Di suatu tempat yang sangat jauh dari jangkauan hiruk pikuk kehidupan manusia sesungguhnya, di mana tempat ini merupakan tempat yang begitu rahasia dan tidak diketahui oleh siapa pun. Mereka hanya mengetahui kehidupannya saja tanpa mengetahui tempat tinggal sesungguhnya.
Seorang gadis tengah melamun dengan menopangkan tangannya pada meja yang terbuat dari batu. Pandangannya lurus ke depan, ingatannya kembali pada kejadian sebelumnya, di mana seorang laki-laki yang beberapa hari ini sudah menjadi temannya tengah duduk berduaan dengan perempuan lain di pesisir pantai.
Emily. Yup, dia adalah Emily Poetri Petter.
Belum lagi ingatannya tertuju pada perkataan salah satu kakaknya. Jeffa, untuk yang pertama kalinya Jeffa mengatakan sepenggal kalimat yang mampu membuat hatinya teriris. Emily tahu kalau Jeffa menginginkan yang terbaik untuknya, salah satunya mungkin dengan menghilangkan sifat rasa ingin memilikinya yang begitu tinggi.
Anggap saja Emily terobsesi. Ya, Emily mengakui itu. Namun, apakah salah jika dirinya hanya menginginkan seorang teman seutuhnya? Dalam artian Emily ingin memiliki teman yang tidak memiliki teman juga.
Yang Emily inginkan adalah seorang teman yang begitu bergantung padanya, begitu pun sebaliknya. Ia tidak ingin jika temannya berteman dengan orang lain, karena menurutnya itu sangat menyakitkan.
Usapan di puncak kepalanya membuat Emily tersentak kaget dan langsung menoleh ke belakang. Bibir itu tertarik ke atas, menampilkan sebuah senyuman manis saat melihat sang ibu lah yang mengucap puncak kepalanya.
Valerie Yovanka. Seorang wanita yang menjadi istri dari seorang raja laut Petter, sosok wanita yang begitu lemah lembut, namun bijaksana jika sudah duduk di kursi kebesarannya. Memiliki paras yang cantik sehingga menurun pada Emily, selaku putri satu-satunya.
"Kenapa kamu melamun, putriku?" tanya Valerie seraya mendudukkan dirinya di samping Emily.
"Aku tidak melamun, Bu."
Wanita itu menghela napasnya kasar, namun tidak menyurutkan senyuman cantiknya. Valerie tahu betul bagaimana sifat anak gadisnya ini. Emily selalu berusaha menutupi sesuatu darinya, apapun itu. Tak hanya padanya, bahkan pada kedua kakaknya pun Emily sangat tertutup.
"Kedua kakakmu ke mana?" Valerie mengalihkan pembicaraan.
"Aku tidak tahu,"
Mendengar jawaban yang diberikan Emily seadanya, membuat Valerie semakin yakin kalau Emily sedang tidak baik-baik saja. Terlebih lagi, Emily tidak mungkin mengetahui keberadaan kedua kakaknya karena yang ia tahu mereka bertiga selalu bersama-sama.
Valerie yang melihat itu langsung melenggang pergi tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, memberikan Emily waktu untuk sendiri. Bagaimana pun juga jika dirinya terus memaksa, Emily tidak akan pernah mau bercerita padanya.
Wanita itu berjalan ke sebuah ruangan di mana suaminya berada, Jason Petter. Valerie menghampiri Jason yang sedang duduk di kursi kebesarannya sembari menatap para ajudannya. Sejujurnya Valerie tidak ingin mengganggu kegiatan Jason, tetapi karena ini ada kaitannya dengan putri bungsunya maka Valerie harus tetap menghampiri lelaki gagah itu.
Jason yang melihat istrinya tengah berjalan ke arahnya lantas menyuruh para ajudannya untuk segera membubarkan diri. Begitu berada di hadapannya, Jason dapat melihat dengan jelas raut wajah yang tak biasanya Valerie tunjukkan membuatnya menaikkan sebelah alisnya heran.
"Kenapa wajahmu terlihat seperti itu?"
"Emily."
Kedua alis Jason mengerut. "Emily? Ada apa dengan dia? Apa putriku itu baik-baik saja?"
Wajar saja, menjadi anak gadis satu-satunya membuat Emily menjadi selalu yang diperhatikan oleh kedua orangtuanya dan juga kedua kakaknya.
"Dia selalu bersikap tertutup, aku sampai bingung harus bagaimana lagi menghadapi sifat dia yang seperti itu," tutur Valerie yang terdengar putus asa. "Tolong aku, Jason..."
Lelaki yang menggunakan pakaian khas seorang rajanya itu tersenyum seraya mengulurkan tangannya untuk mengusap sebelah pipi Valerie, berusaha menenangkannya. "Kamu tidak perlu khawatir, aku pasti akan menolongmu. Dan lagi pula bukannya kita sudah tahu bagaimana sifat dia? Jadi, kamu tidak perlu cemas seperti ini."
"Tetap saja aku merasa khawatir, aku takut terjadi sesuatu buruk pada putriku namun aku tidak mengetahui hal itu. Tadi saja Emily terlihat sedang melamun, ketika aku bertanya pun dia hanya mengatakan tidak apa-apa," ujar Valerie. "Bagaimana bisa aku terlihat biasa saja ketika melihat putriku melamun seperti itu? Dan ucapannya pun berbeda dengan raut wajah yang ditunjukkannya." Lanjutnya.
"Iya nanti aku akan mencari apa yang sebenarnya terjadi pada Emily," sahut Jason masih dengan nada santainya. Padahal jauh di dalam lubuk hatinya, ia sendiri pun merasa cemas dengan sifat yang dimiliki oleh putrinya. Namun, Jason tak ingin menunjukkan rasa khawatirnya di hadapan Valerie, karena Jason tak mau membuat Valerie semakin khawatir.
Jason pun bangkit dari duduknya dan menyuruh Valerie untuk menunggunya sebentar, sedangkan dirinya akan pergi mencari Emily untuk membicarakan hal ini—hal yang membuat Valerie secemas ini.
Begitu keluar dari ruangan yang bisa disebut ruangan untuk perkumpulan jika ada sesuatu yang harus dibicarakan, Jason melihat Emily yang sedang duduk sembari termenung. Benar saja apa yang dikatakan Valerie mengenai anak mereka.
Tanpa berbasa-basi lagi, Jason langsung menghampiri anak bungsunya. Ia berdeham membuat Emily mengalihkan perhatiannya, saking masuk ke dalam lamunannya Emily sampai tak menyadari keberadaan sang ayah.
"Hai anak Ayah! Hari ini baru bertemu ya?" sapa Jason dengan suara beratnya.
Emily hanya tersenyum sembari menganggukan kepalanya. Walaupun bisa dikatakan mereka satu istana, tetapi karena kesibukan Jason yang membuat Emily jarang sekali bertemu dengan sang ayah. Dan ketika Jason sudah tidak sibuk, Emily pasti selalu tidak ada di istana.
"Bagaimana hari ini? Ada yang membuatmu senang atau sedih?"
Tak dapat dipungkiri, Emily sangat nyaman jika berada di samping sang ayah. Ayahnya yang selalu bisa menempatkan dirinya tak hanya sebagai seorang ayah, tetapi juga bisa menjadi seorang teman. Dan Emily menyukai itu.
Emily memang sangat dekat dengan Jason, namun Emily pun dekat juga dengan Valerie. Berbeda dengan kedua kakaknya, mereka hanya dekat dengan Valerie. Meskipun Jeffa dan Jeffry sering sekali ikut dengan Jason untuk kepentingan kerajaan, tetap saja keduanya hanya dekat dengan Valerie.
"Biasa-biasa saja, Yah. Tidak ada yang spesial." Emily menjawabnya dengan memandang lurus ke depan. Sebenarnya Emily ingin sekali mengatakan pada Jason bahwa dirinya merasa sedih karena Sean memiliki teman selain dirinya.
Namun, rasanya itu tidak mungkin. Emily tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya berteman dengan seorang manusia yang berbeda alam dengannya, itu sama saja dengan bunuh diri jika dirinya mengatakan itu pada sang ayah.
Jason memang sangat menentang hubungan dalam hal apapun jika berkaitan dengan manusia yang berada di darat. Jelas saja mereka itu adalah orang yang sangat jauh berbeda, persamaannya hanya mereka sama-sama seorang manusia. Sudah hanya itu. Tetapi perbedaannya yang begitu banyak.
Jika saja Jason tahu kalau Emily memiliki hubungan pertemanan dengan Sean, sudah dipastikan dirinya akan diasingkan oleh Jason. Emily benar-benar tidak bisa membayangkan jika satu hal itu terjadi. Maka dari itu, Emily akan menyembunyikannya dengan sangat rapat.
***