Chereads / Persahabatan beda alam / Chapter 30 - PBA 30

Chapter 30 - PBA 30

Jason menautkan kedua alisnya serta pandangannya lurus ke depan dengan tajam, tepat di depannya kedua putranya berdiri dengan menundukkan kepalanya ketakutan. Meskipun begitu Jason tidak merasa kasihan sedikit pun, karena menurutnya ia harus mendidik anak-anaknya dengan tegas agar anaknya tidak tumbuh menjadi seseorang yang selalu ingin dimanjakan oleh kedua orantuanya.

Kadang Jason sendiri bingung pada istrinya itu yang tidak pernah sedikit pun memarahi anak-anaknya, padahal sudah tahu kesalahan anaknya itu fatal tetapi tetap Valerie tidak pernah bersikap seperti dirinya.

Pria itu berjalan mendekati kedua putranya, menatapnya tepat di wajah mereka yang sedang tertunduk. Kakinya melangkah mengelilingi kedua putranya itu dengan kedua tangan yang bersedekap dada.

"Untuk apa kalian pergi ke darat dan tanpa sepengetahuan Ayah? Apa kalian tidak mendengarkan ucapan Ayah untuk mencari Emily?" Jason bertanya dengan nada datar serta tajamnya.

Tadi ketika dirinya sedang memantau keadaan di area daratan, ia tak sengaja melihat sosok yang tak asing di matanya sedang berjalan di salah satu kampung dengan celingak-celinguk seperti sedang mencari seseorang.

Dan detik itu pula Jason langsung meledakkan emosinya dan menyuruh prajuritnya untuk membawa Jeffa dan Jeffry kembali ke istana.

Jeffa berusaha untuk memberanikan diri menatap Jason. "M-maaf Ayah, kami hanya ingin mencari Emily di sana. Dan Ayah jangan menyalahkan Jeffry juga, karena di sini Jeffa yang mengajak Jeffry untuk mencari Emily di darat." Sangkal Jeffa dengan cepat, tapi tersirat juga nada penuh keraguan di sana. Antara salah berbicara dan ingin membela diri.

Kaki Jason berhenti melangkah, tepat di belakang mereka Jason langsung berjalan sehingga berada di hadapan kedua putranya. Sebelah alisnya terangkat, menatap Jeffa penuh tanya. "Untuk apa kamu ingin mencari Emily hingga ke darat? Sebegitu yakinkah kalau Emily berada di sana?"

"Bahkan kamu pun tahu Jeffa, Emily hanya dapat bertahan paling lama tiga puluh menit berada di daratan."

Jeffa mengangguk, ia tahu betul apa yang dikatakan oleh ayahnya tadi. "Jeffa tahu, Yah. Tapi Jeffa berpikir, bisa saja Emily memakai cincin milik Ibu."

Sedangkan Jeffry sedari tadi hanya diam, menyimak pembicaraan keduanya saja. Karena di sini ia benar-benar tidak mengerti cincin yang dimaksud oleh kakaknya itu. Jeffry sedang berusaha menetralkan degup jantungnya yang sangat cepat, ia takut bila nanti tiba-tiba ayahnya itu bertanya padanya.

"Emily sama sekali tidak mengetahui hal itu, Jeffa,"

Ucapan dari Jason membuat Jeffa membulatkan matanya. Perasaan khawatirnya semakin tinggi, kalau Emily tidak berada di darat lalu di manakah adiknya itu?

"Jeffry benar-benar tidak paham dengan apa yang kalian bicarakan," akhirnya Jeffry memberanikan diri untuk membuka mulutnya.

Keduanya menoleh. "Diam dulu!" perintah Jason tegas.

Jeffry kicep, ia pun memilih diam dari pada membuat ayahnya marah padanya.

"Kalian berdua tetap Ayah berikan hukuman, sekarang juga kalian pergi dari sini dan cari Emily sampai ketemu." Jason membalikkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan kedua putranya itu yang termenung.

"Kak,"

"Tidak apa-apa. Kita pergi dari sini sekarang dan cari Emily lebih giat lagi."

***

Di bawah sinar matahari yang sudah ingin menenggelamkan cahayanya, Sean berdiri di depan rumahnya dengan kedua tangan yang ditaruh di depan dada. Matanya jauh menatap ke depan, ia memikirkan Emily. Apakah gadis itu sudah ditemukan atau belum?

Ucapan Jeffry terlintas di pikirannya, dengan secara tidak langsung laki-laki itu seperti menyalahkan dirinya atas kehilangan Emily saat ini. Padahal ia sendiri pun tidak tahu apa yang menyebabkan Emily hilang, Sean sudah berpikir keras mengenai dirinya yang mungkin saja tanpa disadarinya ia menyakiti hati Emily.

Namun Sean merasa tidak melakukan kesalahan apapun pada Emily. Sean yakin pasti ada alasan lain yang menyebabkan Emily menjadi hilang seperti ini. Ingin mencari ke laut pun, ia masih takut atas kejadian kemarin yang menimpanya.

Rasa trauma itu kembali datang padanya setelah ia coba untuk kubur sedalam-dalamnya.

Sean mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, ia menurunkan tangannya kemudian berjalan meninggalkan rumahnya. Sean sendiri pun tak tahu ke mana tujuannya saat ini. Kakinya terus melangkah menyusuri jalanan berliku di kampungnya, hingga kedua kakinya berhenti saat merasakan ada seseorang yang mengikutinya dari belakang.

Bertepatan dengan kakinya yang berhenti melangkah, Sean pun tak lagi mendengar suara derap langkah orang di belakangnya. Kedua bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri, lalu dengan cepat kepalanya menoleh ke belakang.

Kosong.

Tak ada siapapun di belakangnya, hanya deretan rumah tetangganya saja yang terlihat. Sean pun kembali melanjutkan langkahnya dengan sedikit terburu-buru, agar orang yang mungkin tadi mengikutinya bisa kehilangan jejaknya.

Suara derap langkah itu kembali terdengar lagi, tanpa berbasa-basi Sean langsung memutarkan tubuhnya ke belakang. Namun, untuk kedua kalinya Sean tak menemukan siapapun di sana. Keringat dingin mulai bercucuran, Sean sangat takut.

Dengan napas terengah, Sean berbalik arah dan berlari secepat mungkin menuju rumahnya. Begitu sampai di depan rumahnya, Sean langsung membuka pintunya dan masuk lalu mengunci pintunya dari dalam.

Terlebih lagi Sean sendirian di rumah, Lesmana sedang menjala ikan ke laut yang tempo hari dikunjunginya dengan Pak Hasan. Jadi, mereka—para nelayan memutuskan untuk mencari ikan sejak sore hari agar lebih lama dalam pencarian ikannya.

Kembali ke topik, Sean duduk di kursi kayu seraya berusaha menetralkan pasokan udaranya sesekali mengintip ke jendela untuk memastikan tidak ada siapapun di luar sana. Tadi Sean sangat yakin ada orang yang mengikutinya dari belakang, orang itu benar-benar cepat dalam bersembunyi darinya.

"Semoga itu bukan orang jahat," gumamnya, "tapi kalau memang bukan orang jahat, kenapa dia malah mengikutiku dengan sembunyi-sembunyi?"

Tok! Tok! Tok!

Suara pintu yang diketuk membuat Sean mengalihkan pandangannya, kedua matanya membola. Degup jantungnya berdetak lebih cepat, Sean sangat takut kali ini. Bagaimana kalau yang mengetuk pintu itu adalah orang yang tadi mengikutinya?

Dengan keberanian yang sudah tidak lagi tersisa di dalam dirinya, Sean berusaha untuk memberanikan diri untuk membuka pintu. Tangannya yang sudah mengeluarkan keringat itu membuka pintu, perlahan ia menggerakkan tangannya untuk memutar kenop pintu tersebut. Namun, sulit. Pintu tak kunjung terbuka, saat melihat ke bawah ada kunci yang menggantung.

Ternyata Sean melupakan sesuatu, pintu itu terkunci.

Perlahan Sean memutarkan kunci itu, lalu memutar kenop pintunya.

Ceklek!

Begitu pintu terbuka, betapa terkejutnya Sean saat ini. Kedua bola matanya terbelalak, memandang orang di depannya dari atas hingga bawah. Kedua tangannya naik ke atas untuk menampar kedua pipinya, bermaksud menyadarkan dirinya kalau ini adalah mimpi.

Ternyata ini semua nyata.

Kedua mata Sean mengerjap, takutnya ia salah melihat dan ada permasalahan di kedua matanya namun ternyata ini semua nyata.

"Emily?"

***