Seusai pulang dari laut, Sean masih memikirkan hal yang terjadi pada malam tadi. Bahkan Sean pun hampir saja lupa untuk membantu Lesmana berjalan, hanya karena memikirkan ucapan yang dilontarkan oleh Emily dan juga Jeffa.
Sean mengacak rambutnya frustasi, hanya buang-buang waktu saja ia memikirkan hal yang seharusnya tak ia pikirkan. Bisa saja ketiga orang itu hanya bercanda saja, bukan? Seharunsya ia tidak mempercayainya begitu saja.
Sambil menunggu ikan asin yang ia dapatkan dijemur hingga kering, Sean memilih untuk merebahkan tubuhnya di kursi yang sudah tak lagi empuk. Matanya menatap ke arah langit-langit rumahnya yang berwarna putih pucat.
Berusaha untuk tidak memikirkan hal itu malah membuatnya semakin berpikir keras. Apalagi melihat wajah Emily yang terlihat sangat cantik, padahal keadaannya berada di tengah laut dan itu artinya gelap tetapi wajah Emily masih terlihat jelas sehingga berbekas di pikirannya.
Geladis manis dan Emily cantik. Dua wajah yang berbeda dan memiliki daya tarik tersendiri. Tanpa ia sadari, bibirnya tertarik ke atas menunjukkan lengkungan senyuman manisnya. Beberapa detik kemudian ia tersadar dengan apa yang ia pikirkan, dengan cepat Sean menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memukul kepalanya.
"Kenapa bisa memikirkan dua gadis dalam satu waktu bersamaan?" gerutu Sean kesal. "Gila kau Sean!"
Lesmana yang baru saja keluar dari kamarnya dengan menyibakkan gorden yang menutupi kamarnya lantas mengerutkan kedua alisnya heran melihat Sean yang sibuk menggerutu dan memukul-mukul kepalanya. Bukankah anaknya sehat?
Tak ingin merasa penasaran, Lesmana pun menghampiri Sean dan duduk di kursi sebelahnya. "Kamu tidak apa-apa, Sean?"
Sontak saja mendengar suara yang tiba-tiba menyapa pendengarannya membuat Sean terlonjak kaget. Sehingga membuat kepalanya terbentur pada sandaran kursi yang memang terbuat dari kayu.
Sean meringis dan mengusap-usap belakang kepalanya.
"Yaampun! Kamu tidak apa-apa, Sean?" tanya Lesmana dengan nada cemasnya. Ini semua karenanya, kalau saja ia tidak mengejutkan Sean hanya karena tiba-tiba berada di sebelahnya mungkin Sean tidak akan kesakitan seperti sekarang ini.
Melihat raut cemas dari ayahnya membuat Sean langsung menetralkan raut wajahnya dan tersenyum tipis lalu berkata, "tidak, Sean tidak apa-apa, Ayah. Tadi hanya sedikit kaget saja."
"Maafkan Ayah."
Sean menggeleng. "Tidak, Ayah tidak perlu meminta maaf seperti itu. Lagi pula sekarang kepala Sean sudah tidak sakit lagi, Yah."
"Kamu tadi kenapa memukul-mukul kepala kamu terus menggerutu seperti itu?" tanya Lesmana, kembali pada topik yang ingin ia tanyakan.
Sang empu yang diberikan pertanyaan itu langsung saja terdiam kaku, tidak tahu harus menjawab apa lantaran ia terlalu malu saat ternyata sedari tadi sang ayah memperhatikannya. Ditambah lagi tanpa sepengetahuannya tadi, ia malah tersenyum tidak jelas.
Sean gelagapan ketika melihat pandangan Lesmana yang terus mengarah padanya, menuntut jawaban. "Eu—euh... Sean hanya memikirkan—pekerjaan! Sean baru ingat kalau hari ini Sean harus cepat-cepat ke rumah Bu Darmi." Alibi Sean, namun ia langsung bangkit dari posisi berbaringnya kemudian menyalimi tangan sang ayah. "Kalau begitu Sean berangkat sekarang, Yah!"
Tanpa mengatakan apapun lagi, Sean langsung berlari keluar dari rumahnya tanpa menghiraukan bahwa dirinya belum mandi sepulang dari laut tadi. Ah, masa bodo lah! Yang terpenting sekarang ia bisa terbebas dari sang ayah yang pastinya akan terus menerus menutut jawaban darinya.
Karena bagaimana pun juga Lesmana adalah ayahnya, jadi ia tidak bisa berbohong pada sang ayah. Lagi pula saat ini ia berbohong untuk kebaikan juga. Ya, walaupun ia tahu tidak ada yang namanya berbohong itu baik, apalagi membawa-bawa sebutan 'demi kebaikan'.
***
Sean tiba di rumah Bu Darmi dengan napas yang tersengal, ia berlari dari rumahnya menuju ke rumah Bu Darmi padahal ia sendiri tahu kalau ayahnya tidak mungkin mengejarnya. Tapi, ya sudahlah! Semuanya juga sudah terjadi. Tidak mungkin kan ia kembali lagi ke rumahnya dan berjalan santai seperti biasanya? Lucu sekali kalau ia mengulang kembali.
Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu rumah mewah ini, entah untuk keberapa kalinya Sean menyebut kalau rumah Bu Darmi sangatla mewah. Salah satu mimpinya juga ia bisa memiliki rumah semewah ini. Sudah dipastikan kalau setiap kamar yang berada di rumahnya akan memiliki kamar mandi masing-masing, dan airnya pun sudah terjamin ada, tidak seperti rumahnya yang harus menimba dulu dari sumur orang lain. Alias meminta.
"Pe—" baru saja Sean akan mengucapkan 'permisi' namun pintu lebih dulu terbuka dan menampilkan Bi Arim, pembantu rumah di sini. Sean tersenyum menyapa wanita paruh baya itu.
"Eh, ayo masuk, Nak! Kebetulan di rumah hanya ada Bibi dan Den Zyan saja." Ucap Bi Arim sambil mengajak Sean untuk masuk ke dalam rumah.
"Yang lainnya ke mana, Bi?"
"Nyonya Darmi, Tuan Fizi dan Non Geladis sedang pergi ke rumah saudaranya. Katanya nanti siang juga sudah kembali ke rumah." Jawab Bi Arim. "Kalau begitu Bibi kembali melanjutkan pekerjaan lagi ya. Untuk pekerjaan Nak Sean hari ini, nanti akan diperintahkan oleh Den Zyan yang sudah menunggu di halaman belakang." Lanjutnya lagi dengan menunjuk ke arah halaman belakang.
Sean mengangguk paham, kemudian kakinya melangkah untuk ke halaman belakang. Dan benar saja, di sana sudah ada Zyan yang duduk di gazebo di dekat kolam renang sedang bermain gawainya. Dengan sedikit ragu, Sean menghampiri laki-laki yang seumuran dengannya, bedanya Zyan laki-laki yang memiliki pendidikan tinggi sedangkan dirinya tidak sama sekali.
Jujur saja Sean merasa iri dengan kehidupan Zyan, namun ia tidak menjadikan rasa iri itu sebagai rasa bencinya. Malah ia terinsipirasi dari Zyan, Sean harus menjadi orang sukses terlebih dahulu agar kehidupannya bisa sama seperti yang Zyan rasakan.
"Permisi," ucap Sean pelan, tak lupa ia menundukkan kepalanya saat menyadari Zyan mendongak menatap ke arahnya.
"Eh? Sean, kan?"
Wajar saja Zyan bertanya seperti itu padanya, karena hanya satu kali saja ia bertemu dengan Zyan dari awal pertama ia bekerja di sini.
Sean mengangguk pelan.
Zyan terkekeh pelan, membuat Sean mengerutkan kedua alisnya di dalam diamnya, ia tak mengerti mengapa Zyan terkekeh saat dirinya menganggukan kepala. Apakah ada yang lucu darinya? Atau jangan-jangan Zyan memiliki sikap yang sama seperti ayahnya, Pak Fizi? Kalau iya, sepertinya Sean harus menambah kapasitas kesabarannya, karena bagaimana pun juga Sean menginginkan pekerjaan ini dan tidak ingin dipecat.
"Tidak perlu menunduk seperti itu, dan jangan terlihat seperti takut padaku. Jika kau pikir aku sama seperti Papaku, kamu salah besar!"
"Apa kamu tahu kenapa aku jarang berada di rumah dan juga jarang bertemu denganmu?" tanya Zyan.
Sean menggeleng.
"Itu karena aku terlalu malas melihat sikap Papaku yang begitu cuek pada orang sekitarnya, ditambah lagi galak. Dan aku juga mendapatkan kabar bahwa kemarin kau sempat dimarahi oleh Papaku?"
Sean yang semula menunduk kini mulai mengangkat wajahnya dan menatap Zyan yang juga tengah menatapnya. Ternyata pikirannya tentang Zyan salah besar, dengan begini ia bisa bernapas lega. Setidaknya di sini hanya ada satu orang saja yang bersikap kasar padanya.
Satu orang saja sudah membuatnya merasa hidup di neraka. Apalagi dua, tiga atau bahkan empat?
***
Bersamaan dengan Sean yang sudah menyelesaikan pekerjaannya, detik itu pula keluarga Fizi pulang ke rumah. Namun, Sean tidak berani untuk menghampiri Darmi yang baru saja tiba di rumah. Ia masih berada di halaman belakang, duduk di rerumputan hijau dekat dengan pohon rindang yang menjulang tinggi untuk menunggu waktu yang tepat. Walaupun di sini Sean sebagai pekerja dan tugasnya hanya berada di halaman belakang, tetapi Sean sama sekali tidak berani untuk duduk di kursi atau lain sebagainya, ia lebih memilih untuk duduk di rerumputan hijau seperti ini saja.
"Sean!"
Merasa namanya terpanggil, Sean pun menoleh lalu langsung beranjak dari duduknya saat mendapati Darmi tengah berdiri di ambang pintu—pintu yang menghubungkan halaman belakang dan dapur. Sean berjalan menghampiri wanita yang masih mengenakan pakaian rapinya.
"Iya, Bu?"
"Kamu sudah selesai?"
Sean mengangguk. "Sudah, Bu." Jawab Sean—seperti biasa ia selalu menundukkan kepalanya, bukan berarti ia malu tetapi hanya ingin bersikap sopan kepada majikannya.
"Hem..." Darmi mengangkat pergelangan tangannya dan memandang jam tangan yang bertengger manis di sana. "Sebenarnya sekarang sudah waktunya kamu pulang, tapi saya ingin meminta tolong pada kamu.. apa kamu bersedia?"
Dengan senang hati Sean mengangguk, toh dirinya pun tidak melakukan apa-apa di rumah setelah pulang dari rumah Bu Darmi. "Minta tolong apa, Bu?"
"Tolong kamu antar Geladis membeli peralatan sekolah ya, tadi saya tidak ada waktu untuk pergi ke toko buku karena sudah terlanjur lelah dan ingin segera sampai di rumah." Tutur Darmi namun tersirat permohonan di sana.
Sean tidak bisa menolaknya jika majikannya sudah meminta tolong padanya seperti ini. Dan akhirnya Sean berkata, "baik, Bu. Saya akan mengantar Geladis membeli peralatan sekolah."
"Terima kasih ya, Nak. Oh iya, nanti kamu minta saja kunci motornya pada Geladis. Kalian pergi ke sana naik motor saja agar lebih cepat sampai." Ucapnya lagi sebelum akhirnya meninggalkan Sean dengan pikirannya yang berkecamuk.
Sebenarnya Sean bisa mengendarai motor, sangat bisa malah. Tetapi, Sean merasa tidak enak jika harus menggunakan motor milik keluarga ini. Ditambah lagi bagaimana jika nanti Pak Fizi melihatnya mengendarai motor juga membonceng putri satu-satunya?
Sean benar-benar tidak bisa membayangkannya apa jadinya ia nanti, apakah masih tetap menjadi seorang manusia?
***