Chereads / Persahabatan beda alam / Chapter 20 - PBA 20

Chapter 20 - PBA 20

Malam ini tidak seperti malam-malam kemarin, di mana Sean yang ikut untuk menjala ikan tetapi malam ini Sean tidak ikut. Setelah pulang bekerja dari rumah Bu Darmi, entah mengapa tiba-tiba saja kepala Sean terasa pening sehingga membuat sekujur tubuhnya pun ikut merasakan tak enak.

Jadi, Sean lebih baik untuk mengistirahatkan tubuhnya saja agar esok hari ia tetap dapat bekerja di rumah Bu Darmi dengan kondisi tubuh yang lebih baik.

Saat ini setelah Sean mengantar Lesmana hingga depan rumah, yang dilakukan Sean hanya berbaring di atas kasur tipis. Walaupun ketika bangun, kepalanya akan terasa semakin pusing, tetapi Sean tetap berbaring karena kalau duduk pun serasa sama saja, jadi serba salah.

Kedua matanya terpejam dengan erat, mencoba menetralisir rasa pusingnya yang kian menjadi.

"Kenapa kepalaku semakin pusing?" gumam Sean seraya memijit keningnya sendiri. Beberapa saat merasakan pusingnya, Sean terbangun dari posisinya dan bersandar ke dinding dingin di belakangnya. Menatap seisi kamarnya yang terasa berputar, ia mencoba untuk memejamkan matanya sebentar lalu setelah terbuka dan sedikit lebih baik dari sebelumnya, Sean bangun dari duduknya.

Kakinya melangkah dengan pelan menuju dapur untuk mengambil air minum, tenggorokannya terasa kering karena sedari tadi Sean belum membasahi tenggorokannya sama sekali. Sean meraih gelas yang berada di atas meja makan lalu meneguknya pelan hingga tersisa setengah.

Karena merasa lemas sehingga tak bisa membuatnya untuk berjalan, Sean pun duduk di kursi makan sambil meredakan pusingnya untuk kembali ke dalam kamar. Padahal ia ingin sekali ikut bersama sang ayah karena ingin bertemu dengan ketiga teman barunya itu.

Tanpa Sean sadari kalau dirinya sudah tidak lagi merasakan yang teramat takut pada suara ombak dan seisinya. Berkat ketiga temannya itu pula Sean dapat melawan rasa takutnya, dan tentu saja yang pertama adalah berkat Lesmana yang sudah mau menyemangatinya agar keluar dari zona nyaman.

***

Di tempat yang berbeda, Emily beserta kedua saudara laki-lakinya tengah memunculkan dirinya ke permukaan laut. Sedari tadi mata Emily tak berhenti melirik ke kanan dan ke kiri, tujuannya adalah mencari seseorang yang biasanya selalu datang. Siapa lagi jika bukan Seanno?

Yup, Emily sangat menanti-nanti kehadiran Sean yang tak kunjung datang juga. Yang Emily dapatkan adalah dua perahu yang cukup besar, dan setahu Emily itu adalah perahu yang biasanya Sean tempati. Namun, kini dirinya tidak menemukan sosok Sean.

"Kamu mencari Sean?" tebak Jeffry, kakak keduanya.

Emily mendelik. "Menurutmu?" ucapnya tanpa menatap ke arah Jeffry, matanya tak pernah berhenti menatap ke arah perahu itu, siapa tahu ada Sean namun tidak terlihat olehnya atau bahkan laki-laki itu bersembunyi karena tak ingin bertemu lagi dengannya.

"Coba tanyakan pada Kakakmu itu. Apa kamu lupa dia memiliki kemampuan lain?" tunjuknya pada Jeffa yang sedari tadi hanya menyimak interaksi kedua adiknya itu.

Perempuan itu langsung menoleh, mengapa ia bisa lupa kalau kakaknya satu lagi memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain? Emily menatap Jeffa penuh harap, harus menggunakan seribu usaha agar bisa membujuk Jeffa untuk melakukan kemampuannya itu.

Jeffa memang memiliki kemampuan lain, yaitu melihat situasi yang sedang dilakukan oleh orang lain. Namun, tetap saja itu hanya bisa Jeffa lakukan jika dirinya mengenal orang yang ingin dilihat di pikirannya. Tak sampai di situ, Jeffa pun harus melakukan itu di tempat yang benar-benar sepi sehingga tidak membuat fokusnya terpecah.

"Kak, tolong bantu aku!" pinta Emily dengan memohon.

Anggukan kepala dari Jeffa membuat Emily tersenyum lebar seraya mengucapkan terima kasihnya. Setelah itu Jeffa mulai menutup kedua matanya dan menaruh kedua jari telunjuknya di masing-masing samping dahinya.

Keningnya mengerut saat hanya ada bayangan gelap di pikirannya, kedua matanya langsung terbuka satu detik kemudian. Emily menatap Jeffa dengan penuh harap.

"Bagaimana, Kak? Sean sedang apa di sana?"

Jeffa menggeleng. "Kakak sulit melihatnya, yang ada hanya bayangan hitam. Biar Kakak coba sekali lagi." Kemudian Jeffa kembali memejamkan kedua matanya, Emily yang mendengar jawaban sang kakak lantas menyernitkan kedua alisnya heran.

Pasalnya tidak pernah biasanya, Jeffa tidak bisa melihat situasi seseorang di dalam pikirannya. Pasti akan selalu berhasil, ah semoga saja kali ini kakaknya bisa berhasil. Melihat kedua mata Jeffa yang sudah kembali terbuka membuat Emily menatapnya penuh harap.

"Bisa Kak?"

"Bisa."

"Lalu? Sedang apa Sean, Kak?"

"Dia sakit."

Ucapan yang baru saja diucapkan Jeffa mampu membuat Emily tersentak kaget. Segelintir perasaan khawatir bersarang di benaknya, mendengar Sean sakit membuat hati Emily sedikit mencelos. Emily tidak tahu harus melakukan apa di saat Sean sakit seperti ini.

Seketika rasa menyesal memenuhi dadanya, andai saja Emily seperti manusia lain yang tinggal di daratan pasti tidak akan membuatnya sulit untuk menjenguk Sean. Dan juga andai saja Emily bisa tinggal tanpa air di dekatnya, sudah dipastikan detik ini juga dirinya akan langsung menghampiri Sean.

Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dirinya adalah yang paling lemah di antara kedua kakaknya, serta juga sang ayah. Emily memang menurun dari Valerie. Sedangkan kedua kakaknya serta sang ayah masih bisa untuk ke daratan dan merasakan layaknya manusia biasa, tetapi itu pun hanya dapat bertahan kurang lebih sepuluh jam tanpa air.

Sedangkan dirinya dengan sang ibu, hanya dapat hidup tanpa air paling lama tiga puluh menit. Bagaimana bisa cukup dirinya pergi ke daratan? Lagi pula Emily pun tidak mengetahui tempat tinggal Sean di mana.

"Kak.." lirih Emily.

"Kamu menyukai Sean, kan?" tuduh Jeffry yang sedari tadi hanya diam. Jeffry dapat melihat dari sorot mata Emily yang menampakkan bahwa perempuan itu sedang merasa khawatir pada laki-laki bernama Sean yang belum lama mereka kenal.

"Bukankah wajar seorang teman mengkhawatirkan temannya?" sahut Emily.

Jeffry terkekeh pelan. "Emily, Emily, aku ini Kakakmu. Tentu saja aku mengetahui apa yang tengah kamu rasakan saat ini. Dan saat ini kamu bukan Emily yang tengah mengkhawatirkan seorang teman."

Emily berdecih. "Kakak tidak perlu berlagak tahu, Kakak sendiri tahu kalau aku tidak memiliki satu orang pun teman. Jadi, wajar saja kalau aku sangat mengkhawatirkan keadaannya."

Akhirnya Jeffry pun lebih memilih mengalah, rasanya percuma jika berdebat panjang lebar dengan Emily. Sudah pasti perempuan itu yang akan menang, selalu ada saja jawaban yang diberikannya membuat Jeffry harus mengelus dada sabar.

"Lebih baik kita pulang," lerai Jeffa yang tak ingin mendengar perdebatan lebih panjang lagi dari kedua adiknya.

Ketiga saudara itu memang saling melengkapi. Jeffry dan Emily yang selalu bertengkar, tentu saja dengan sikap tegas dan cueknya Jeffry melerai keduanya. Padahal yang saudara kembar adalah Jeffa dan Jeffry tetapi yang bertengkar Jeffry dan Emily.

Kalau pun Jeffry selalu mencari-cari keributan dengan saudara kembarnya, tetapi dengan itu pula Jeffa selalu lebih memilih mengalah sehingga perdebatan mereka tak berakhir panjang. Berbeda dengan Jeffa dan Emily, keduanya tidak pernah bertengkar, malah mereka selalu saling menjaga satu sama lain.

***