Chereads / Persahabatan beda alam / Chapter 21 - PBA 21

Chapter 21 - PBA 21

Keesokan harinya keadaan Sean sudah lebih membaik, walaupun kepalanya masih sedikit pening tetapi Sean tetap memaksakan diri untuk bekerja. Bahkan tadi sebelum pergi ke pasar, Lesmana pun sudah melarang Sean untuk izin tidak bekerja saja dulu untuk satu hari ini.

Tetapi, Sean tetaplah Sean. Remaja laki-laki yang selalu bersikap kuat dan tak ingin menyerah, bukan Seanno namanya jika tidak memiliki sifat itu di dalam dirinya. Seperti saat ini, Sean menyapu halaman belakang dengan sedikit lemas namun Sean tetap melototkan kedua matanya agar ia lebih semangat lagi.

Merasa pusing di kepalanya semakin bertambah, membuat Sean berjalan mundur dengan sebelah tangan yang mencoba untuk mencari tumpuan tubuhnya yang sudah tidak kuat berdiri.

Dug!

Sean terduduk lemas di atas kursi besi yang berada di taman belakang rumah ini. Tangan kanannya yang semula memegang sapu kini ia lepas dan digantikan untuk memijat dahinya, berharap dengan melakukan ini pusing di kepalanya bisa menghilang.

"Kak Sean," terdengar suara Geladis yang memanggilnya, disusul dengan suara langkah kaki yang terburu-buru. Sean yakin kalau gadis itu tengah berjalan cepat ke arahnya, ingin melarang pun Sean tak mampu, karena pusing di kepalanya kian menjadi.

"Kak Sean kenapa?" tanya Geladis cemas, ketika dirinya sudah duduk di samping Sean. Tadi ketika berada di balkon kamarnya, matanya tak sengaja menatap ke arah halaman belakang dan mendapati Sean yang tengah berjalan mundur seraya tangannya yang mencoba untuk menggapai sesuatu.

Walaupun Geladis masih marah pada Sean, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan perasaan khawatirnya pada Sean.

Laki-laki itu melepaskan tangan Geladis yang berada di lengannya, kemudian mendongak, melihat raut wajah Geladis yang tampak mencemaskannya. "Kakak tidak apa-apa, Geladis. Lebih baik sekarang kamu kembali masuk ke dalam rumah." Ucapnya sekaligus mengusir Geladis dari hadapannya.

Geladis menggelengkan kepalanya cepat. "Geladis tidak akan masuk sebelum Kak Sean bicara jujur pada Geladis,"

Kedua alis Sean mengerut. Tak mengerti apa yang dikatakan gadis itu. "Maksud kamu?"

"Kakak kenapa? Tadi Geladis tanya itu,"

"Sudah Kakak bilang, kalau Kakak tidak apa-apa Geladis."

"Kalau memang tidak terjadi sesuatu pada Kakak, kenapa Kakak tadi hampir pingsan?"

"Sudahlah, Geladis. Kakak mau kembali bekerja." Lalu setelah itu Sean beranjak dari duduknya dengan kedua mata yang terpejam untuk menahan rasa pusing yang melandanya. Setelah kedua matanya kembali terbuka, Sean pun berjalan dengan tangan yang meraih sapu lalu kembali menyapu bagian yang sempat ia tinggalkan tadi.

Melihat itu Geladis menjadi dilema sendiri, padahal sebenarnya yang marah itu adalah dirinya karena kejadian kemarin. Lagi pula saat ini pun Geladis hanya ingin membantu Sean dan juga mencemaskannya, tetapi Sean malah bersikap cuek padanya. Jarang sekali Sean bersikap seperti itu padanya.

Perempuan itu menghela napasnya kasar sebelum akhirnya melenggang pergi meninggalkan Sean yang masih tidak menganggap keberadaannya. Sebenarnya sedari tadi tanpa Geladis ketahui, Sean selalu memperhatikan gerak-gerik yang dilakukan oleh Geladis.

Bahkan ketika perempuan itu pergi dari sana, Sean menatap punggung mungil Geladis yang semakin menjauh. Rasa bersalahnya kian menyelimuti hati Sean, cukup berat bagi Sean untuk melakukan hal ini. Sean sangat terpaksa untuk melakukan ini, itu karena ada alasannya.

Flashback on

Belum sempat Sean melangkahkan kakinya meninggalkan rumah, beberapa tetangganya sudah berdatangan ke arahnya membuat kedua alis Sean mengerut heran. Tidak biasanya tetangganya itu berjalan dengan beriringan menuju padanya.

"Ada apa ya Bapak-bapak, Ibu-ibu?" tanya Sean bingung. Dapat Sean lihat wajah para tetangganya sangat tidak enak dipandang, membuat Sean menjadi was-was.

"Sean, kami dengar kalau kamu kemarin berdekatan dengan anak gadis Pak Fizi. Apa itu benar?"

"Bukankah kamu sudah tahu aturan di sini? Atau Ayah kamu tidak memberitahukan hal penting ini pada kamu?"

Pertanyaan yang terlontar dari mulut tetangganya membuat Sean terpaku. Dirinya tak menyangka jika berita ini akan menyebar luas hingga ke telinga tetangganya sendiri. Sean kira setelah kejadian kemarin yang nyatanya hanya kesalahpahaman, tidak akan ada orang yang menghampirinya. Apalagi tetangganya ini.

Sean menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab pertanyaan itu yang semoga saja dapat meluruskan beritanya dan tidak ada berita bohong lagi tentangnya dan juga Geladis.

"Mohon maaf sebelumnya. Saya kebetulan bekerja di rumah Bu Darmi, dan beliau yang menyuruh saya untuk menemani Geladis. Saya yang notabenya sebagai pekerja, mau tidak mau dan suka tidak suka, maka saya harus menurutinya." Tutur Sean, "dan lagi saya dan putri Bu Darmi itu tidak ada hubungan apa-apa, selain seorang pekerja dan anak majikannya." Sambungnya.

Raut wajah para tetangganya, kian mulai luluh. Tidak ada lagi sorot mata yang penuh intimidasi, kini hanya ada perasaan lega yang disorotkan matanya.

"Baiklah kalau begitu. Tapi, ingat! Kalau kamu benar-benar dekat dengan Geladis, maka kami tidak akan memberikan kamu keringanan. Kami akan menghukum kamu dengan hukuman yang setimpal."

Sean hanya menanggapinya dengan anggukan, malas untuk  berbicara lebih panjang lagi dengan warga ini. Jujur saja warga Petter ini sangatlah aneh, padahal setiap orang memiliki hak asasinya masing-masing.

Jika urusan memilih pasangan hidup, tentu saja itu menjadi pilihan sendiri dan tidak mungkin juga jika harus meminta restu pada warga Petter. Aneh sekali, batin Sean menggerutu.

Flashback off

Sean menggeleng-gelengkan kepalanya kala mengingat kejadian tadi sebelum dirinya berangkat menuju rumah Bu Darmi. Lama-lama Sean pusing juga jika harus tinggal di kampung ini, rasanya aneh sekali memiliki peraturan konyol seperti itu—yang mungkin aturan itu sudah menjadi peninggalan leluhur sebelum dirinya hadir.

Tiba-tiba pikirannya melayang pada ketiga temannya yang berada di laut, Sean jadi berpikir apakah mereka juga sama seperti dirinya di darat? Sepertinya Sean harus menanyakan ini pada ketiga temannya itu nanti.

Bibirnya tertarik ke atas kala terlintas wajah cantik Emily di pikirannya, ah mengapa Sean jadi teringat pada Emily? Baru tidak bertemu satu kali dengan perempuan itu saja, sudah membuat Sean kepikiran seperti ini. Apalagi jika nanti dirinya benar-benar tidak akan ikut lagi dengan sang ayah.

"Emily," gumamnya pelan.

Seakan tersadar, ia mengerjapkan kedua matanya lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada satu orang pun yang melihatnya tengah tersenyam-senyum seperti tadi. Tunggu! Kenapa rasa pusingnya tiba-tiba menghilang begitu saja setelah terlintas wajah cantik Emily di pikirannya?

Ah, Sean sudah sangat gila sekarang.

Tanpa Sean sadari, Geladis yang berada di balkon kamarnya yang kebetulan menghadap langsung ke halaman belakang membuat perempuan itu menyernitkan kedua alisnya saat melihat Sean tersenyum sendirian.

Tadi saja saat dirinya datang, lelaki itu bersikap acuh tetapi sekarang Sean malah tersenyam-senyum seperti sedang kasmaran.

Namun, sayangnya Geladis tidak bisa mendengar apa yang diucapkan Sean tadi. Yang dilihatnya hanya gerakan bibirnya saja. Saat ini Geladis benar-benar penasaran apa yang laki-laki itu pikirkan sehingga tersenyum seperti itu?

***