bahasa yang satunya?" celetuk Arini dengan polos.
"Oh ... haha. Itu bahasa Korea, kamu tidak mengerti artinya?" tanya Ardan.
"Ya gak ngerti lah, aku wong Jowo, bukan orang Korea," celetuk Arini lagi, yang mana membuat Ardan tertawa mendengar perkataan polos Arini.
Ardan meletakkan gitarnya di bawah, kemudian ia mendekat pada Arini. Memajukan wajahnya pada gadis itu, menatap lekat wajah polos tanpa make up itu.
Jantung Arini serasa ingin berlari dari tubuhnya, pipinya juga mulai menghangat. Untuk kesekian kalinya, pemuda di depannya ini membuat jantungnya berdegup kencang.
"Aku tahu kau mencintaiku, karena aku juga mencintaimu. Aku akan berada di sampingmu selalu. Jangan takut pada hal itu, Sayangku," bisik Ardan di telinga Arini.
Membuat kulit tubuh Arini meremang. Ini adalah sensai baru yang belum ia rasakan sebelumnya. Perlahan ia mendorong tubuh Ardan untuk memberi jarak padanya.
"A–apa yang kau lakukan?" tanya Arini dengan terbata karena gugup.
Ardan yang melihat ekpresi wajah Arini, menyeringai jahil. "Aku hanya memberitahukan arti lagu yang aku nyanyikan tadi."
"Ouh ... le–lebih baik aku tidur. Selamat malam!" kata Arini gagap seraya beranjak dari tempat duduknya.
Namun tangan Arini dicekal oleh Ardan, pemuda itu tanpa aba-aba langsung menciun bibir tipis Arini. Melumat dan menyesapnya dengan lembut, Arini yang menerima ciuman dadakan itu membulatkan matanya dengan sempurna, napasnya terengap-engap dengan tangannya yang memukul-mukul dada Ardan. Memohon untuk melepaskannya karena ia hampir ke hilangan oksigen, tapi Ardan tidak menghiraukannya sama sekali. Dirasa cukup, Ardan pun melepaskan ciuman mendadaknya pada Arini. Napas Arini tersengal-sengal, ia berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya.
"Kau gila! Ingin membunuhku?" cela Arini. Gadis itu pun hendak meninggalkan Ardan. Tapi pemuda itu malah memeluknya dengan erat dari belakang.
"Aku mohon Honey, jangan pernah membenciku apapun alasannya itu. Aku sangat mencintaimu," bisik Ardan di ceruk Arini. "Aku tidak peduli kau menyukaiku atau tidak, tapi aku akan berusaha membuatmu menyukaiku dan mencintaiku," katanya lagi.
"Kau tidak perlu membuat aku menyukaimu, karena aku sudah menyukaimu. Bahkan aku sudah mencintaimu," gumam Arini dalam hati.
"Kak Ardan, lepaskan!" ucap Arini berusaha melepaskan tubuhnya dari pelukan Ardan.
"Tidak, aku tidak akan melepaskanmu" sahut Ardan.
"Jadilah istriku, Arini! Aku janji akan membuatmu bahagia dan akan selalu ada untukmu," kata Ardan dengan tulus.
Pemuda itu membalikkan tubuh Arini agar menghadapnya. Arini tertunduk, ia tidak mau Ardan melihatnya menangis.
"Hei ..., kenapa menangis? Apa kata-kataku menyakitimu?" tanya Ardan khawatir seraya menangkup kedua pipi Arini.
Arini bergeming tidak menjawab.
"Katakan apa yang membuatmu menangis?" tanya Ardan sambil mempererat pelukannya.
Kali ini, Arini membalas pelukan dari Ardan. Ia memang sangat membutuhkan pelukan hangat dari sang suami sirinya itu. Terlalu sulit baginya untuk jujur dengan keadaan hatinya yang sekarang sedang hancur.
"Sstt ... sudahlah, jangan menangis, ayo kita duduk!" Ardan membawa Arini ke sofa ruang tv.
Pemuda itu kembali menangkup kedua pipi Arini yang terlihat merah, mengusap air matanya dengan lembut. Mata keduanya kembali bertemu, menatap satu sama lain. Perlahan Ardan mendekatkan wajahnya, hingga tidak ada jarak diantara mereka. Ardan pun melabuhkan bibirnya sekali lagi pada bibir ranum milik Arini, gadis itu memejamkan kedua matanya.
Lalu setelah cukup, Arini pun membuka matanya, menatap wajah Ardan. Pemuda dihadapannya ini bak pangeran yang sangat tampan, hidungnya yang mancung, wajahnya yang mulus tanpa lecet dan tatapan eyes dragon yang Ardan miliki, menjadi ciri khas pemuda bernama lengkap Ardan Daviez itu. Bagaimana mungkin Arini tidak menyukai pemuda sempurna di depannya ini.
Arini terlonjak saat tangan kiri Ardan hendak membuka satu persatu kancing kemejanya, gadis itu pun menahannya.
"Why, Honey?" tanya Ardan dengan suara serak menahan birahi yang sudah tidak bisa ia tahan lagi. "Sial, aku menginginkannya!" umpatnya.
"Jangan! A–aku tidak mau melakukannya sebelum menikah," kata Arini. Ardan yang mendengar tersenyum tipis seraya mencubit hidung kecil Arini.
"Kamu lupa ya? Kita 'kan sudah menikah walaupun itu hanya secara agama. Jadi kamu harus melaksakan kewajibanmu melayaniku, Honey," jawab Ardan.
"Aku takut," kata Arini.
"Aku akan pelan-pelan dan hati-hati. Percayalah!" bujuk Ardan meyakinkan.
Arini hanya pasrah dengan yang dikatakan Ardan, tapi di dalam hatinya ada rasa antara takut dan ragu-ragu.
"Kamu sangat cantik, Honey," puji Ardan.
Saat ia tengah ingin mencium kembali bibir Arini. Tiba-tiba suara sebuah ketukkan terdengar, Ardan dan Arini pun terheran. Siapa yang mengetuk pintu tengah malam begini?