Sepulang bekerja, seperti biasa Sean akan langsung pulang ke rumah dan memasukkan setengah uang dari hasil kerjanya ke dalam celengan. Sedangkan sisanya, akan Sean berikan pada Lesmana tentunya.
Sean hanya ingin berjaga-jaga saja takutnya nanti ada sesuatu hal yang tidak diinginkan namun tidak memiliki uang. Oleh karena itu, setengah dari upah hariannya Sean tabungkan. Sean sangat berterima kasih karena telah dipertemukan dengan Bu Darmi sehingga dirinya bisa mendapatkan pekerjaan ini—pekerjaan yang mungkin memang tidak seberapa, tapi sangat berguna untuknya serta sang ayah.
"Lho, tumben sekali kamu pulang lebih awal?" heran Lesmana ketika mendapati Sean telah sampai di rumah.
"Iya, Yah. Tadi memang pekerjaan Sean tidak terlalu banyak, jadi Sean sudah pulang sekarang." Pasalnya saat ini baru pukul sepuluh, biasanya Sean akan pulang ketika matahari sudah berada tepat di atas kepala, yaitu pukul dua belas siang.
"Ayah tidak pergi ke pasar?" tanya Sean. Biasanya di sekitar pukul sepuluh ini ayahnya masih berada di pasar, yang Sean tahu bahwa ayahnya itu selalu pulang ketika jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas.
"Baru saja Ayah pulang," sahut pria paruh baya itu.
Sean manggut-manggut paham. "Kalau begitu Sean ke kamar dulu, Yah." Pamitnya, setelah mendapatkan persetujuan dari Lesmana, Sean pun melenggang pergi menuju kamarnya.
Kakinya melangkah memasuki kamar yang berukuran kecil, begitu memasuki kamar dapat dilihat terdapat kasur yang tidak terlalu tinggi. Kasur itu pun hanya terbuat dari busa yang keras, dan hanya dapat menampung satu orang saja.
Kasur berbahan keras itu hanya ditutupi oleh kain yang sepertiganya tidak tertutup. Tepat di samping kasur terdapat lemari yang tingginya sama seperti Sean, lemari berbahan kayu yang sudah mulai rapuh namun masih dapat menampung beberapa pakaian lusuh miliknya.
Tembok kamar ini memiliki warna coklat yang sudah terlihat memudar, cat tembok yang mulai mengelupas membuatnya terlihat kurang menarik. Namun, meski begitu kamar ini tetap menjadi kamar yang paling nyaman bagi Sean.
Bagaimana tidak? Sudah hampir kurang lebih tujuh belas tahun dirinya menempati kamar ini. Bagaimana pun keadaan kamar ini, tetap menjadi tempat ternyaman untuk Sean. Tak hanya itu, kamar ini pun memiliki banyak kenangan dengan mendiang ibunya. Sehingga kamar ini sangat nyaman untuk Sean.
Sepertinya untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur tidak ada salahnya, menjernihkan pikiran dan juga mengistirahatkan tubuhnya yang tenaganya sudah terkuras dengan bekerja. Kedua mata Sean mulai terpejam diiringi dengkuran halusnya, yang berarti Sean sudah terlelap.
***
Sinar matahari mulai meredup disertai semilir angin sore yang berhembus membuat siapapun merasa sejuk, termasuk Sean. Saat ini remaja laki-laki itu sedang berdiri di pesisir pantai, dirinya tengah menunggu kedatangan Pak Jo beserta rekan-rekannya.
Memang dirinya yang terlalu awal datang ke sini, sengaja memang. Sean ingin menikmati semilir angin yang berhembus di sore hari yang cerah ini. Setelah sekian lama dirinya takut untuk sekedar datang ke tempat ini, kali ini rasa takut itu sudah menghilang begitu saja.
Sean sendiri tidak tahu alasan utamanya apa sehingga membuat dirinya tak lagi takut seperti sebelum-sebelumnya, namun yang Sean tahu adalah dirinya ingin membantu sang ayah, persis seperti amanat yang telah disampaikan oleh ibunya sebelum meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
Bibir itu tertarik ke atas menampilkan senyuman manisnya, bukan tanpa alasan Sean tiba-tiba tersenyum seperti itu. Kedua bola matanya tak sengaja menatap ke arah laut, dan saat itu juga Sean mendapati Emily yang tengah menatapnya juga.
Ah, Sean benar-benar tak sabar untuk segera pergi ke tengah laut lalu bertemu dengan Emily dan si kembar. Padahal baru kemarin dirinya tidak bertemu dengan ketiga temannya itu, tapi sudah membuatnya rindu setengah mati seperti ini.
Tak ingin ada orang yang curiga karena dirinya tiba-tiba tersenyum seraya menatap ke tengah laut, Sean pun segera melunturkan senyumannya dan memandang ke arah lain. Bertepatan dengan itu, Pak Jo bersama rekan-rekannya datang.
"Wah, kamu sudah berada di sini Sean? Maaf ya menunggu lama," ujar Pak Jo begitu mendapati Sean berada di pesisir pantai.
Sean tersenyum ramah. "Tidak apa-apa, Pak. Lagi pula Sean tidak terlalu lama di sini."
"Baiklah, kalau begitu kita langsung berangkat saja ya. Pak Gino, semuanya sudah siap, kan?"
Pak Gino mengangguk seraya melayangkan kedua jempolnya. "Aman, Pak."
Semuanya pun langsung naik ke atas perahu, sama halnya dengan Sean. Sean benar-benar tidak sabar untuk berada di tengah laut, entahlah memang aneh. Dulu Sean sangat anti terhadap laut, tapi kini seolah laut itu adalah tempat bermainnya.
"Sean, semoga hari ini kita dapat ikan yang banyak ya seperti waktu itu kamu mendapatkan ikan yang banyak." Ujar Pak Jo ketika perahu sudah mulai berjalan.
"Amin, semoga ya, Pak."
Semilir angin sore yang berhembus di depan wajahnya membuat Sean otomatis memejamkan kedua matanya menikmatinya. Ternyata berada di laut sore seperti ini sangat menakjubkan, sembari menyaksikan matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Ini semua tidak seperti yang ditakutkan Sean seperti kemarin-kemarin.
Sean sangat beruntung karena Lesmana terus menyemangatinya agar menghilangkan rasa trauma itu, Sean juga sangat beruntung karena telah dipertemukan dengan Jeffa, Jeffry juga Emily yang sudah membuatnya nyaman berada di tengah laut seperti ini, tidak peduli dengan ombak yang mampu membuat perahunya terombang-ambing.
"Sean!"
Kedua bola matanya sontak terbuka saat mendengar seseorang tengah memanggilnya, dapat Sean lihat Pak Jo dan Pak Gino yang sedang fokus menyiapkan jaring. Kedua bola mata Sean berpencar menatap ke sekitarnya, dan pandangannya terpaku ke samping perahu.
Di mana di sana Jeffa dan Jeffry tengah memandangnya, seperti ingin meminta pertolongan padanya?
"Jeffa, Jeffry? Ada apa? Ke mana Emily?" cercanya seraya menatap ke sekitarnya, mencari keberadaan Emily.
"Karena itu kami ingin bertanya pada kamu, apa tadi kamu melihat Emily?" sahut Jeffry.
"Tentu saja aku tidak tahu, kalian kakaknya mengapa bertanya padaku? Terakhir aku menemukan dia ketika aku masih berada di darat,"
Jeffa mengacak rambut pirangnya frustasi, sedari tadi dirinya berusaha mencari bersama Jeffry keberadaan Emily namun tak kunjung ia temukan. Kedua orangtuanya terus bertanya pada mereka berdua tentang keberadaan Emily, tetapi Jeffa maupun Jeffry tidak ada yang dapat menjawabnya karena sejak kemarin mereka tidak bersama lagi.
"Yasudah, lebih baik kita pergi mencari Emily." Setelah mengatakan itu, Jeffa langsung melengos begitu saja diikuti dengan Jeffry.
Jika ditanya apakah Jeffa kesal, jawabannya sudah pasti kesal. Ia kesal, marah, kecewa pada dirinya sendiri karena tak bisa menjaga sang adik. Tapi, tak dapat dipungkiri dirinya pun kesal pada Sean karena seolah tak tahu akibat dari Emily menghilang seperti ini.
Jangan salahkan Jeffa karena dirinya menyalahkan Sean.
***