Chereads / Persahabatan beda alam / Chapter 18 - PBA 18

Chapter 18 - PBA 18

Kaki jenjang yang dibaluti sandal lusuh itu terus berlari dengan napas yang sudah tidak beraturan, satu detik kemudian kaki itu berhenti berlari dan kedua tangan Sean tersimpan di kedua lututnya sambil dirinya berusaha menetralkan napasnya.

Rasanya percuma jika ia terus berlarian seperti ini, karena Sean tahu Geladis pastinya sudah sampai di rumah. Kemudian Sean kembali berdiri tegak dan mulai berjalan dengan lesu menuju rumah Bu Darmi, saat ini dirinya benar-benar menyerah saja jika nanti terjadi suatu hal padanya.

Sekali pun jika ia harus berhenti bekerja di rumah Bu Darmi, Sean akan rela melepaskannya. Karena ia sendiri pun tahu dan sadar diri, tadi ucapannya yang mungkin membuat Geladis tersinggung. Kakinya berhenti melangkah ketika Sean sudah berada di depan pagar hitam yang menjulang tinggi.

Dapat Sean lihat, di sana ada Geladis yang tengah duduk di teras rumah dengan wajah yang terlihat sangat kesal, berbeda dari biasanya. Jika biasanya, gadis itu akan selalu menampilkan wajah cerianya tetapi tidak dengan saat ini.

Perlahan Sean membuka pagar rumah itu dan melangkahkan kakinya mendekati Geladis, ketika sudah berada di depan Geladis baru saja Sean akan duduk di samping gadis itu, Geladis lebih dulu beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam rumah.

Sean menghela napasnya gusar kemudian mengikuti langkah Geladis dari belakang, setidaknya Sean sedikit lega saat Geladis lebih dulu menunggunya sehingga terhindar dari amukan Pak Fizi. Walaupun ia tidak tahu alasan Geladis menunggunya di luar, tapi ia tetap harus mengucapkan terima kasih pada gadis itu. Secara tidak langsung gadis itu sudah membantunya.

"Ge—"

Baru saja Sean akan memanggil gadis itu yang ingin berbelok ke kamarnya, lantas terhenti saat pandangannya mengarah pada sosok Fizi yang tengah menatapnya dari atas tangga. Akhirnya Sean pun berjalan menuju arah belakang dan mengurungkan niatnya untuk berterima kasih hari ini. Mungkin besok jika ada kesempatan untuk berbicara dengan Geladis.

"Permisi, Pak." Sean tersenyum tipis lalu melenggang pergi dengan tergesa-gesa. Sesampainya di halaman belakang, Sean kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti tadi karena harus mengantar Geladis.

Hingga saat dirinya tengah menyapu taman, matanya tak sengaja melihat ke arah pintu, di mana Zyan sedang berjalan menuju gazebo dengan laptop di tangannya. Tanpa menghiraukan keberadaan Zyan, Sean kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Sean!"

Sontak saja Sean langsung menoleh ke arah Zyan, laki-laki itu memanggilnya seraya melambaikan tangan ke arahnya, menyuruh dirinya untuk mendekat.

Dengan langkah pelan tapi pasti, Sean mendekat ke arah Zyan dengan tatapan penuh tanya. "Ada yang bisa saya bantu?"

Mendengar itu lantas Zyan terkekeh, terlalu kaku sekali. "No, saya hanya butuh teman bicara saja makannya memanggil kamu." Ucapnya seraya menepuk space kosong di sampingnya.

"Maaf tapi saya masih banyak pekerjaan lain yang harus segera diselesaikan,"

"Oh, sure. Tapi nanti kalau kamu sudah selesai, bisa kita bicara? Saya hanya ingin berteman saja denganmu, kamu sendiri sudah tahu bukan kalau saya tidak seperti Papa?"

Lantas Sean mengangguk. "Iya, saya tahu. Kalau begitu saya permisi."

Akhirnya Sean kembali melanjutkan pekerjaannya, dan selesai ini dirinya disuruh Zyan untuk menemaninya sebagai teman bicara. Sebenarnya Sean tidak merasa kaku jika berhadapan dengan Zyan, tetapi karena status yang membedakan mereka membuat Sean bersikap kaku seperti tadi pada Zyan.

Sean merasa nyaman bekerja di sini, apalagi kalau Pak Fizi tidak bersikap dingin seperti itu padanya pasti Sean akan semakin nyaman bekerja di sini. Untungnya saja Bu Darmi beserta anak-anaknya selalu bersikap ramah padanya dan tak pernah sedikit pun bersikap seolah seperti Pak Fizi.

Beberapa saat kemudian Sean sudah menyelesaikan pekerjaannya, ia menaruh sapu ke sudut halaman lalu melirik ke arah gazebo. Di mana Zyan masih tetap duduk di sana dengan laptop di pangkuannya, Sean pun melangkahkan kakinya mendekati laki-laki sebaya dengannya itu.

"Eh, sudah selesai?" kata Zyan saat merasa ada seseorang yang duduk di sampingnya. Sean menyahutinya hanya dengan senyuman tipis seraya mengangguk kecil.

"Kamu sekolah di mana?" tanya Zyan setelah menutup laptopnya.

"Tidak, aku tidak sekolah." Jawab Sean dengan seadanya.

Zyan mengangguk paham, tak berniat untuk bertanya lebih jauh, takutnya nanti malah menyinggung perasaan Sean.

"Kamu dekat dengan adik saya?"

Kedua alis Sean terangkat, ia masih belum memahami apa yang diucapkan oleh Zyan. Dekat dalam bentuk apa?

"Maksud saya, kamu cukup akrab dengan Geladis?"

Sean langsung menggelengkan kepalanya. "Tidak terlalu akrab, hanya saja tadi saya disuruh untuk menemani Geladis jalan-jalan. Hanya itu, tidak lebih. Lagi pula itu juga atas dasar paksaan Bu Darmi." Dengan cepat Sean menjelaskan hal tadi, ia tidak mau terjadi kesalahpahaman antara dirinya dan Geladis.

Dan lagi, Sean tidak ingin Zyan—yang notabenya sebagai kakaknya Geladis menyangka bahwa dirinya yang mendekati Geladis. Hingga akhirnya ucapan Zyan selanjutnya membuat Sean bernapas lega.

"Sebenarnya saya tidak apa-apa jika kamu memang dekat dengan Geladis,"

Bukan, maksud Sean bukan ia lega karena telah mendapatkan izin dari Zyan untuk dekat dengan Geladis. Ia lega karena Sean tidak berpikiran buruk tentangnya.

"Baru kali ini Geladis ingin dekat dengan laki-laki, selain saya dan Papa." Lanjut Zyan, kali ini ucapan Sean mampu membuat dirinya bertanya-tanya.

Melihat tatapan penuh tanya dari Sean membuat Zyan kembali melanjutkan ucapannya, "tidak tahu kenapa Geladis memang tidak ingin dekat dengan laki-laki lain selain saya dan Papa. Bahkan ketika masuk sekolah SMA pun, Geladis meminta agar di sekolahkan di sekolahan yang siswanya hanya berjenis kelamin perempuan saja."

"Dia terlalu tertutup, ya walaupun Geladis memang selalu terlihat ceria. Tetapi, dia tidak pernah sedikit pun menceritakan keluh kesahnya pada kami. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya kamu, Geladis bisa menjadi lebih terbuka."

Rentetan ucapan yang dilontarkan Zyan membuat Sean benar-benar merasa bingung, di sini tujuannya adalah hanya ingin bekerja saja dan mendapatkan uang agar bisa membantu perekonomian keluarganya, bukan untuk ikut campur masalah keluarga ini.

"Saya mohon, bantu Geladis untuk bisa lebih terbuka." Ucapan penuh harap Zyan itu membuat benteng pertahanan Sean mulai goyah. Di satu sisi ia merasa tak enak jika harus menolak permintaan Zyan, tapi di sisi lain Sean sendiri pun tidak ingin bercampur tangan.

"Saya akan beri kamu waktu untuk memikirkan hal ini, tapi saya harap jawaban kamu adalah jawaban yang saya harapkan." Setelah itu Zyan langsung melenggang pergi meninggalkan Sean yang masih berkecamuk dengan pikirannya.

Saat ini Sean harus melakukan apa? Sean paling anti untuk ikut campur dengan masalah orang lain, namun ia pun tidak ingin membuat Zyan kecewa padanya.

***