Sean memandang Geladis yang tengah tertawa terbahak-bahak di depannya, tawanya begitu lepas seperti tak ada sesuatu yang membebani gadis itu. Sean tersadar ketika dirinya sudah memandang Geladis lebih dari lima detik, kedua matanya mengerjap dan mengalihkan pandangannya ke sekitar.
"Kak Sean lucu banget sih, hahaha!" bukan tanpa alasan Geladis tertawa lepas seperti saat ini, pasalnya beberapa menit yang lalu Sean tersungkur ke rerumputan hijau yang berada di halaman belakang rumah milik majikannya.
Dan sialnya lagi adalah Geladis melihat itu dengan sangat jelas, tadi baru saja Geladis berada di ambang pintu yang menyambungkan dapur dan halaman belakang langsung disambut oleh Sean yang akan tersungkur.
"Memangnya jatuh aku selucu itu ya?" Sean memutuskan untuk mengubah kosa katanya menjadi aku-kamu saja, kesannya ia tidak enak jika harus memanggil dirinya dengan sebutan kakak seperti sebelum-sebelumnya. Entahlah rasanya seperti aneh saja.
Sean memandang Geladis dengan sebal, sudah lima menit kejadian itu terjadi tetapi Geladis masih tak ingin menghentikan tawanya itu. Oh ya, Sean hari ini sudah mulai membaik. Setelah satu hari dirinya tidak masuk kerja lantaran ayahnya melarang, akhirnya hari ini Sean bisa kembali kerja dengan keadaan yang sudah membaik.
Itu pun awalnya ada perdebatan antara dirinya dengan sang ayah, Sean yang tetap kekeh ingin bekerja demi mendapatkan uang dan Lesmana yang tetap pada pendiriannya sendiri untuk melarang Sean bekerja dengan alasan tak ingin sesuatu hal yang tak diinginkan terjadi.
"Lucu banget, Kak. Kakak kenapa bisa jatuh seperti tadi, sih? Geladis heran, padahal di sini tidak ada barang apa-apa yang bisa buat Kakak jatuh," Geladis mengedarkan pandangannya dan terpaku pada tempat tadi ketika Sean jatuh.
Lagi, lagi tawanya kembali meledak saat teringat bagaimana lucunya Sean ketika tersungkur ditambah lagi dengan ekspresi wajah laki-laki itu yang membuat Geladis semakin tertawa. Ah, dengan hal seperti itu saja sudah membuat Geladis tertawa lepas seperti ini.
"Oh ya, bagaimana acara kemah kamu dan keluarga? Apakah seru?" tanya Sean, mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Alasan lain adalah karena dirinya malu jika membiarkan Geladis terus membayangkan kejadian dirinya yang tersungkur itu. Sangat memalukan.
Untung saja ketika dirinya jatuh, bukan orang yang ia cintainya. Ah jika itu benar, malu setengah mati Sean.
Geladis menganggukan kepalanya antusias. "Seru banget, Kak. Ah, sayang Kakak tidak ikut kemarin. Padah—" dengan cepat Geladis merapatkan kembali bibirnya, hampir saja dirinya keceplosan. Benar-benar ceroboh.
"Apa Geladis?" tanya Sean dengan mengangkat kedua alisnya.
"Pokoknya kemahnya seru, apalagi acara api unggun," seru Geladis. "Ehm, kalau begitu Geladis masuk ke rumah lagi ya, Kak." Tanpa menunggu jawaban dari Sean, gadis itu langsung berlari kecil memasuki rumahnya.
Sean menggeleng-gelengkan kepalanya seraya melihat punggung Geladis yang mulai menjauh. Padahal dirinya belum selesai bertanya pada gadis itu, Sean benar-benar penasaran bagaimana rasanya berkemah. Seumur-umur Sean belum pernah merasakan yang namanya berkemah, setidaknya dengan mendengarkan cerita dari Geladis dapat membuatnya seakan merasakan serunya berkemah.
***
Jeffa dan Jeffry sedang menjalankan hukumannya, sudah satu hari. Mereka dihukum oleh Jason karena dianggap tak becus menjaga adiknya, Emily. Mereka berdua tidak boleh pulang ke istana sebelum menemukan Emily.
Dan kini keduanya bersusah payah mencari keberadaan Emily. Sudah satu hari juga mereka pergi ke seluruh kawasan laut, bahkan ketika malam hari pun mereka muncul ke permukaan laut untuk memastikan apakah ada Emily yang sedang menunggu Sean atau tidak, dan jawabannya adalah nihil.
Mereka sama sekali tidak dapat menemukan keberadaan Emily. Keduanya hampir saja menyerah dan ingin kembali ke istana, namun teringat akan ucapan sang ayah membuat mereka mengurungkan niatnya.
"Kalian tidak boleh pulang sebelum menemukan Emily, kalau sampai kalian berani pulang dengan tangan kosong... Ayah tidak akan segan-segan menambahkan kalian hukuman yang lebih berat dari pada ini."
Itulah ucapan sang ayah yang tercetak jelas di pikiran mereka. Dengan dihukum seperti ini saja sudah membuat mereka kesulitan apalagi ditambah hukuman yang lebih berat lagi, sangat tidak bisa dibayangkan.
Namun, tanpa sepengetahuan Jason, sejak Jason mengusir kedua putranya Valerie selalu menghampiri keduanya berniat untuk memastikan keadaannya saja. Valerie memang sosok ibu yang sangat baik, walaupun dirinya kecewa tapi tak pernah sedikit pun menelantarkan anaknya begitu saja.
"Kita harus cari ke mana lagi, Kak?" tanya Jeffry dengan frustasinya.
"Tidak ada pilihan lain selain kita cari Emily ke darat,"
Kedua bola mata Jeffry membulat. "Apa aku tidak salah dengar? Kak, bagaimana kalau Ayah memantau kita? Terlebih lagi Ayah setiap hari tak pernah absen untuk mengecek wilayah daratan, bisa saja kita diberikan hukuman lagi oleh Ayah." Kata Jeffry yang secara tidak langsung menolak keras ucapan saudara kembarnya.
"Tidak ada pilihan lain, Jeffry. Sudah dari hari kemarin kita mencari Emily di sini, tapi apa? Tidak ada tanda-tanda kalau Emily berada di sini. Aku sudah mencoba pakai kemampuanku, bukankah kamu melihat sendiri? Kemarin aku seperti terkena sengatan listrik di tubuhku," tegas Jeffa.
Kemarin memang Jeffa sempat menggunakan kemampuannya itu, namun entah mengapa ketika dirinya sudah memejamkan matanya tiba-tiba seperti ada sengatan listrik di dalam tubuhnya. Bahkan dirinya sudah mencoba beberapa kali, hasilnya tetap sama.
"Terserah kamu saja kalau kamu memang tidak akan ikut denganku ke daratan," baru saja Jeffa akan meninggalkan Jeffry, lelaki itu lebih dulu memanggil Jeffa.
"Tunggu, Kak!"
Sebelah alis Jeffa terangkat.
"Tapi, apa Kakak yakin kalau Emily berada di darat? Mengingat dirinya hanya bisa bertahan paling lama tiga puluh menit di daratan,"
"Bisa saja Emily mengambil cincin milik Ibu,"
"Cincin?"
Jeffa mengangguk. "Mungkin ini saatnya kamu juga perlu tahu, tapi aku tidak akan menceritakannya itu sekarang. Kita harus mencari Emily terlebih dahulu, setelah itu baru lah aku akan menceritakan hal itu."
Akhirnya Jeffry pun mengangguk seraya mengikuti langkah sang kakak. Sepuluh jam, waktu yang dapat mereka gunakan sebaik mungkin di daratan. Yang terpenting saat ini adalah menemukan Emily, untuk berada di daratnya nanti Jeffry hanya bisa mengikuti sang kakak saja.
Pasalnya ia belum pernah sama sekali menginjakkan kakinya di tempat tinggal banyaknya manusia. Tidak seperti di tempat tinggalnya yang berada di dalam laut, yang hanya beranggotakan seratus lima puluh orang saja, tapi itu belum terhitung dengan orang-orang yang bukan berada di istana milik ayahnya. Dengan kata lain, musuhnya.
"Kak, apa Kakak yakin akan menemukan Emily di darat? Bagaimana kalau Emily tidak berada di darat dan kita malah diberikan hukuman tambahan oleh Ayah," cerocos Jeffry, bagaimana pun juga Jeffa tetap tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.
"Kalau nanti kita tidak menemukan Emily di darat dan berakhir dengan kita diketahui oleh Ayah karena berani menginjakkan kakinya di kawasan daratan tanpa seizinnya, maka Kakak sendiri yang akan menanggung semua hukuman yang diberikan Ayah. Kamu tidak perlu ikut dihukum."
***