Chereads / Persahabatan beda alam / Chapter 27 - PBA 27

Chapter 27 - PBA 27

Sean masih berusaha mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Emily di tengah laut seperti ini. Sesekali pandangannya melirik ke arah jaring yang berada di bawah sana, juga melihat ke arah Pak Jo dan Pak Gino yang melakukan hal yang sama seperti dirinya.

Laki-laki itu menggeram kesal saat membayangkan kembali kejadian tadi, melihat wajah Jeffa yang seperti marah padanya. Padahal Sean sendiri tidak mengetahui apa yang membuat Emily menghilang seperti ini.

Pandangannya tak sengaja melihat ke arah depan, tepat di ujung sana ombak yang cukup besar akan menghampirinya. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, ingatannya berputar kembali pada kejadian dua belas tahun yang lalu.

Kejadian saat ini benar-benar mirip seperti dulu, ingin mendekati Pak Jo serta Pak Gino sulit untuk Sean, kedua kakinya terasa berat ketika ingin diangkat. Kedua tangannya mengepal, dan kedua bola matanya terpejam begitu melihat ombak yang sebentar lagi akan mendekat ke arahnya.

"SEAN!"

"SEAN, KEMARI!"

Jelas, Sean mendengar teriakan itu dengan jelas. Namun, kakinya seperti mati langkah. Bahkan tubuhnya pun terasa berat, saat ini Sean benar-benar pasrah apa yang terjadi padanya.

BYUR!!!

Setelah itu yang Sean dengar adalah suara air yang begitu besar dengan tubuhnya yang oleng, Sean merasa tubuhnya mengambang di atas air. Dengan keberanian yang tersisa, Sean membuka kedua matanya. Begitu kedua bola matanya terbuka, Sean melihat Pak Jo dan juga Pak Gino yang menatapnya penuh khawatir.

"Kamu tidak apa-apa kan Sean?"

Sean menatap ke sekelilingnya, ternyata ia masih berada di atas perahu namun air laut tadi masuk ke dalam perahu. Untungnya perahu ini tidak terbalik sehingga membuatnya masih bisa selamat.

"T-tidak," jawabnya seraya berusaha untuk bangun dari posisinya. Matanya tak sengaja memandang ke air laut yang terombang-ambing karena tadi sempat ada ombak yang cukup besar, kedua bola matanya terpejam kembali diiringi dengan erangan ketakutan.

Ingatan itu kembali berputar di pikiran Sean.

"Ibu..."

Pak Jo dan Pak Gino saling pandang. Bukan hal yang mengejutkan lagi bagi mereka berdua, pasalnya berita ibu kandung Sean meninggal karena hanyut di dalam laut pun sudah tersebar luas.

"Sean!" panggil Pak Jo pelan seraya menepuk bahu remaja laki-laki itu. Berniat menyadarkan Sean.

"Ibu, Sean rindu pada Ibu.."

Mendengar suara yang begitu pilu membuat Pak Jo serta Pak Gino menjadi tak tega. Mereka menganggap Sean sudah seperti keluarganya sendiri, terlebih lagi Lesmana yang memang sudah berteman lama dengan mereka.

"Kita pulang saja, ini bisa kita lanjutkan nanti saja." Ucap Pak Jo pelan yang langsung diangguki oleh Pak Gino.

"Tenang Sean, sebentar lagi kita akan pulang," pria paruh baya itu beralih merangkul Sean yang masih memejamkan kedua matanya dengan kedua alis yang mengerut.

Nyatanya sampai kapan pun, berusaha apapun Sean menghilangkan ingatan pada kejadian itu pada akhirnya akan kembali teringat ketika kejadian itu kembali terulang lagi.

***

"Aduh, bagaimana ini?"

Pak Jo berjalan mondar-mandir penuh kebingungan, saat ini keadaan Sean sudah pingsan sedangkan rumahnya dikunci. Ia sampai lupa kalau Lesmana sedang mencari ikan juga dengan Pak Hasan namun di laut yang berbeda.

"Kita tunggu saja dulu sampai Sean sadar, kalau nanti Sean tidak sadar-sadar baru kita bawa ke rumah saya saja." Usul Pak Gino, membuat Pak Jo menoleh dan beberapa saat ia mengangguk setuju.

Sepuluh menit kemudian, mulai ada pergerakan dari kedua bola mata Sean. Dan perlahan kedua matanya terbuka, kedua matanya menyernit menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Ia bergerak, mengubah posisinya yang terasa pegal.

"Syukurlah kamu sudah sadar," ucap Pak Jo dengan menghela napasnya lega. Kakinya melangkah mendekati Sean dan mengecek suhu tubuh Sean dengan menaruh punggung tangannya di dahi laki-laki itu. "Sean demam,"

"Sean, apa kamu punya kunci cadangan rumah? Ayah kamu belum pulang, sedangkan kamu sudah harus segera istirahat."

Dengan gerakan yang lemas, Sean merogoh saku celananya kemudian memberikan kunci tersebut pada Pak Jo. Dengan cekatan, Pak Jo langsung membuka pintu rumah itu ketika berhasil memutarkan kuncinya.

"Terima kasih banyak, Pak." Ucap Sean dengan suara paraunya saat dirinya sudah berhasil berbaring di atas kasurnya.

Keduanya mengangguk. "Kamu istirahat yang cukup ya, kami pergi dulu."

Setelah kepergian Pak Jo dan Pak Gino, Sean tak benar-benar istirahat. Buktinya kedua matanya masih terbuka dan memandang langit-langit kamarnya dengan pandangan sendu. Kejadian yang baru saja menimpanya itu tak bisa membuat Sean melupakannya begitu saja.

Tanpa Sean sadari buliran air mata mulai berjatuhan dari sudut matanya. Langit-langit kamarnya yang berwarna putih itu menjadi tak lagi kosong, seolah seperti televisi yang menyala. Sean melihat kenangan bersama ibunya di sana.

"Ibu.. mengapa kejadian itu menimpa Sean lagi, Bu?" tanya Sean dengan isakan tangisnya yang mulai mengeras, seolah di hadapannya ada ibunya.

"Susah payah Sean menghapus kejadian itu, tapi kenapa kejadian itu menimpa Sean lagi? Rasanya Sean tadi pasrah. Lagi pula kalau pun Sean memang tadi tidak selamat, Sean akan senang karena pastinya nanti akan bertemu dengan Ibu.."

"SEAN!"

Brak!

"Sean, kamu kenapa, Nak? Apa yang sakit?"

Lesmana menangkup wajah Sean dan memandangnya dengan cemas. Sekelibat rasa bersalah itu langsung bersarang di hati Lesmana, seharusnya ia tak membiarkan Sean untuk pergi bersama rekan kerjanya itu. Seharusnya dirinya senantiasa mendampingi Sean yang memiliki trauma terhadap laut, walaupun akhir-akhir ini Sean memang sudah tak lagi mengingatnya.

Tapi tetap saja rasa trauma itu akan kembali hadir lagi jika kejadian itu terulang lagi. Lesmana benar-benar menyesal.

"Maafkan Ayah, Nak," lirih Lesmana.

Sean tersenyum tipis. "Ini bukan kesalahan Ayah. Lagi pula tidak ada yang tahu akan terjadi hal ini lagi kan, Yah? Jadi, Ayah tidak perlu merasa bersalah seperti ini. Kejadian ini sama sekali bukan kesalahan Ayah." Ucap Sean menenangkan Lesmana dengan suara pelannya. Dahinya mengerut saat rasa pusing melanda kepalanya.

Lesmana yang melihat kernyitan di dahi Sean dengan jelas lantas menatapnya dengan khawatir. "Kenapa? Kamu pusing?" anggukan dari Sean membuat Lesmana bingung harus melakukan apa.

"Sekarang kamu makan dulu, ya? Lalu setelah itu kamu makan obat dan istirahat yang cukup."

Laki-laki dengan bibirnya yang pucat itu menggeleng, menolaknya. "Sean tidur saja, Yah. Rasanya hambar kalau makan."

Helaan napas dari Lesmana terdengar, namun tak urung dirinya menganggukan kepalanya dan membiarkan Sean terlelap. Setelah merasa Sean tertidur dengan tenang, Lesmana pun melangkahkan kakinya keluar dari kamar Sean.

Dan berakhir dengan Lesmana yang duduk di kursi kayu yang berada di ruang tamunya. Tangannya memijat pelipisnya yang terasa pening. Bagaimana pun Sean berusaha menenangkannya, rasa bersalah itu masih tetap bersarang di hatinya.

Mungkin untuk ke depannya Lesmana tidak akan lagi mengajak Sean untuk pergi menjala ikan, sudah ada kejadian seperti ini membuatnya menyesal sekali.

***