Perihal obrolannya kemarin bersama Zyan, sudah Sean pikirkan dengan matang-matang dan kini ia mendapatkan jawabannya. Sean harap dengan keputusannya ini tidak ada pihak yang merasa dirugikan, entah itu dirinya atau pun Geladis sendiri—atau bahkan Zyan, kakaknya sendiri.
Sesampainya di rumah Bu Darmi di pagi hari, untuk melakukan pekerjaan rutinnya Sean langsung mendapati Zyan yang mungkin tengah menunggunya di gazebo. Karena sepengetahuannya, Zyan sangat jarang sekali berada di rumah. Mungkin saja alasan lain Zyan yang secara tidak langsung menitipkan Geladis padanya karena laki-laki itu jarang berada di rumah.
"Akhirnya kamu datang juga. Saya sudah sangat bosan berada di sini, ingin segera cepat-cepat keluar dari rumah. Tapi, demi mendapatkan jawaban dari kamu, saya rela menunggunya." Ucap Zyan saat menyadari Sean tengah berjalan ke arahnya.
Sean hanya tersenyum kikuk. Laki-laki itu sangat mengharapkan jawaban yang terbaik darinya, sepertinya akan sangat mengecewakan Zyan jika ia menolaknya.
"Jadi, apa kamu sudah memiliki jawaban yang terbaik?" tanya Zyan yang mampu membuat Sean menjadi gelisah, Sean benar-benar takut untuk mengungkapkan jawabannya.
Melihat raut wajah Sean yang ia sendiri sudah tahu jawabannya membuat Zyan menghela napasnya pasrah. "Saya sudah tahu jawaban kamu, jadi tidak perlu lagi kamu menjawabnya. Pasti kamu akan menolaknya, kan? Boleh saya tahu alasannya apa?"
"Maaf, saya tidak bisa terlalu berdekatan dengan Geladis. Itu akan membuat pekerjaan saya sedikit terancam. Sekali lagi saya minta maaf, saya lebih memilih untuk menolak permintaan kamu dibandingkan kehilangan pekerjaan saya," Sean menarik napasnya dalam, kemudian menghembuskannya perlahan.
"Karena pekerjaan ini sangat berarti bagi saya, kalau saya dipecat karena berani-beraninya dekat dengan Geladis otomatis saya akan dipecat, sehingga saya tidak bisa lagi membantu Ayah." Sambungnya.
Zyan menatap Sean, "saya jamin kamu tidak akan kehilangan pekerjaan ini. Pasti ini semua karena Papa saya, kan? Sehingga kamu tidak mau menuruti permintaan saya,"
"Bukan hanya itu saja, tetapi tetap saja saya tidak pantas untuk dekat dengan Geladis, status kami berbeda." Elak Sean.
Namun, ucapan yang Sean lontarkan tadi mampu membuat Zyan menjadi tertawa kecil. Sontak saja Sean menatap anak majikannya itu dengan bingung, seingatnya ia tadi tidak melawak, tetapi mengapa Zyan malah menertawakannya?
"Hei, apa kamu menyukai adikku?"
Sontak Sean membulatkan bola matanya seraya menggelengkan kepalanya cepat.
Laki-laki itu tersenyum penuh arti. "Lalu kenapa kamu berbicara tentang status? Padahal saya hanya meminta kamu untuk membuat Geladis terbuka, mungkin menjadi teman, bukan menjadi sepasang kekasih."
Perkataan yang baru saja diucapkan Zyan membuat Sean malu setengah mati, kedua pipinya terasa memanas menjalar hingga telinga. Sean benar-benar malu saat ini, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal untuk menutupi rasa malunya.
"Kamu menyukai adikku, kan?" tebak Zyan dengan tatapan jahilnya.
"Tidak, saya hanya tidak ingin terjadi kesalahpahaman di mata orang-orang saja. Terlebih lagi di kampung ini kita—para kaum yang berada di bawah tidak boleh terlalu dekat dengan orang yang jauh di atas kita." Tutur Sean, yang kini tak lagi merasa malu.
Sebelah alis Zyan terangkat. "Hem? Memangnya seperti itu, ya?"
"Apa kamu tidak mengetahui hal itu?"
Sean mendapatkan informasi itu sudah jelas dari sang ayah, Lesmana berkata pada Sean pada saat itu bahwa dirinya tidak boleh terlalu dekat dengan Geladis, mengingat ada peraturan yang harus ditaati oleh penduduk kampung Petter ini.
Awalnya Sean ingin menentang hal itu ketika mengetahuinya, karena semua orang itu jelas saja sama di mata Tuhan. Namun, dengan seenaknya malah memilih-milih teman yang harus berbaur dengan masing-masing orang.
Tetapi lama kelamaan Sean pun paham dan saat dirinya berada di posisi yang salah. Selain itu juga, jika ada seseorang dari kampung ini berani berdekatan dengan orang yang jauh levelnya, maka detik itu juga akan mendapatkan sebuah hukuman yang setimpal, namun masih dirahasiakan.
Oleh karena itu mengapa kemarin ketika Sean mengantar Geladis banyak pasang mata yang mengarah padanya. Sean tidak ingin nantinya ia diberikan hukuman, walau ia sendiri pun belum tahu apa hukuman yang akan diberikannya itu.
Zyan menggeleng. "Tidak, saya sama sekali tidak tahu menahu tentang hal itu. Lagi pula peraturan macam apa itu?"
"Peraturan itu sudah tercipta sebelum kita lahir," sahut Sean memberitahu.
"Konyol sekali,"
Sean mengedikkan kedua bahunya acuh. "Tapi, mendengar ada hukuman yang didapatkan orang yang melanggar peraturan itu membuatku mau tidak mau harus menaati peraturan itu."
"Saya benar-benar tidak paham dengan adanya aturan seperti itu, tapi saya sekarang mengerti alasan kamu menolak permintaan saya. Kalau begitu saya tidak akan memaksanya." Tanpa menunggu balasan dari Sean, Zyan langsung melenggang pergi begitu saja.
Sedangkan Sean bersikap acuh, ia tidak peduli lagi kalau memang Zyan cukup kecewa padanya. Pasalnya ia hanya ingin melindungi pekerjaannya serta dirinya sendiri. Sean tidak ingin dipecat oleh Pak Fizi karena secara tidak langsung berani mendekati putrinya, dan juga Sean tidak ingin diberikan hukuman oleh penduduk kampung Petter lainnya.
"Lebih baik sekarang aku mulai bekerja," gumam Sean yang langsung berjalan untuk membawa peralatan yang akan ia gunakan untuk membersihkan kolam renang terlebih dahulu.
Di sisi lain Geladis yang sedang membuat camilan yang sedang viral di media sosial lantas terhenti karena melihat punggung tegap Sean yang sedang membersihkan air kolam renang. Rasa kesal itu kembali muncul, baru saja moodnya sangat baik hari ini karena akan membuat camilan yang ia inginkan, detik itu juga moodnya langsung hancur mengingat betapa menyebalkannya Sean kemarin.
Sejujurnya Geladis hanya ingin lebih berlama-lama bersama Sean di pasar, rasanya suntuk jika terus-terusan berada di dalam rumah. Geladis ingin suasana baru di hidupnya, dan ia kira caranya berteman dengan Sean bisa membuat hidupnya lebih berwarna dan mengasikkan. Tetapi, kemarin laki-laki itu malah mengajaknya untuk segera pulang, siapa yang tidak kesal?
Geladis menghentakkan sendok di tangannya kemudian mengambil ponsel yang sedari tadi menampilkan video tutorial untuk membuat camilan viral itu, lalu bergegas pergi menuju kamarnya. Membiarkan mangkuk, piring serta alat lainnya berserakan begitu saja di atas meja dapur.
"Kesel, ish!" gerutu Geladis saat berjalan ke arah kamarnya dengan menghentak-hentakkan kedua kakinya.
"Kamu kenapa, Geladis?" tanya Fizi yang tiba-tiba berada di belakang Geladis.
Sontak saja Geladis menoleh dengan wajah terkejutnya, dengan cepat ia tersenyum walaupun terlihat terpaksa. "Tidak, Geladis tidak apa-apa, Pa."
"Kamu yakin? Tadi Papa lihat kamu kelihatan kesal sekali, ada apa? Coba jujur!"
Gadis itu menggeleng. "Tidak ada apa-apa, Pa." Kekeuh Geladis yang tak ingin mengatakan sejujurnya.
"Apa gara-gara Sean?" tebak Fizi yang sayangnya tebakan itu tepat sekali. Wajah Geladis yang awalnya terkejut langsung berubah kembali tersenyum.
"Bukan, Pa. Geladis tadi membuat camilan viral itu tetapi gagal."
"Oh ya? Tadi Papa lihat dapur masih bersih, hanya ada mangkuk dan piring yang masih bersih."
***